Bacakomik Api Di Bukit Menoreh sekarang! Episode baru tiap Kisah seorang pemuda yang harus segera mendapatkan jati diri, kepercayaan diri, dan keberanian untuk menghadapi ketakutannya terhadap MAUT di masa Kerajaan Pajang melawan sisa-sisa Laskar Arya Penangsang yang sedang bergejolak!! Diangkat dari sebuah novel legendaris era 80-an karya
Jilid 401 Matahari telah merambat semakin tinggi. Sinarnya yang hangat terasa mulai menggatalkan kulit. Mereka bertiga yang masih duduk duduk di pendapa rumah yang selama ini digunakan oleh kedua murid perguruan Tal Pitu itu masih diam membisu. Agaknya mereka bertiga sedang asyik dengan lamunan masing masing. Sesekali terdengar helaan nafas yang panjang, namun mereka lebih banyak termenung sambil menundukkan kepala dalam dalam. "Ki Rangga," tiba tiba Ki Ageng Sela Gilang bergumam pelan, "Masih ingatkah Ki Rangga dengan suara jeritan seorang perempuan yang telah menyebabkan kita menelusurinya sampai ketempat ini?" Ki Rangga Agung Sedayu mengangkat kepalanya, namun sebelum dia menjawab, ternyata Anjani telah mendahuluinya, "Kakek, akulah yang menjerit itu atas perintah kedua Guruku. Sebenarnyalah kalian berdua telah dipancing untuk masuk ke perangkap Guruku. Para telik sandi Kadipaten Panaraga secara teratur memberikan laporan tentang keberadaan kalian berdua, sehingga kami telah menyiapkan jebakan ini." Ki Rangga dan Ki Ageng hampir bersamaan telah mengangguk anggukkan kepala. Baru sekarang mereka menyadari bahwa setiap langkah mereka ternyata telah dipantau oleh para telik sandi Kadipaten Panaraga. "Bagaimana dengan para penghuni Padukuhan Panjer Bumi ini? Dimanakah mereka?" bertanya Ki Rangga setelah beberapa saat mereka terdiam. "Padukuhan Panjer Bumi?" Anjani justru balik bertanya dengan terheran heran, "Sepengetahuanku padukuhan ini bernama Padukuhan Merjan, bukan padukuhan Panjer Bumi." Sekarang Ki Rangga dan Ki Ageng lah yang menjadi bingung. Sebelum memasuki padukuhan ini mereka telah membaca nama padukuhan ini yang terpahat pada tugu pembatas yang terletak di ujung padukuhan. Memang tulisan itu tampak baru saja dibuat dengan tergesa gesa. Kalau memang nama padukuhan ini adalah padukuhan Merjan, berarti ada orang yang dengan sengaja telah mengganti nama padukuhan ini dengan nama Padukuhan Panjer Bumi untuk suatu tujuan tertentu. Tetapi apakah maksud sebenarnya dari semua itu? Untuk sejenak mereka bertiga termangu mangu. Namun akhirnya sambil menghela nafas panjang, Ki Ageng Sela Gilang pun berdesis perlahan lahan, "Ah, sudahlah. Sebaiknya kita segera meninggalkan padukuhan ini, terutama Ki Rangga. Tidak menutup kemungkinan peristiwa yang telah terjadi di sini telah di sadap oleh para telik sandi dan dilaporkan ke Kadipaten Panaraga." "Benar Ki Ageng," jawab Ki Rangga, "Sebaiknya kita tidak usah menunggu anak buah kedua murid Tal Pitu itu selesai mengubur Pemimpin mereka. Namun sebelum meninggalkan Padukuhan ini, kita harus mencari di mana para penghuni Padukuhan ini bersembunyi dan membujuk mereka untuk kembali." "Aku tahu tempat mereka bersembunyi," desis Anjani perlahan tanpa mengangkat kepalanya, "Di sisi selatan Padukuhan ini ada hutan yang luas dan masih lebat. Di sanalah mereka bersembunyi." Ki Ageng dan Ki Rangga tanpa sadar mengangguk anggukkan kepala. Namun panggraita kedua orang yang sudah hampir putus kawruh lahir dan batin itu telah menangkap sesuatu yang tidak wajar sedang bergejolak dalam diri Anjani. "Marilah," berkata Ki Ageng menyadarkan Anjani yang sedang tenggelam dalam perasaannya, "Matahari sudah semakin tinggi. Lebih baik kita segera melanjutkan perjalanan kita." Sejenak kemudian ketiga orang itu telah berdiri dan berjalan menuruni tangga pendapa. Ketika mereka memandang ke arah halaman rumah sebelah kiri, halaman itu sudah bersih walaupun bekas bekas pertempuran semalam masih tampak, pohon pohon yang dahannya berpatahan dan tanah yang bagaikan dibajak. Beberapa anak buah dari kedua murid Tal Pitu yang terbunuh itu masih tampak membenahi barang barang mereka sebelum berangkat kembali ke Padepokan mereka. Sedangkan para Prajurit Kadipaten Panaraga yang diperbantukan kepada kedua murid Tal Pitu itu sudah tidak tampak lagi. Agaknya mereka telah kembali ke Panaraga tanpa menunggu penguburan kedua murid Tal Pitu itu.
ApiDibukit Menoreh (Gugurnya Tohpati) 1971:: Action . (Sentot S), untuk membantu pamannya, Widuro (Kusno Sudjarwadi) di Sangkal Putung. Dalam perjalanan Untoro diserang dan terluka. Ia ditolong seorang dukun yang kemudian ternyata pendekar sakti, Tanu Metir (Hassan Sanusi). Untoro memerintahkan Sedayu, yang sebenarnya punya ilmu tinggi
♦ 15 Juli 2010 Dengan darah yang bergelora mereka telah bertekad untuk merebut padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Mereka harus merebut kembali pusat pemerintahan yang selama ini telah diduduki oleh Ki Tambak Wedi. Bagaimanapun juga, agaknya tempat itu berpengaruh pula bagi rakyat Menoreh yang berada agak jauh dari padukuhan induk itu. Ki Argapati ternyata benar-benar ingin ikut pula di dalam barisan, meskipun ia harus berada di atas punggung kuda. Pada saat terakhir ia menolak untuk duduk di atas sebuah tandu. “Aku sudah menjadi semakin baik,” katanya. “Adalah lebih baik bagiku berada di atas punggung kuda daripada di atas tandu seperti seorang perempuan.” “Tetapi bagi luka Ayah, aku kira lebih baik Ayah berada di dalam tandu,” berkata Pandan Wangi. Ki Argapati menggeleng, “Aku akan duduk di atas punggung kuda. Tetapi aku minta satu dua orang memegang kendali kudaku, supaya aku tidak bernafsu untuk memacunya.” Gembala tua yang mengobati luka-lukanya pun tidak dapat merubah pendiriannya, sehingga karena itu, maka ia berpesan, “Tetapi hati-hatilah, Ki Gede. Luka itu pernah kambuh dan bahkan agak parah. Jangan sampai luka itu kambuh kembali. Ki Gede harus selalu ingat akan hal itu.” “Ya, ya. Aku akan selalu ingat.” Demikanlah ketika gelap malam mulai meraba Tanah Perdikan Menoreh, maka mulailah ujung dari pasukan Menoreh keluar dari regol induk, didahului oleh beberapa orang petugas sandi yang harus mengamat-amati jalan. Maka merayaplah sebuah pasukan seperti seekor ular raksasa yang keluar dari lubang persembunyiannya, menjalar di sepanjang jalan menuju ke padukuhan induk. Setiap hati dari setiap orang yang berada di dalam pasukan itu telah bertekad untuk memilih satu di antara dua. Merebut kembali padukuhan induk itu atau mati di peperangan. Bagi mereka sudah tidak akan ada pilihan lain. Kalau mereka gagal merebut padukuhan induk, maka kekalahan itu akan mencerminkan kehancuran yang bakal mereka alami di saat-saat mendatang. Seandainya mereka terpaksa mundur dan bertahan di belakang pring ori itu pula, maka pada saatnya Ki Tambak Wedi pun akan menjadikan padukuhan itu perapian raksasa yang akan membakar mereka. Karena itu, maka pertempuran kali ini adalah pertempuran yang menentukan. Kekalahan yang terjadi pasti akan semakin menghapus kepercayaan rakyat Menoreh terhadap kemampuan para pengawalnya. Dengan demikian maka hari-hari yang mendatang sama sekali tidak akan berarti apa-apa lagi. Namun demikian, masih juga ada di antara mereka yang sempat berkelakar meskipun sambil berbisik. Tetapi ada juga di antara mereka yang memandang setiap bayangan di sekitarnya dengan wajah yang tegang. “Paman,” berkata Wrahasta kepada Kerti, “supaya pasukan ini tidak segera diketahui lawan, maka sebaiknya beberapa orang harus mendahului di samping petugas-petugas sandi. Mereka harus membungkam setiap gardu perondan di sepanjang jalan menuju ke padukuhan induk itu.” “Ya, pasukan itu memang sudah tersedia. Samekta juga telah memerintahkan beberapa orang mempersiapkan diri.” “Kapan mereka akan kita lepaskan?” “Kalau kita telah melampaui bulak di depan kita itu.” “Aku sendiri akan memimpin mereka.” “Kenapa kau?” “Pekerjaan ini adalah pekerjaan yang berat. Aku kurang percaya kepada anak-anak itu. Kalau tugas ini gagal, maka pasukan lawan akan mendapat kesempatan untuk mempersiapkan diri mereka. Dengan demikian maka korban akan menjadi semakin banyak berjatuhan.” “Sebaiknya bukan kau, Wrahasta.” “Perang kali ini harus menentukan. Kita pun harus berbuat dengan sesungguh hati. Apakah artinya segala usaha yang pernah kita lakukan kalau pada saat terakhir kita akan gagal?” Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyadari pentingnya tugas itu. Tetapi kenapa Wrahasta sendiri yang harus pergi mendahului? “Bagaimana, Paman?” desak Wrahasta. “Kau sudah cukup banyak berbuat.” “Belum, Paman. Aku harus menunjukkan bahwa kehadiranku di atas Tanah ini ada gunanya. Bukan sekedar hanya memperbanyak jumlah jiwa saja.” “Tugas kita masih banyak.” “Aku sangsi, apakah aku akan dapat ikut seterusnya.” “He?” Kerti terbelalak. “Jangan berkata begitu.” Tetapi Wrahasta justru tersenyum. Katanya, “Ah, sebaiknya kita tidak berbicara tentang hal-hal yang kita ketahui. Yang pasti, para peronda itu jangan mendapat kesempatan memberikan tanda apa pun juga. Aku akan membawa kelompok yang sudah tersusun itu.” Kerti menggelengkan kepalanya. Tetapi ia berkata, “Berkatalah kepada Samekta. Samekta yang dapat mengambil keputusan.” “Ya,” sahut Wrahasta sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku akan menemuinya. Aku ingin menunjukkan sesuatu kepada Tanah ini. Aku adalah putra Tanah Perdikan Menoreh.” Wrahasta pun kemudian meninggalkan Kerti. Beberapa langkah ia mendahului sekelompok pengawal, kemudian ditemuinya Samekta sedang berjalan bersama gembala tua itu. “Aku akan mendahului pasukan,” berkata Wrahasta. “He?” Samekta mengerutkan keningnya. “Aku akan memimpin langsung kelompok yang sudah tersusun untuk membungkam setiap gardu perondan yang akan kita lalui.” “Ah,” desah Samekta, “bukan kau. Kau masih nnempunyai tugas-tugas lain yang lebih penting.” “Aku tahu, tetapi sebelum sampai saatnya pasukan ini menebar dalam gelar, aku akan sudah berada kembali di tempatku.” “Tetapi itu terlampau berbahaya bagimu.” “Aku tidak mau gagal. Aku minta ijin.” Samekta mengerutkan keningnya. Agaknya Wrahasta berkeras untuk melakukan tugas itu. Sehingga karena itu, Samekta tidak dapat mencegahnya lagi. “Tetapi kau harus berhati-hati.” “Tentu, tetapi apabila maut memang sudah merabaku, apa boleh buat.” “Hus,” desis Samekta. “Jangan mengigau.” Wrahasta tertawa. Adalah sesuatu yang jarang dilakukannya. Tetapi kali ini memang benar-benar tertawa. “Aku akan pergi. Berapa orang yang sudah siap di dalam kelompok itu?” “Sepuluh,” jawab Samekta. “Bagus, berapa orang petugas sandi jang menyertai kami?” “Tiga.” “Terima kasih. Di ujung bulak itu kita akan berpisah. Aku akan mendahului, menengok setiap gardu yang mungkin ada di sepanjang jalan ini.” Wrahasta tidak menunggu jawaban Samekta. Langsung ia meninggalkannya, menemui sekelompok pengawal pilihan yang akan mendahului pasukan ini, bersama beberapa orang petugas sandi. “Kemana raksasa itu?” bertanya Gupala sambil berbisik kepada Gupita. Gupita mengerutkan keningnya. Ia mendengar serba sedikit pembicaraan Wrahasta dengan Samekta yang berjalan beberapa langkah di depannya bersama gurunya. “Ke gardu-gardu. Supaya pasukan ini sama sekali tidak diketahui oleh induk pasukan Ki Tambak Wedi.” “Sulit. Aku yakin bahwa salah seorang dari mereka akan sempat menyentuh tanda bahaya. Apa pun caranya. Dengan demikian kita malah memberitahukan kehadiran kita sebelumnya.” Gupita tidak segera menyahut. Sekilas dilihatnya Wrahasta yang seakan-akan terbenam ke dalam gelapnya. Hilang. Gupita tiba-tiba saja menjadi berdebar-debar. Wrahasta termasuk salah seorang pemimpin dari pasukan pengawal Menoreh. Sebaiknya ia tidak usah pergi melakukan tugas yang berbahaya itu. Ia dapat menugaskan seseorang yang mempunyai kelebihan dan orang lain, namun tidak perlu seorang pemimpin. “Gupala,” berkata Gupita, “Wrahasta seharusnya tetap berada di dekat Samekta dan Kerti sebelum gelar ini menebar di muka padukuhan induk itu. Karena itu, biarlah orang lain saja yang melakukan tugasnya sekarang, mendahului menyergap gardu-gardu peronda. Gupala mengerutkan keningnya, “Biarlah mereka mengurusinya.” “Hus,” desis Gupita, “kita ikut bertanggung jawab atas keselamatan seluruh pasukan.” “Lalu, apakah kita akan melarangnya?” “Bukan begitu maksudku. Sebaiknya kita berdua sajalah yang pergi.” “Malas.” “He?” Gupita membelalakkan matanya. “Kenapa malas? Kalau kau malas berbuat sesuatu, tidur saja di gardu itu.” Gupala menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya gelap malam yang membayang di hadapannya. Wrahasta telah tidak tampak lagi, hilang ditelan malam, di antara bayangan-bayangan hitam yang bergerak-gerak di sepanjang jalan. “Bagaimana dengan guru?” berkata Gupala. “Kita akan minta ijin.” “Baiklah,” jawab Gupala kemudian. “Biarlah kita orang-orang buangan ini sajalah yang diumpankan kepada para peronda itu.” “Jangan mengingau.” Gupala tidak menjawab. Keduanya pun kemudian mendekati gurunya. Dengan berbisik Gupita kemudian menyatakan maksudnya, menyusul Wrahasta. Mereka berdualah yang akan menggantikan pekerjaannya mendahului pasukan ini bersama beberapa orang untuk menyergap gardu-gardu peronda. Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia menjawab, “Kalau pimpinan pasukan pengawal tidak berkeberatan dan mempercayai kalian, aku pun tidak berkeberatan. Tetapi hati-hatilah. Tidak saja dalam tugas itu, tetapi juga caramu menyampaikan maksud itu kepada Wrahasta.” “Guru sajalah yang mengatakannya kepada Ki Samekta.” Gurunya mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Baiklah.” Gembala tua itu pun kemudian bergeser beberapa langkah mendekati Samekta dan menyampaikan maksud kedua anak-anaknya. “Aku berterima kasih,” berkata Samekta, “tetapi kalian kurang mengenal daerah ini. Tugas yang dilakukan oleh kelompok ini adalah tugas yang berat, yang harus didasari atas pengenalan yang sempurna atas daerah yang akan dilaluinya. Mereka akan menyusup lewat jalan-jalan yang bukan seharusnya.” “Tetapi bukankah anak-anak itu tidak sendiri?” “Dalam keadaan yang memaksa, mungkin mereka harus menebar.” “Tetapi anak-anakku adalah gembala yang sudah terlampau sering menyusur tempat-tempat yang tersembunyi. Apalagi kedua anak-anakku tidak terikat di dalam pasukan dan apalagi pimpinan.” Samekta mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Baiklah. Tetapi hati-hatilah.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi mungkin sekali Wrahasta tidak mau menarik dirinya. Jika demikian biarlah ia pergi. Agaknya hatinya sedang dirisaukan oleh sesuatu. Karena itu sebaiknya ia tidak diganggu. Namun kedua anak-anakmu harus berusaha memperingatkannya, bahwa apabila gelar telah dibuka, ia harus sudah berada di dalam barisan.” Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun di dalam hati ia bertanya, “Bagaimana kalau Wrahasta tidak berhasil?” Tetapi gembala itu tidak mengucapkannya. “Nah, suruhlah anak-anakmu itu pergi bersama Wrahasta. Tetapi jangan berselisih di depan medan. Aku titip anak muda itu. Aku tahu, bahwa anak-anakmu jauh lebih baik dari raksasa yang sedang kecewa itu.” Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia bertanya, “Kenapa Angger Wrahasta kecewa?” “Tidak. Tidak apa-apa,” jawab Samekta dengan serta-merta. Orang tua itu pun tidak bertanya lagi. Gupala yang mendekatinya sudah mendengar sebagian terbesar dari pembicaraan itu, sehingga ketika gurunya mendekatinya ia berkata, “Jadi, kami diperkenankan menyusul pasukan itu?” “Pergilah. Tetapi hati-hatilah. Jangan membuat keributan yang dapat menghancurkan seluruh pasukan ini. Kesalahan yang kecil dari kalian mungkin akan dapat membunuh puluhan jiwa manusia. Dan kau harus mempertimbangkannya. Bukan hanya jiwamu sendiri.” Gupala mengerutkan keningnya. Ia mengerti apa yang dimaksud oleh gurunya. Ketika kemudian ia berpaling kepada Gupita, maka anak muda itu pun sedang menatapnya. “Huh, Kakang Gupita menyalahkan aku pula agaknya,” desisnya di dalam hati. “Pergilah dan ingat, hati-hatilah dalam menghadapi setiap persoalan,” pesan gurunya. “Baik, Guru,” jawab keduanya hampir bersamaan. Maka keduanya pun kemudian melangkah di sisi barisan yang masih juga berjalan maju itu untuk menyusul Wrahasta. Mereka sadar, bahwa tugas itu termasuk tugas yang sulit. Kalau mereka tidak dapat melakukannya dengan baik, sehingga satu atau dua orang dari para peronda itu sempat lolos, atau menyentuh alat-alat yang dapat memberikan tanda apa pun, maka justru yang terjadi akan sebaliknya. Kehadiran mereka akan segera diketahui oleh lawan. Beberapa saat kemudian mereka telah berhasil menemukan Wrahasta di antara kelompok yang memang sudah tersusun. Sepuluh orang dengan tiga orang petugas sandi. “Wrahasta,” berkata Gupita ketika mereka telah berhadapan, “aku mendapat pesan dari Ki Samekta, bahwa aku berdua ditugaskan untuk membantu kelompok ini.” Wrahasta mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah kedua anak-anak muda itu berganti-ganti, seakan-akan ingin melihat langsung ke dalam pusat jantung mereka. Gupala dan Gupita pun menjadi berdebar-debar pula. Mereka menduga-duga bagaimanakah tanggapan anak muda yang bertubuh raksasa itu. Dan sejenak kemudian mereka mendengar Wrahasta bertanya, “Kenapa Paman Samekta mengirimkan kalian kemari?” Gupita menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya, “Perintah yang sebenarnya adalah menggantikan kau di dalam tugas kelompok ini, karena menurut pertimbangannya, kau sangat diperlukan di dalam saat-saat terakhir. Kau harus memegang pimpinan langsung. Sedang tugas ini dapat dilakukan oleh orang lain yang tidak begitu diperlukan.” “O,” tiba-tiba Wrahasta tertawa, “jadi kau sangka bahwa orang yang berada di dalam kelompok ini harus mati? Dan kau menganggap bahwa aku pun pasti akan mati pula?” Gupita menjadi ragu-ragu sejenak. Kemudian jawabnya, “Bukan begitu. Tetapi kemungkinan untuk itu memang ada. Kemungkinan untuk hidup dan kemungkinan untuk mati sama besarnya.” “Aku sudah tahu. Dan aku pun tidak akan ingkar meskipun aku akan mati sekalipun. Mati untuk Tanah ini.” “Memang mati di dalam perjuangan dapat memberikan kebanggaan. Tetapi kau diperlukan.” “Kembalilah kepada Ki Samekta. Katakan bahwa aku akan tetap berada di dalam kelompok ini. Sebentar lagi kita akan melampaui bulak ini, dan aku akan segera memisahkan diri, mendahului perjalanan kalian.” Gupita terdiam sejenak. Ia memang tidak melihat kemungkinan bahwa Wrahasta akan bersedia meninggalkan kelompok itu dan kembali kepada Samekta. Karena itu maka akan sia-sialah apabila ia berusaha memaksanya. Maka Gupita itu pun kemudian berkata, “Kami hanya dapat menyampaikan pesan itu. Selebihnya kami tidak mempunyai wewenang apa pun. Meskipun demikian, Ki Samekta telah menugaskan kami untuk berada di dalam kelompok ini.” “Aku tahu, aku tahu. Ki Samekta memang lebih percaya kepada kalian dari pada kepadaku. Soalnya bukan karena aku diperlukan di dalam gelar yang akan kita pergunakan, tetapi karena Ki Samekta menganggap bahwa kalian akan lebih berhasil di dalam tugas ini.” Gupala yang selama itu berusaha membatasi dirinya, untuk tidak berkata sepatah pun juga supaya ia tidak salah ucap, menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia memandang wajah anak muda yang bertubuh raksasa itu, namun kemudian dilontarkannya pandangan matanya ke dalam gelapnya malam. Gupita tidak segera dapat menjawab. Ia memang harus berhati-hati. Ternyata anak muda yang bertubuh raksasa ini sangat perasa. Dan karena kedua anak-anak muda itu tidak menjawab, Wrahasta berkata selanjutnya, “Kemudian terserahlah kepada kalian. Aku tetap memimpin kelompok ini. Kalau kalian ingin ikut serta, maka kalian akan berada di bawah perintahku. Kalau tidak, kembalilah kepada Ki Samekta. Katakan bahwa aku tetap berada di sini.” Gupala mengerutkan keningnya. Baginya sikap Wrahasta itu sudah merupakan pembangkangan. Seandainya ia menjadi pemimpin yang lebih tinggi, maka ia pasti akan mengambil tindakan. “Apakah dengan demikian aku akan disebut kurang bijaksana?” bertanya Gupala di dalam hatinya. Gupala mengerutkan keningnya ketika ia mendengar Gupita berkata, “Kami berdua akan tetap berada di dalam kelompok ini. Kami memang ditugaskan demikian sambil menyampaikan pesan. Apakah pesan itu akan kau lakukan atau tidak, terserahlah kepadamu.” Wrahasta mengerutkan keningnya. Namun kernudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baik. Kau berada di dalam pasukan kecil ini. Aku tahu, bahwa kalian mempunyai ilmu yang cukup baik. Dan itu akan sangat berguna bagi tugas ini. Kami harus melakukan penyergapan dengan tiba-tiba dan membinasakan para peronda.” “Ya. Kami akan tetap berada di dalam pasukan ini. Tetapi kami kira, kami tidak perlu berbuat terlampau kasar. Yang penting adalah melumpuhkan dan membungkam mereka. Bukan membinasakan.” “Persetan istilah yang kau pergunakan.” “Bukan sekedar istilah. Maksudku, mereka tidak perlu dibunuh.” “He?” Wrahasta mengerutkan keningnya, “Jadi bagaimana?” Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tanpa dikehendakinya ia sudah terlibat dalam suatu pembicaraan tentang pelaksanaan tugas kelompok kecil itu. “Maksudku, mereka dapat diikat tanpa membunuhnya.” Wrahasta tertawa berkepanjangan, sehingga tubuhnya berguncang-guncang. “O, kau adalah manusia yang paling baik di dunia. Kau telah menjunjung tinggi perikemanusiaan di atas kepalamu. Berbahagialah kau dan adikmu yang gemuk itu.” Gupita dan Gupala saling berpandangan sejenak. Bahkan orang-orang lain di dalam kelompok itu pun menjadi heran melihat tingkah laku Wrahasta. Meskipun mereka juga berkeberatan mendengar pendapat Gupita, namun mereka juga merasa aneh terhadap Wrahasta. Mereka belum pernah melihat raksasa itu berbuat demikian. “He, Gupita,” bertanya Wrahasta, “apakah kau belum pernah perang sebelum kau berada di atas Tanah Perdikan ini?” Gupita heran mendengar pertanyaan itu. Tanpa sesadarnya ia menjawab, “Sudah.” “O, apakah kau tidak pernah melihat, bahwa di dalam peperangan kadang-kadang kita harus membunuh lawan?” Gupita tidak menjawab. Sekilas dipandanginya wajah Gupala. Wajah itu terasa aneh baginya. Dan bahkan Gupala itu berbisik, “Kaulah yang aneh Kakang.” Gupita menarik nafas. Tetapi ia tidak menjawab. “Akulah pimpinan kelompok ini. Setiap orang harus tunduk kepada perintahku. Kalian harus menyergap setiap gardu perondan dan membinasakan semua isinya. Begitu tiba-tiba sehingga mereka tidak mendapat kesempatan.” Wrahasta berhenti sejenak, lalu, “Nah, kita sudah sampai di ujung bulak. Bersiaplah. Kita akan segera memisahkan diri, mendahului pasukan ini dan melihat gardu di depan kita yang terdekat, sambil mengamati kemungkinan petugas-petugas sandi lawan di sepanjang jalan.” Gupala dan Gupita saling berpandangan sejenak. Namun mereka tidak dapat berbuat lain. Kalau mereka tetap akan berada di dalam pasukan itu, mereka memang harus tunduk kepada perintah Wrahasta. Sementara itu orang-orang lain dalam kelompok kecil itu pun telah bersiap pula. Mereka telah sampai di ujung sebuah bulak. Sebentar lagi mereka akan memasuki sebuah pategalan. Di seberang pategalan yang tidak begitu luas itu terdapat sebuah padesan kecil. “Di pategalan itu terdapat gardu pengawasan,” berkata Wrahasta, “karena itu pasukan ini harus berhenti sejenak. Kita akan melihat apakah yang ada di dalamnya.” Wrahasta kemudian memerintahkan pasukan itu berhenti sambil mengirimkan seorang penghubung kepada Samekta, memberitahukan bahwa ia telah melepaskan diri mendahului seluruh pasukan. Gupala dan Gupita akhirnya turut juga bersama pasukan kecil itu. Mereka mengharap bahwa mereka berdua dapat membantu anak muda yang bertubuh raksasa itu apabila diperlukan. Kelompok itu kemudian berjalan dengan hati-hati menuju ke ujung pategalan. Menurut pengenalan mereka, di pategalan itu terdapat sebuah gardu kecil. Tetapi biasanya orang-orang Ki Tambak Wedi tidak mempergunakannya. Mereka berada di dalam gardu yang lebih besar, di seberang pategalan itu. Diantarai oleh beberapa kotak sawah yang sempit, di mulut sebuah padesan kecil. Meskipun demikian, mereka memerlukan melihat gardu kecil itu, apabila secara kebetulan ditunggui oleh dua atau tiga orang setelah pasukan Ki Tambak Wedi menderita kekalahan. Pasukan kecil itu berhenti beberapa langkah dari gardu itu, di balik gerumbul-gerumbul dan semak-semak pategalan. Seorang petugas sandi dengan sangat hati-hati merayap maju. Namun ternyata gardu kecil itu memang kosong. Agaknya Ki Tambak Wedi atau orang-orangnya, memang tidak memperhitungkan bahwa pasukan Menoreh akan menyusul mereka. Sebab menurut Ki Tambak Wedi, luka Ki Argapati menjadi agak parah. Tanpa Ki Argapati, pasukan Menoreh tidak akan mampu berbuat banyak. “Tetapi di gardu di depan pasti ada beberapa orang petugas,” desis Wrahasta. “Pasti,” jawab salah seorang petugas sandi. “Mari kita lihat.” Kemudian katanya kepada salah seorang petugas sandi itu pula., “Suruh pasukan Ki Samekta maju perlahan-lahan. Tetapi mereka tidak boleh keluar dari pategalan ini, supaya tidak dapat dilihat oleh seseorang yang seandainya kebetulan berada di sawah di depan pategalan ini.” Petugas itu pun kemudian meninggalkan Wrahasta kembali ke induk pasukan, sementara kelompok kecil itu merayap semakin maju. Mereka tidak berjalan di atas jalan yang membelah beberapa kotak sawah di antara pategalan dan padesan di depan. Tetapi mereka turun ke dalam parit dan sambil membungkuk-bungkuk menyusur maju mendekati padesan. Di belakang tanggul mereka kemudian berhenti, untuk mengawasi keadaan. Mereka sudah melihat lamat-lamat beberapa berkas sinar lampu yang menerobos dari dinding-dinding rumah menyentuh dedaunan. Dan tiba-tiba saja Wrahasta menggeram, “Persetan dengan penduduk padesan itu. Mereka pun merupakan bahaya bagi pasukan ini. Dan mereka pun memang termasuk orang-orang yang sama sekali tidak kita perlukan lagi.” “Kenapa?” tanpa sesadarnya Gupita bertanya. “Mereka sama sekali tidak mempedulikan perjuangan kami. Selagi kami berprihatin di dalam sarang-sarang tikus, mereka tetap saja tinggal dengan nyamannya di rumah masing-masing dikawal oleh pasukan Sidanti. Sungguh menyakitkan hati.” Wrahasta berhenti sejenak, kemudian, “Apakah tidak sepatasnya kalau mereka dibinasakan pula?” “Berlebih-lebihan,” sahut Gupita. “Sebenarnya mereka pun telah membantu kita. Bukankah di antara mereka telah menyerahkan bahan-bahan makanan dan barang-barang lain yang kita perlukan?” “Hanya satu dua orang saja. Tetapi sebagian besar dari mereka adalah pengkhianat-pengkhianat.” “Jangan dinilai begitu. Kehadiran mereka telah memberikan perlindungan kepada orang-orang yang bersedia membantu kita. Mereka merupakan tabir yang dapat dipergunakan oleh mereka yang membantu kita sebagai tempat persembunyian. Dengan mereka, maka orang-orang yang membantu kita tidak akan segera dikenal. Tetapi tanpa mereka, maka tidak ada seorang pun yang berani memberikan apa saja yang kita perlukan.” Wrahasta mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab. Namun kemudian diperintahkannya seseorang untuk mengintai gardu di ujung lorong. Seorang petugas sandi pun kemudian merangkak dengan hati-hati mendekati padesan itu. Kemudian menyusur dinding batu yang ditumbuhi lumut, mendekati gardu di mulut desa, langsung merupakan regol masuk. Ternyata mereka pun kurang berwaspada karena mereka sama sekali tidak akan menduga, bahwa pasukan lawan telah merayap semakin dekat. Meskipun mereka masih juga bangun, namun mereka tidak banyak menaruh perhatian terhadap keadaan di sekeliling mereka. Mereka saling berbicara dan berkelakar. Tetapi, petugas sandi itu masih melihat, seorang dari mereka berjalan hilir-mudik di muka regol. Sejenak ia mencoba melihat keadaan. Dari mana kelompok kecil itu harus mendekat. Dari mana mereka akan menyergap dan bagaimana mereka dapat segera membungkam para petugas itu. Meskipun petugas sandi itu tidak dapat melihat orang-orang yang berada di dalam gardu, namun ia dapat menduga, bahwa orang-orang itu tidak lebih dari enam atau tujuh orang. Setelah ia menemukan kesimpulan, maka segera ia pun kembali ke kelompok kecil itu dan dengan beberapa petunjuk, dibawanya kelompoknya maju mendekat dengan hati-hati sekali. Kelompok itu akhirnya berhasil berada beberapa langkah saja di samping regol yang sekaligus merupakan gardu penjaga. Pintunya masih terbuka lebar, dan seorang dari mereka masih juga berjalan hilir-mudik dengan senjata telanjang di tangan. Wrahasta mengerutkan keningnya. Ia tampak sedang memikirkan cara yang paling baik berdasarkan pengamatan petugas sandi itu. Lamat-lamat mereka masih mendengar orang-orang di dalam regol itu bergurau. Seseorang di antara mereka telah mengumpat-umpat di sela-sela suara tertawanya. “Mereka harus dibungkam untuk selama-lamanya,” geram Wrahasta yang berjongkok melekat dinding batu. “He, kemarilah,” desis Wrahasta memanggil Gupala. Gupala memandang wajah Gupita sejenak. Ketika ia melihat Gupita menganggukkan kepalanya, maka ia pun merayap mendekat. “Tugasmu adalah menyergap orang yang berjalan hilir-mudik itu. Kami akan segera menyerbu ke dalam regol. Sebagian akan masuk meloncat dinding batu ini dan menyerang dari dalam, supaya tidak seorang pun sempat melarikan diri.” Sekali lagi Gupala memandangi wajah Gupita, dan sekali lagi Gupita menganggukkan kepalanya. “Baiklah,” jawab Gupala kemudian. “Nah kau,” berkata Wrahasta kepada Gupita, “bersama lima orang, kalian meloncat dinding ini, dan menyergap dari dalam.” “Ya,” jawab Gupita. “Aku akan berada di luar bersama Gupala. Aku akan memberikan tanda. Kalau kalian mendengar suara cengkerik berderik dua kali berturut-turut, kalian harus siap. Kemudian kalian akan mendengar aba-abaku untuk menyergap serentak.” Gupita menganggukkan kepalanya. “Cepatlah, bersama lima orang.” Gupita tidak menjawab lagi. Tetapi ia berdesis, “Ayo, siapakah di antara kalian yang akan mengikuti aku meloncati dinding batu ini?” Beberapa orang kemudian bergerak serentak, bergeser mendekatinya. Tetapi justru hampir semuanya. “Yang lain tinggal di sini,” perintah Wrahasta. Akhirnya Gupita mendapatkan kawan-kawannya. Dengan hati-hati mereka satu demi satu meloncati pagar batu yang cukup tinggi. Tetapi ternyata mereka adalah anak-anak muda yang berkemauan dan bertekad baja. Meskipun mereka mengalami sedikit kesulitan, bahkan ada di antaranya yang bagian dadanya terluka dan berdarah, namun mereka berhasil memasuki padukuhan itu. “Sakit?” bertanya Gupita kepada kawannya yang terluka di dadanya. “Ah tidak apa-apa. Hanya lecet sedikit ketika kakiku terlepas dari injakan.” Gupita mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Kita harus mendekat, supaya kita tidak terlambat.” Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan mereka pun kemudian mengikuti Gupita yang merangkak maju mendekati regol. Semakin dekat, suara mereka menjadi semakin jelas. Agaknya mereka mencoba mengusir kantuk mereka dengan berbicara, berbantah dan bergurau. Bahkan di bagian dalam regol itu, tampak sebuah perapian dan sebuah belanga di atasnya. Agaknya mereka merebus makanan atau menanak nasi untuk makan mereka di malam nanti, supaya mereka tidak kehabisan tenaga dan tertidur. Gupita yang merangkak semakin dekat, menjadi semakin berhati-hati karenanya. Kini ia tidak dapat memberi aba-aba lagi, sehingga karena itu ia hanya dapat memberikan tanda-tanda dengan tangannya. Di luar dinding batu, Wrahasta pun berbuat serupa. Ia merangkak semakin dekat diikuti oleh para pengawal. Sedang Gupala merayap mendahului mereka. Dengan hati-hati ia berusaha untuk mencapai jarak sedekat-dekatnya, supaya apabila Wrahasta memberikan perintah, ia langsung dapat menyergap orang itu tanpa memerlukan waktu terlampau panjang. Sejenak kemudian terdengar suara cengkerik berderik dua kali berturut-turut. Tetapi ternyata suara cengkerik itu agak terlampau keras sehingga menumbuhkan kecurigaan pada penjaga yang sedang berjalan hilir-mudik di muka regol sehingga langkahnya terhenti. Dengan dahi yang berkerut-merut dipandanginya arah suara cengkerik yang aneh terdengar di telinganya itu. Wrahasta pun melihat sikap pengawal yang mendebarkan jantung itu. Apalagi ketika pengawal itu justru beberapa langkah mendekat. Gupala benar-benar berusaha menahan nafasnya. Penjaga itu hanya beberapa langkah saja berdiri di depannya dengan termangu-mangu. Sedang kawan-kawannya yang berada di dalam regol masih saja berkelakar dan berbantah tanpa ujung dan pangkal. Dalam ketegangan itulah tiba-tiba Wrahasta berdesis, “Sekarang, Gupala.” Orang yang berdiri termangu-mangu itu mendengar juga desis Wrahasta. Tetapi ia tidak sempat berpikir tentang suara itu. Ia tidak menyangka, bahwa justru dari muka hidungnya, seseorang meloncat menerkam lehernya. Penjaga itu memang tidak sempat berteriak. Tetapi sebuah dengus perlahan telah terdengar dari dalam regol, disusul oleh hentakan-hentakan kaki. Hanya sebentar, kemudian terdiam. Wrahasta menjadi tegang melihat sergapan yang hanya beberapa kejapan mata itu. Betapa pun juga ia terpaksa mengakui, bahwa Gupala memang seorang yang mempunyai kekuatan luar biasa. Namun sejenak kemudian ia menyadari keadaannya. Ternyata beberapa orang di dalam regol itu telah mendengar sesuatu. Suara mereka yang riuh tiba-tiba terputus dan dengan tergesa-gesa beberapa orang berloncatan sambil menggenggam senjata masing-masing. “Hampir terlambat,” desis Gupala di dalam hatinya. Tetapi ia masih menunggu perintah Wrahasta. Dan perintah itu pun menyusul beberapa saat kemudian. Wrahasta pun kemudian memberikan aba-aba untuk menyergap orang-orang yang sedang keluar dari dalam regol itu. Orang-orang itu pun terkejut bukan kepalang. Mereka tidak mendapat kesempatan untuk mempersiapkan diri mereka. Tiba-tiba saja mereka telah diserang dari dalam dan dari luar regol bersama-sama. Apalagi di antara para penyerang itu terdapat Gupala dan Gupita. Wrahasta memang tidak memerlukan waktu terlampau banyak. Orang-orangnya segera menguasai keadaan. Orang-orang yang sesaat yang lalu masih berkelakar, kini terbaring diam tanpa bergerak sama sekali. Gupita melihat mayat-mayat yang terbujur lintang di tanah itu dengan hati yang berdebar-debar. Semua orang yang berada di dalam regol itu memang telah terbunuh mati. Agaknya Wrahasta dan orang-orangnya sama sekali tidak bermaksud untuk membiarkan mereka hidup. Ketika Gupita memandang adik seperguruannya, tampaklah anak yang gemuk itu tersenyum lucu kepadanya. Gupita menarik nafas dalam-dalam. Orang-orang yang dipukulnya sehingga pingsan itu pun ternyata telah mati pula. Ia tidak tahu siapakah yang telah menusuk dadanya dengan sebilah pedang. Gupita mengangkat kepalanya ketika ia mendengar suara Wrahasta datar, “Terima kasih. Kalian telah melakukan tugas kalian sebaik-baiknya. Kini kita akan maju lagi. Di ujung lorong ini, di mulut padukuhan, pasti ada juga beberapa orang penjaga. Mereka pun harus kita binasakan pula.” Sekali lagi Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak kuasa untuk mencegahnya. Meskipun hal itu tidak sesuai dengan keinginannya, namun ia harus membiarkannya terjadi. Bahkan adik seperguruannya itu pun telah melakukannya dengan senang hati. Sementara itu seorang penghubung telah dikirimnya pula untuk memberitahukan apa yang telah terjadi. Kemudian bersama yang seorang lagi, yang telah dikirimnya lebih dahulu, harus menggabungkan dirinya di gardu di mulut lorong yang lain. Demikianlah mereka pun kemudian merayap maju. Di dalam gelapnya bayangan pepohonan yang rapat di jalan padukuhan, mereka mendekati gardu penjagaan di ujung lorong itu. Seorang petugas sandi yang berjalan di paling depan tiba-tiba terhenti. Beberapa langkah ia mundur mendekati Wrahasta. Kemudian dengan isyarat diberitahukannya bahwa di hadapan mereka ada seseorang yang berjalan ke arah mereka. Wrahasta pun kemudian memberikan isyarat kepada orang-orangnya untuk berhenti dan melekat dinding batu di sebelah-menyebelah jalan. Meskipun ada kemungkinan bahwa orang yang berjalan itu dapat melihat mereka, namun orang itu tidak boleh mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu. Agaknya orang itu memang tidak bercuriga apa pun. Ia berjalan saja sambil berlenggang. Namun tiba-tiba ia membelalakkan matanya ketika seseorang tanpa diketahui dari mana datangnya meloncat dan menerkamnya. Ia menyadari keadaannya ketika sudah terlambat. Sepasang tangan bagaikan jari-jari besi telah mencekik lehernya. Sejenak kemudian gelap malam pun menjadi semakin kelam, dan nafasnya pun putus karenanya. Wrahasta menarik nafas dalam-dalam sambil mengibaskan tangannya. Demikian tangannya terlepas, orang itu pun kemudian terjatuh seperti sebatang kayu. “Lemparkan ke balik pagar batu,” perintah Wrahasta kepada salah seorang anak buahnya. Gupita yang melihat mayat itu menahan gejolak di dalam dadanya. Orang itu adalah seorang tua yang sudah tidak bertenaga dan sama sekali tidak bersenjata. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata di dalam hatinya, “Ini adalah salah satu wajah peperangan. Orang ini sama sekali tidak mengerti apa yang telah terjadi atas dirinya. Dan kematiannya pun sama sekali tidak berarti apa-apa.” Namun yang lebih pahit lagi baginya adalah, bahwa Wrahasta sama sekali tidak menunjukkan penyesalan atas peristiwa itu. Dengan jantung yang berdenyut semakin cepat, Gupita menyaksikan mayat itu diangkat dan dilemparkan begitu saja ke balik pagar batu di pinggir jalan. “Kita melanjutkan perjalanan ini. Hati-hati. Mungkin kita akan bertemu dengan seseorang lagi,” berkata Wrahasta kemudian. Tanpa dapat menahan diri lagi Gupita menyahut, “Tetapi orang-orang semacam ini sama sekali tidak berbahaya.” Wrahasta memandang wajah Gupita dengan tajamnya. Kemudian jawabnya, “Kau sangka orang-orang semacam ini tidak mempunyai mulut?” “Aku menyadari. Tetapi orang setua itu tidak akan banyak dapat berbuat. Apakah tidak ada jalan lain daripada membunuhnya?” “Ah, kau.” geram Wrahasta. “Aku tidak sempat berpikir di dalam keadaan serupa ini. Kalau setiap prajurit dan pengawal berbuat seperti kau, maka peperangan yang mana pun tidak akan dapat diselesaikan.” Gupita tidak menjawab lagi. Sementara itu Gupala mendekatinya sambil berbisik, “Memang kau benar-benar aneh, Kakang.” Gupita menggigit bibirnya. Namun ia tidak dapat ingkar dari dera perasaannya. Meskipun demikian ia tidak menjawab lagi. “Cepat, kita maju ke gardu di depan. Tanpa keragu-raguan dan pertimbangan-pertimbangan yang cengeng,” perintah Wrahasta selanjutnya. Maka pasukan kecil itu pun kemudian maju lagi. Lebih cepat dari semula. Semakin lama menjadi semakin dekat dengan gardu di mulut lorong. “Lihat, apakah yang ada di dalam gardu itu,” perintah Wrahasta kepada salah seorang anak buahnya. Orang itu pun kemudian mendekati gardu dengan sangat hati-hati. Di dalam gardu itu ada beberapa orang, tetapi berbeda dengan gardu yang pertama. Orang-orang di dalam gardu itu lebih tidak berhati-hati. Mereka menganggap bahwa penjagaan di gardu pertama cukup kuat, dan mereka sama sekali tidak bermimpi bahwa beberapa orang telah berhasil mendekat, meskipun sebagian dari mereka benar-benar telah tertidur. “Tidak lebih dari lima orang,” berkata orang itu kepada Wrahasta. “Apalagi sebagian dari mereka telah tertidur.” Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. “Cepat. Mereka harus kita selesaikan pula.” Kelompok kecil itu pun semakin mendekat. Dan tiba-tiba saja Wrahasta membawa anak-anak muda di dalam kelompok itu dengan serta-merta menyergap. Tidak seorang pun yang sempat turun dari gardunya. Bahkan yang sedang tertidur pun tidak sempat bangun untuk selama-lamanya. Wrahasta menarik nafas panjang. Pedangnya yang basah oleh darah disarungkannya. Kemudian dengan nada rendah ia berkata, “Kita menunggu mereka yang sedang menghubungi induk pasukan. Kemudian kita akan semakin dekat dengan padukuhan induk.” Kelompok kecil itu pun sejenak mendapat kesempatan untuk beristirahat. Mereka sama sekali tidak menaruh perhatian atas mayat-mayat yang masih terbaring di dalam gardu. Sesaat kemudian maka para petugas yang menghubungi induk pasukan telah menggabungkan diri kembali. Dengan demikian maka kelompok kecil itu segera meneruskan tugas mereka mendahului untuk merambas jalan. “Pasukan induk telah maju,” lapor petugas itu. Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bagus,” katanya, “semakin cepat kita mulai akan menjadi semakin baik. Tetapi setiap kali pasukan induk itu harus menunggu isyarat kita.” “Ya.” Wrahasta kemudian terdiam sejenak. Mereka akan segera melalui sebuah padesan lagi. Wrahasta tahu benar, bahwa di padesan itu pasti terdapat tidak hanya dua buah gardu perondan, karena desa itu agak lebih besar. “Ada tiga jalan memasuki desa itu,” berkata salah seorang petugas sandi. “Ketiganya pasti diisi oleh pengawal-pengawal yang lebih baik dari pengawal di gardu kedua. Setidak-tidaknya mereka adalah pengawal-pengawal setingkat dengan pengawal-pengawal di gardu pertama, sehingga kita tidak akan dapat mengharapkan mereka tertidur nyenyak.” “Sebenarnya mereka tidak berbeda. Tetapi para peronda di gardu kedua agak kurang berhati-hati. Itulah kesalahannya. Bukan karena kemampuan mereka lebih rendah dari gardu pertama. Demikian juga agaknya orang-orang di gardu depan nanti.” Petugas itu berhenti sejenak. “Tetapi kita dapat mengharap bahwa mereka pun lengah.” Kelompok kecil itu merayap semakin dekat. Seperti yang sudah mereka lakukan, maka petugas sandilah yang lebih dahulu mendekati mulut lorong. Orang itu sudah cukup banyak mengenal daerah ini dan bahkan di sekitarnya. Sebagai anak Menoreh, ia sudah terlalu sering bermain-main di tempat ini. “Memang mereka tidak sedang tidur,” bisik petugas sandi itu kepada Wrahasta, “tetapi mereka tidak lebih dari lima orang.” Wrahasta menganggukkan kepalanya. Dengan isyarat dibawanya pasukannya mendekat. Kemudian seperti seekor kucing menerkam tikus mereka menyergap orang-orang di dalam gardu itu. Ternyata perhitungan Wrahasta tepat. Orang-orang ini lebih sigap dari orang-orang yang berada di gardu-gardu yang terdahulu. Tetapi karena jumlah mereka tidak lebih dari lima orang, maka mereka tidak berhasil menghindarkan diri dari terkaman maut. Apalagi sergapan itu datang begitu tiba-tiba tanpa mereka duga-duga lebih dahulu. Tanpa melepaskan korban, kelompok itu telah berhasil membinasakan tiga kelompok peronda. Dan kini mereka merayap maju lagi. Seperti seekor harimau yang sedang mengintai sarang kelinci. Berapa kali saja harimau itu menangkap kelinci, namun harimau itu tidak akan menjadi kenyang sama sekali. Ternyata di desa itu terdapat tiga gardu peronda. Dan isi dari ketiga gardu itu pun mengalami nasib serupa, meskipun di gardu ketiga, salah seorang anggota kelompok yang dipimpin oleh Wrahasta itu terluka di pundaknya. “Jalan telah terbuka,” geram Wrahasta. “Kita tinggal melintasi bulak panjang dan sebuah desa. Kemudian sebuah bulak pendek yang tidak berarti. Di bulak pendek itulah kita akan menyusun gelar.” “Terlampau dekat,” tiba-tiba salah seorang pengawal menyahut. Wrahasta menggeleng, “Tidak. Tidak terlampau dekat.” “Selama kita menyusun gelar di bulak pendek itu, ada kemungkinan, bahwa kedatangan kita diketahui oleh pengawas.” “Tetapi kita akan segera siap untuk menyerang mereka.” “Bukankah lebih baik, apabila dengan tiba-tiba saja kita menyergap seperti gardu-gardu perondan ini?” Wrahasta menggelengkan kepalanya. Sambil menengadahkan dadanya ia berkata, “Kita mempunyai banyak kelebihan dari lawan.” Dada Gupita berdesir mendengar jawaban itu. Agaknya kemenangan-kemenangan kecil di sepanjang jalan ini membuat Wrahasta terlampau berbangga. Karena itu, ia menjadi cemas pula. Gupala yang tidak pernah membuat terlampau banyak pertimbangan itu pun merasakan, bahwa Wrahasta merasa dirinya terlampau cakap untuk memimpin pasukan. Namun Gupala tidak mencoba berbuat apa pun. Kalau terjadi perselisihan di antara mereka, maka keadaan pasti akan menjadi kalut. Dan gurunya hanya dapat menyalahkannya. “Marilah kita lintasi bulak ini dengan mengangkat kepala. Kita telah membinasakan lima kelompok peronda, dalam waktu yang singkat,” berkata Wrahasta kemudian. Raksasa itu tidak menunggu jawaban siapa pun. Segera ia melangkah menyusur jalan yang terbentang di tengah-tengah tanah persawahan yang luas. Gupita yang melihat tingkah laku Wrahasta merasa wajib untuk mempringatkannya demi keselamatan seluruh pasukan, tidak hanya sekedar kelompok kecil ini. Maka dengan hati-hati ia berkata, “Kita harus tetap memperhitungkan kemungkinan pengawasan di tengah-tengah bulak ini.” Wrahasta berpaling. Jawabnya, “Aku sudah tahu. Aku mempunyai pengalaman yang cukup. Aku kira jauh lebih banyak dari seorang gembala, karena aku adalah pemimpin pengawal Tanah Perdikan.” Jawaban itu sama sekali tidak disangka-sangka. Karena itu, terasa sesuatu bergetar di dalam dada Gupita dan apalagi Gupala. Namun keduanya tidak menyahut. Mereka berjalan saja di belakang Wrahasta. Gupita menjadi berprihatin karenanya. Namun Gupala menjadi acuh tidak acuh. Suara Wrahasta dianggapnya seperti desau angin malam yang lewat menyentuh telinganya. “Kalau aku mendengarkannya, maka aku berniat untuk menjawabnya,” berkata Gupala di dalam hatinya. “Dan mulut ini rasa-rasanya sudah terlampau gatal. Karena itu, lebih baik aku tidak mengerti apa yang dikatakannya.” Dan kelompok itu pun merayap maju terus di antara tanah persawahan. Semakin lama semakin jauh ke tengah bulak yang panjang. Mereka dengan penuh tekad menyerahkan segenap hidup mereka kepada kewajiban yang sedang mereka lakukan. Namun dengan demikian, bukan berarti bahwa mereka sedang membunuh diri. Namun agaknya Ki Tambak Wedi dan Sidanti memang tidak memperhitungkan kemungkinan itu. Meskipun mereka tidak menjadi lengah, dan menempatkan para peronda di tempatnya, tetapi agaknya orang-orang yang bertugas itu tidak mendapat peringatan keras, bahwa kemungkinan itu akan dapat terjadi. Menurut perhitungan Ki Tambak Wedi, Ki Argapati pasti masih belum dapat bangkit dari pembaringannya. Meskipun Ki Tambak Wedi sudah mengambil keputusan untuk secepatnya menggempur benteng pring ori itu dan menjadikannya karang abang, namun ternyata para pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh berbuat lebih cepat lagi. Mendahului hari yang telah ditentukan oleh Ki Tambak Wedi. Samekta, pemimpin tertinggi yang kali ini diserahi pasukan di samping Ki Argapati sendiri yang sedang terluka itu, tidak dapat membayangkan, apalagi memperhitungkan dengan tepat, berapakah kekuatan lawan. Sebagai gambaran dipergunakannya kekuatan Ki Tambak Wedi yang dibawa langsung menyerang pemusatan pasukannya yang terakhir. “Mudah-mudahan Ki Tambak Wedi belum dapat menghimpun orang Menoreh yang masih bertebaran di padukuhan-padukuhan kecil. Dengan janji-janji yang membubung setinggi awan, mereka yang ragu-ragu akan menjadi mudah terpikat. Apalagi ternyata selama ini Ki Gede Menoreh hanya bersembunyi saja di balik pagar pring ori itu,” berkata Samekta di dalam haitinya. “Jika demikian, maka jumlah pasukan Ki Tambak Wedi akan segera bertambah. Meskipun mereka bukan orang-orang yang terlatih baik, namun pada umumnya setiap laki-laki di Menoreh, mampu menggenggam senjata.” Samekta mengerutkan keningnya. Apa yang dilihatnya di sepanjang jalan adalah permulaan yang baik bagi pasukannya. Kelompok yang dikirimkannya mendahului induk pasukan ternyata telah melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya. “Meskipun jumlah pasukan Ki Tambak Wedi menjadi berlipat, namun sergapan yang tiba-tiba akan membuat mereka bingung,” desis Samekta. “Mudah-mudahan kita akan segera berhasil.” Sekilas dipandanginya gembala tua yang berjalan beberapa langkah di sampingnya. Sekali-kali tumbuh keragu-raguan di dalam hatinya. “Apakah orang ini benar-benar dapat dipercaya untuk, melawan Ki Tambak Wedi?” Sementara itu induk pasukan Menoreh itu pun maju terus melintasi jalan berdebu. Langit yang kehitam-hitaman ditaburi oleh bintang-bintang yang gemerlapan. Namun tiba-tiba terasa betapa Tanah Perdikan ini telah benar-benar terbakar dalam suatu pertentangan di antara keluarga sendiri. Samekta menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu, Wrahasta tersenyum sambil menengadahkan kepalanya. Dengan garangnya ia berkata, “Para peronda di desa itu pun akan segera binasa.” “Hati-hatilah,” desis Gupita dengan serta-merta. “Aku sudah cukup mengerti,” bentak Wrahasta, “kau tidak perlu setiap kali menggurui aku.” “Tetapi kita sudah terlampau dekat dengan padesan di depan kita. Para peronda di dalam gardu itu akan melihat bayangan kita di hadapan layar kebiruan langit yang terang,” sahut Gupita. “Persetan,” jawab Wrahasta, “kalau kau menjadi ketakutan, kembalilah.” Gupita adalah seseorang yang selama ini selalu berusaha menahan dirinya. Demikian juga pada saat itu. Betapa dadanya menjadi bergetar, namun ia tidak menanggapinya dengan perasaan. “Kita akan langsung menyergap gardu di mulut lorong itu,” geram Wrahasta. Gupita menahan geletar jantungnya. Namun agaknya sikap Wrahasta itu telah menumbuhkan keheranan, tidak saja pada Gupita dan Gupala, namun akhirnya para pengawal Menoreh sendiri pun menjadi heran. Seorang petugas sandi yang berada di dalam kelompok kecil itu segera berkata, “Tetapi dengan demikian kita telah kehilangan kewaspadaan. Sebaiknya kita melakukannya dengan hati-hati seperti yang baru saja terjadi. Bukankah kita berhasil dengan baik? Cara itu ternyata adalah cara yang sebaik-baiknya.” “Kita bukan pengecut,” jawab Wrahasta, “pengecut yang hanya berani menyergap lawan tanpa beradu dada.” “Bukan. Bukan sikap pengecut,” jawab petugas sandi itu. “Tetapi kita memang seharusnya berhati-hati di peperangan.” “Aku akan maju terus lewat jalan ini. Kemudian kita akan bertempur dengan orang-orang yang ada di dalam gardu itu. Kita baru akan dapat dikatakan berhasil dengan baik apabila dengan beradu dada kita dapat membinasakan mereka.” Gupita mengerutkan keningnya. Dan ia melihat Wrahasta menengadahkan kepalanya sambil berdesis, “Lihatlah bintang-bintang yang gemerlapan di langit. Mereka akan menjadi saksi, bahwa malam ini seorang pemimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang bernama Wrahasta telah berhasil menunaikan tugasnya dengan sempurna. Tugas seorang lelaki jantan. Bukan seorang pegecut. Dengan demikian apabila kita berhasil maka kita baru dapat disebut sebenarnya pahlawan.” Wrahasta berhenti sejenak. Namun tiba-tiba semua orang menahan nafasnya ketika Wrahasta itu seolah-olah berbicara kepada bintang-bintang di langit, “He, bintang gemintang. Apabila kita tidak bertemu lagi besok malam, maka kalian akan mengenangkan jasaku atas tanah perdikan ini. Kalian akan melihat bahwa aku bukan pengecut. Bukan orang yang sama sekali tidak berharga seperti yang kalian sangka selama ini.” Orang-orang yang berada di dalam kelompok itu saling berpandangan sejenak. Tetapi tidak seorang pun yang berbicara. Sementara itu Wrahasta sambil tertawa kecil berkata kepada mereka, “Nah, kita akan menyergap dari depan. Ingat. Kita adalah laki-laki.” Gupala yang terheran-heran pula mendekati Gupita sambil berbisik, “He, apakah Wrahasta menjadi gila?” “Hus,” desis Gupita. “Tetapi cara ini memang sangat berbahaya.” “Tetapi menyenangkan,” desis Gupala. “Aku sependapat.” “Ah, kau pun telah menjadi gila pula.” Gupita menjadi jengkel melihat Gupala malahan tersenyum. Dipandanginya wajah Gupita yang berkerut merut. Namun Gupala tidak berkata sesuatu. Tetapi Gupita pun menyadari, bahwa ada perbedaan tanggapan atas sikap Wrahasta dan Gupala, meskipun keduanya ingin mempergunakan cara yang sama. Wrahasta yang dimabukkan oleh kemenangan-kemenangan kecil itu merasa dirinya menjadi terlampau cakap untuk melakukan tugasnya. Sedang Gupala hanya sekedar terdorong oleh jiwanya yang kadang-kadang menggeletak tanpa dapat dikendalikan. Ia memang selalu ingin mengalami sesuatu yang dahsyat. Gupala sama sekali tidak puas melakukan penyergapan atas orang-orang yang sedang tidur atau setengah tidur. Mengejutkan mereka, dan sebelum mereka berbuat sesuatu, orang-orang di dalam pasukannya telah berebutan menghunjamkan pedangnya. “Apakah menariknya perkelahian serupa itu?” katanya di dalam hati. Gupita menarik nafas. Tetapi ia tidak dapat mencegah kelompok ini berjalan terus semakin mendekati mulut padesan di depan mereka. “Wrahasta,” berkata Gupita kemudian, “bukan berarti bahwa kita takut menghadapi mereka beradu dada, tetapi apabila tiba-tiba mereka membunyikan tanda bahaya, maka seluruh tugas kita akan gagal.” Wrahasta mengerutkan keningnya. “Yang pengecut sama sekali bukan kita. Tetapi kalau orang-orang di dalam gardu itulah yang pengecut, akibatnya kitalah yang akan mengalaminya. Pimpinan tertinggi pasukan Menoreh akan menganggap bahwa kita tidak mampu melakukan tugas kita.” Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba ia menggeram, “Itulah susahnya kalau kita tidak yakin bahwa kita akan berhadapan dengan laki-laki jantan.” “Dan pengecut yang demikian akan lari sebelum kita bertemu pandang. Sebagian dari mereka akan segera memukul tanda-tanda bahaya sebelum melihat jumlah lawan yang mereka hadapi.” “Bagus,” jawab Wrahasta yang dengan demikan dapat mendengar keterangan Gupita, “sebagian dari kalian harus berlindung. Kalian akan berjalan di sepanjang parit, dan yang sebagian akan menyusup di antara batang-batang jagung. Aku akan berjalan di atas jalan ini seorang diri.” “Kenapa?” bertanya Gupita. “Aku akan datang dari depan. Dan aku kira mereka tidak akan segera memukul tanda-tanda apabila mereka hanya melihat aku seorang diri.” Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi itu akan jauh lebih baik dari rencana Wrahasta semula. Demikianlah ketika mereka telah menjadi semakin dekat maka Wrahasta segera memerintahkan pasukannya untuk memecah. Katanya kemudian, “Aku akan mulai dengan perkelahian. Kalian harus segera menyergap dari arah masing-masing. Jangan diberi kesempatan sama sekali untuk memberikan tanda apa pun. Kentongan atau panah api atau panah sendaren.” Para pengawal di dalam kelompok kecil itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun para petugas sandi saling berpandangan sejenak. Tetapi mereka kemudian mengangguk-anggukkan kepala mereka pula. Meskipun demikian salah seorang dari mereka bertanya, “Apakah tidak sebaiknya aku melihat lebih dahulu, apa saja yang terdapat di dalam gardu?” “Tidak perlu. Seandainya ada sepuluh atau lima belas orang, apakah kalian takut?” “Bukan takut.” “Nah, kalau begitu, kita akan melakukannya dengan caraku. Seandainya di dalam gardu itu ada sepuluh orang, kita masih mempunyai beberapa kelebihan. Bukanah kita semuanya lebih dari sepuluh orang. Seandainya jumlah mereka lebih banyak, bukankah kalian juga tidak akan takut seandainya satu-dua di antara kalian harus melawan lebih dari seorang?” Jawaban Wrahasta itu sama sekali bukan yang dimaksud oleh petugas sandi itu. Karena itu ia mencoba menjelaskan, “Bukan soal takut atau berani. Tetapi setiap kali kita akan kembali kepada persoalan tanda-tanda seperti yang dikatakan Gupita tadi. Kalau satu saja di antara mereka sempat membunyikan tanda-tanda itu, maka gagallah seluruh tugas kita.” “Itu akan tergantung kepada kemampuan kita,” sahut Wrahasta. “Seandainya ada di antara mereka yang sempat membunyikan atau memberikan tanda apa pun juga, itu berarti kalau kita memang tidak mampu. Dan jika demikian jangan mengharap, bahwa kalian akan disebut pahlawan.” Petugas itu sama sekali tidak puas dengan jawaban Wrahasta, seperti juga Gupita. Tetapi Wrahasta tiba-tiba sudah menjadi seorang yang keras kepala. Agaknya ia ingin benar-benar menjadi seorang pahlawan. Ia ingin menutup kekurangan-kekurangan yang pernah terjadi pada dirinya. Ia harus dapat merebut perhatian Pandan Wangi, bahwa ia adalah seorang pahlawan. Bukan seorang yang sama sekali tidak berdaya melawan anak muda yang gemuk itu. Karena itu, maka tidak ada yang lebih baik dilakukan oleh para pengawal itu selain mematuhi perintah Wrahasta. Sebagian segera turun ke parit di sebelah jalan itu, parit yang mengairi tanah persawahan. Sambil terbungkuk-bungkuk mereka berjalan maju, di balik batang-batang ilalang dan pagar jarak yang tumbuh di pinggir parit. Sedang yang lain segera menyusup di antara batang-batang jagung di seberang jalan. Sedang Wrahasta, seperti yang direncanakannya sendiri, berjalan dengan dada tengadah di sepanjang jalan menuju ke mulut desa di depan. Anak muda yang bertubuh raksasa itu berjalan dengan tegapnya. Sekali-kali ditatapnya langit yang digayuti oleh bintang-bintang yang gemerlapan. Dipandanginya bauran bintang di langit itu dengan seksama, seolah-olah tidak akan pernah berjumpa lagi untuk selama-lamanya. Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Sekali-kali ia mendengar gemerisik di sebelah-menyebelah jalan. Ia sadar, bahwa ia sedang berjalan menuju ke tempat yang berbahaya. Tetapi ia sudah siap, dan dengan dada terbuka akan menghadapinya. Sementara itu, di gardu di regol desa, beberapa orang penjaga sedang bercakap-cakap. Untuk mengisi waktu, mereka bercakap-cakap hilir-mudik tidak berketentuan. Dua orang di antara mereka berada di dalam regol sambil duduk di muka perapian memanasi tubuh mereka. Dingin malam menjadi semakin terasa menggigit tulang. Namun di antara mereka itu terdapat seorang yang selalu siap di depan regol, menyandang pedangnya yang telah telanjang. Ia berjalan setapak-setapak menghilangkan kejemuan dan udara dingin yang menyusup ke dalam tubuhnya. Meskipun demikian setiap kali ia menyapu keremangan malam di depannya dengan tatapan matanya yang tajam. Tiba-tiba dadanya berdesir. Beberapa langkah di hadapannya sesosok bayangan berjalan mendekatinya. Seakan-akan begitu saja muncul dari dalam gelap. Orang itu menggosok matanya, seolah-olah ia belum percaya kepada penglihatannya. Namun bayangan itu semakin lama menjadi semakin jelas berjalan mendekatinya. Ketika bayangan itu tinggal beberapa langkah saja dari padanya, penjaga itu merundukkan pedangnya sambil bertanya, “Siapa kau, he?” Tidak segera terdengar jawaban. “Berhenti di situ!” penjaga itu mulai curiga. “Siapa kau?” Masih belum terdengar jawaban, sedang bayangan itu masih melangkah maju. Orang-orang yang berada di dalam gardu mendengar sapa itu, sehingga beberapa orang meloncat turun sambil bertanya, “Kau berbicara dengan siapa?” Penjaga itu tidak menjawab, namun orang-orang yang turun dari gardu itu pun segera melihat, bahwa seseorang melangkah mendekati gardu mereka. Karena itu, maka serentak mereka maju. Tangan-tangan mereka telah meraba hulu pedang di lambung masing-masing. “Siapa kau?” pertanyaan itu terdengar kembali membelah sepinya malam. Kini bayangan itu berhenti. Bayangan seorang anak muda yang bertubuh raksasa. “Berapa orang kalian?” bertanya Wrahasta yang kini berdiri sambil bersilang tangan di dada. “Siapa kau? Jawab pertanyaanku!” bentak penjaga itu. Kini orang itulah yang melangkah setapak maju. Ketika jarak kedua orang itu menjadi semakin dekat, tiba-tiba penjaga itu berdesis, “Kau Wrahasta?” Mendengar desis itu, maka kawan-kawannya pun segera maju pula. Mereka mengenal Wrahasta, sebagai seorang pemimpin pengawal tanah perdikan yang tetap setia kepada Ki Argapati. Karena itu, maka serentak para penjaga itu menarik senjata masing-masing, berdiri berjajar dengan wajah-wajah yang tegang. Namun Wrahasta masih tetap berdiri sambil bersilang tangan. “Hem,” Wrahasta menggeram, “Tanda, Nala, Dipa, dan siapa lagi yang lain? Kemarilah kalian. Kau, kau dan kau? Aku mengenal kalian meskipun nama-nama kalian agaknya aku telah lupa, karena kalian adalah kelinci-kelinci yang tidak patut diingat sama sekali.” Beberapa orang segera mendesak maju. Sejenak mereka terpukau oleh sikap Wrahasta yang begitu tenang dan yakin akan dirinya sendiri. “Apa kerjamu di sini Wrahasta?” bertanya orang yang disebut Nala. “Kau masih bertanya juga?” jawab Wrahasta. “Seharusnya kau sudah tahu, bahwa aku pasti sedang mengemban tugas Kepala Tanah Perdikan Menoreh melihat-lihat pengawalnya yang telah berkhianat.” Nala mengerutkan keningnya. Namun terasa darahnya mengalir semakin cepat. Katanya, “Kau jangan asal membuka mulutmu saja Wrahasta. Kau harus menyadari, dengan siapa kau sekarang berhadapan. Meskipun kau pernah menjadi pemimpinku ketika aku masih ada di dalam pasukanmu, tetapi sekarang kau adalah orang lain. Kau tidak berhak memerintah aku lagi dengan cara apa pun juga.” “Aku memang tidak akan memerintahkan kau untuk berbuat apa pun karena kau seorang pengkhianat,” sahut Wrahasta. “Diam!” bentak Nala, “Aku telah mengenal kau. Kau bukan raksasa yang perlu ditakuti. Apakah yang telah mendorongmu untuk datang seorang diri kemari? Apakah kau sekarang telah mendapat seorang guru baru yang dapat membuat kulitmu kebal?” “Jangan banyak bicara, Nala. Kumpulkan kawan-kawanmu. Aku terpaksa membunuh kalian meskipun kita sudah lama saling mengenal. Ini bukan persoalan kawan atau bukan kawan. Ini adalah persoalan pokok bagi tegaknya Tanah Perdikan Menoreh.” “Wrahasta, ada dua kemungkinan yang terjadi atasmu sekarang. Kau sudah menjadi kebal melampaui Ki Argapati, atau kau sudah menjadi gila. Kalau kau masih waras, kau tidak akan berbuat demikian. Kau melihat kami di sini. Beberapa orang pengawal yang barangkali memang pernah kau kenal, ditambah oleh beberapa orang yang melihat kebenaran perjuangan kami yang berdiri di pihak Sidanti.” Wrahasta tertawa pendek. “Berapa orang seluruhnya.” “Tiga belas orang,” jawab Nala, “kau dengar? Tiga belas orang.” Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia kini terpaksa berpikir. Tiga belas orang. Cukup banyak. “Tetapi orang-orangku berjumlah lebih dari tiga belas orang termasuk Gupala dan Gupita,” berkata Wrahasta di dalam hatinya. “Nah, kau dengar jumlah itu,” berkata Nala kemudian. “Apakah kau mempunyai aji-aji Bala Srewu atau Pancasona atau Narantaka?” Tetapi Wrahasta justru tertawa. Jawabnya, “Jangan berbangga karena jumlah kalian yang banyak itu. Sebentar lagi kalian akan segera kami bunuh. Benar-benar menurut arti kata itu, kami bunuh.” “Persetan. Menyerahlah.” Wrahasta mengerutkan keningnya. Nala telah melangkah maju dengan senjata di tangan. “Kepung raksasa yang sedang bingung ini.” Beberapa orang segera bergerak. Mereka bermaksud mengepung Wrahasta. Tetapi Wrahasta tidak berdiri saja di tempatnya. Ia pun kemudian melangkah beberapa langkah surut. Dengan demikian maka orang-orang yang akan mengepungnya meloncat-loncat semakin cepat dan menebar semakin jauh, sehingga akhirnya mereka menjadi seleret garis lengkung yang sedang memburu Wrahasta yang melangkah surut. Gupita menarik nafas dalam-dalam menyaksikan hal itu. Semakin jauh mereka dari gardu, maka tugas para pengawal itu pun menjadi semakin sulit, karena sebagian dari para penjaga itu masih tetap berada di depan regol. “Hati-hati,” teriak Nala kemudian, “aku belum mengatakan kemungkinan ketiga. Justru kemungkinan yang paling dekat. Wrahasta tidak saja menjadi kebal atau gila, tetapi ia dapat membawa sepasukan pengawal yang dungu bersamanya.” Mendengar kata-kata Nala itu Wrahasta menjadi berdebar-debar. Sedang para penjaga itu kini telah benar-benar melingkarinya. Karena itu, seperti pesannya kepada para pengawal, begitu ia memberikan isyarat, mereka harus segera menyergap. Dan Wrahasta yang sudah hampir terkepung rapat itu merasa, bahwa waktunya telah tiba. Dengan demikian maka tiba-tiba saja terdengar suaranya menggeletar, “Sekarang. Hancurkan seisi regol ini.” Suara itu segera disambut oleh Nala, “Benar kataku. Hati-hati. Mereka akan segera muncul dari persembunyian.” Para pengawal yang memang sudah siap itu pun segera berloncatan dari balik pohon-pohon jarak dan batang-batang jagung, langsung menyerang para peronda itu, yang telah siap menyongsong mereka. Kali ini para pegawal benar-benar harus bertempur. Mereka tidak hanya sekedar menghunjamkan senjata-senjata mereka ke dada orang-orang yang sedang tidur. “Gila kau, Wrahasta,” geram Nala. Terdengar suara tertawa Wrahasta. Kemudian jawabnya, “Sudah aku katakan, aku akan membunuh kalian satu demi satu.” Pertempuran pun segera berkobar. Setiap orang mendapat lawan masing-masing. Namun ternyata bahwa jumlah orang-orang yang dibawa oleh Wrahasta, termasuk para petugas sandi, masih lebih banyak dari tiga belas orang yang berada di regol itu. Apalagi yang datang bersama Wrahasta terdapat Gupita dan Gupala. Meskipun Gupita masih tetap berusaha mengekang dirinya, namun Gupalalah yang seakan-akan mendapat sejumlah permainan yang menyenangkan. Karena itu, maka seperti orang yang sedang menari ia berloncatan mempermainkan pedangnya. Dan adegan-adegan maut dari tarian anak muda yang gemuk itu benar-benar telah mencemaskan lawan-lawannya. Para penjaga regol itu segera merasa, bahwa mereka tidak akan dapat melawan kekuatan Wrahasta bersama kawan-kawannya. Karena itu salah seorang dari mereka, segera merayap di dalam kegelapan, mendekati tanda bahaya yang tergantung di emper regolnya. Dengan tangan gemetar diraihnya pemukul kentongan yang berada di sudut regol. Wrahasta yang melihat orang itu menjadi berdebar-debar karenanya. Dengan serta-merta ia berteriak, “ He, orang itu. Orang itu.” Tetapi jarak mereka tidak cukup dekat dengan kentongan itu. Dalam keremangan api perapian yang masih menyala di dalam regol, tampaklah orang itu telah berhasil menggenggam pemukul kentongan dan dengan serta-merta meloncat siap untuk membunyikan tanda. “Tahan orang itu!” terak Wrahasta. Tidak akan ada seorang pun yang mampu meloncat sejauh itu. Sehingga dengan demikian tidak akan ada seorang pun yang dapat menghalanginya mengangkat tangannya untuk mengayunkan pemukul itu. Namun tiba-tiba orang itu menyeringai kesakitan. Pemukul itu terlepas dari tangannya ketika terasa sesuatu menyengat lengan dan sekejap kemudian pergelangan tangannya. Belum lagi ia mengerti apa yang terjadi, maka terasa tengkuknya telah dikenai oleh sebongkah batu, sehingga ia terhuyung-huyung beberapa langkah dan jatuh tertelungkup. Sejenak kemudian matanya menjadi semakin gelap, sehingga akhirnya ia pun jatuh pingsan. Ternyata Gupita yang menjadi cemas pula melihat orang yang hampir berhasil membunyikan tanda bahaya itu bertindak cepat. Diraihnya beberapa butir batu. Dengan kecakapannya membidik yang luar biasa ia berhasil menggagalkan usaha orang itu untuk menyentuh kentongannya. Melihat kawannya jatuh terjerembab, Nala menggeram. Tiba-tiba saja pedangnya telah terayun ke arah lambung Wrahasta. Namun raksasa itu cukup cepat menghindar, sehingga ujung senjata itu tidak menyentuhnya. Dalam pada itu perkelahian pun berkobar terus semakin lama semakin dahsyat. Para penjaga yang kemudian seakan-akan menjadi berputus asa, telah berkelahi membabi buta. Namun satu-satu mereka jatuh di tanah untuk tidak bangkit lagi, sehingga pada suatu saat orang yang terakhir, Nala, tidak dapat lagi menghindarkan diri dari ujung senjata Wrahasta, disaksikan oleh para pengawal. Nala masih sempat mendengar salah seorang pengawal yang pernah dikenalnya berkata kepadanya, “Hukuman yang pantas bagi seorang pengkhianat.” Nala menggeliat. Dengan nanar ia mencoba menatap para pengawal, bekas kawan-kawannya itu mengerumuninya. Namun kemudian serasa tulang-tulangnya terlepas dari tubuhnya. Matanya pun menjadi gelap, dan sebuah tarikan nafas yang patah telah menandai kematiannya. Wrahasta berdiri dekat di samping tubuh Nala yang terbujur di tanah. Ia masih sempat tertawa sambil menimang-nimang pedangnya. Namun suara tertawanya itu terputus ketika seorang pengawal mengangkat sesosok tubuh dan meletakkannya di muka Wrahasta. “He, kenapa dia?” “Ia terbunuh dalam pertempuran ini.” Wrahasta mengerutkan keningnya, “Jadi, ada juga yang mati di antara kita?” Pengawal itu mengangguk. “Gila, siapa yang membunuh?” “Salah satu dari mayat-mayat yang bergelimpangan ini.” “Gila. Sungguh-sungguh gila. Beberapa gardu sudah kita lampaui tanpa korban seorang pun. Tetapi di sini kami kehilangan seorang kawan.” “Dan tiga orang telah terluka.” Wrahasta seakan-akan membeku di tempatnya. Tangannya menggenggam pedangnya erat-erat. Terdengar giginya gemeretak dan wajahnya menjadi semerah soga. “Kita berjumlah lebih banyak. Sepuluh orang, ditambah dengan para petugas sandi, aku sendiri dan dua gembala itu. Kenapa kita harus menyerahkan korban di dalam tugas ini?” geram Wrahasta. Tidak seorang pun merasa wajib untuk menjawab. Karena itu maka para pengawal itu pun terdiam. “Kita harus menukar nyawa ini dengan sepuluh nyawa lawan.” Para pengawal itu masih belum juga menjawab. Namun di dalam kesepian yang mencekam terdengar suara Gupala, “Lebih dari sepuluh.” Wrahasta berpaling ke arah suara itu, dan ia melihat anak yang gemuk itu berdiri sambil meraba-aba perutnya, “Berapa orang yang telah kita bunuh bersama-sama? Lebih dari sepuluh, dan kita masih harus membunuh pula. Kita akan merayap ke gardu-gardu yang lain di dalam desa ini yang tentu akan di jaga oleh orang-orang Ki Tambak Wedi seperti gardu ini. Dan kita harus membinasakan mereka pula, apabila kita tidak ingin diketahui oleh lawan sebelum kita memasuki padukuhan induk itu.” Wrahasta mengerutkan keningnya. Kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, lebih dari sepuluh.” “Tetapi akan lebih baik kalau kita tidak kehilangan seorang pun.” Kemudian terdengar suara Gupita, “Setidak-tidaknya kita jangan menambah korban lagi, setelah kami kehilangan seorang kawan dan beberapa orang yang lain terluka. Kecuali korban itu menjadi terasa terlampau mahal, kita juga kehilangan sejumlah tenaga dalam pertempuran-pertempuran yang mendatang apabila kita menyelesaikan para penjaga di gardu-gardu.” “Tentu. Kita tidak akan menjadi gila dengan menyerahkan korban-korban dengan sengaja. Apa yang terjadi adalah di luar kemampuan kita. Tidak seorang pun dapat disalahkan,” jawab Wrahasta. “Benar. Namun kita harus berusaha. Kita harus mengurangi hal-hal yang sama sekali tidak perlu. Kita harus menghemat tenaga.” “Aku tidak mengerti maksudmu.” “Kita tidak perlu bersikap sebagai seorang pahlawan. Kita akan kehilangan waktu. Lebih baik kita mempergunakan cara yang terdahulu. Terbukti dengan demikian kita tidak kehilangan apa pun. Meskipun keadaan kita sekarang sudah berbeda. Kita menjadi semakin sedikit, sedang lawan yang kita hadapi akan menjadi semakin banyak. Aku yakin bahwa gardu-gardu di padesan ini, padesan yang menghadap ke padukuhan induk, akan mendapat penjagaan yang semakin kuat. Gardu yang berada di ujung lain dari lorong ini pasti berisi lebih dari tiga belas orang.” Wrahasta mengerutkan keningnya. Ia menyadari kesalahannya, bahwa ia telah terdorong oleh suatu kebanggaan yang tidak dapat dikendalikannya. Tetapi semuanya sudah terlanjur, sehingga karena itu ia bertanya, “Lalu, bagaimana sebaiknya?” “Kita berjalan terus. Tetapi kita harus menjadi lebih berhati-hati. Kita akan mempergunakan cara-cara yang paling aman, dengan mengendapkan perasaan yang meledak-ledak.” Wrahasta tidak segera menjawab. “Kita akan mendekati setiap gardu dengan diam-diam.” “Kemudian berkelahi melawan orang-orang yang sedang tidur,” sahut Gupala. Gupita mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Memang kita tidak perlu membunuhnya. Kita dapat membuat mereka pingsan. Mereka tidak akan banyak berarti lagi. Sebentar lagi kita sudah akan berada di dalam gelar, dan bertempur beradu dada. Seandainya mereka kemudian sadar, mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi.” “Bodoh. Terlalu bodoh,” bantah Wrahasta. “Aku sependapat dengan kau tentang cara yang akan kita pakai untuk membungkam setiap gardu di depan kita. Tetapi tidak begitu cengeng seperti yang kau maksudkan.” Gupita tidak menjawab. Tetapi sekali lagi ia mendengar Gupala berbisik di telinganya, “Kau memang aneh, Kakang.” Gupita menarik nafas dalam-dalam. Tidak hanya satu-dua kali adik seperguruannya itu membisikkan kalimat-kalimat itu. “Baiklah, kita akan maju lagi. Semua orang ikut bersama kami. Setelah tugas kami di dalam padesan ini selesai, barulah kita akan memberi laporan terakhir kepada pasukan induk.” Setelah meletakkan mayat seorang kawannya di dalam gardu, maka pasukan kecil itu berjalan lagi. Tiga orang yang terluka telah mendapat pertolongan sementara. Tetapi ternyata bahwa luka itu tidak terlampau berat, sehingga mereka masih mungkin untuk bertempur. Demikianlah ketika mereka mendekati gardu kedua di dalam padesan itu, mereka tidak lagi membiarkan Wrahasta tenggelam di dalam arus kebanggaannya yang berlebih-lebihan. Kelompok itu pun kemudian merayap dengan hati-hati mendekat. Seorang petugas sandi harus berusaha mengetahui dan mencoba untuk menilai kekuatan lawan. “Paling sedikit mereka berjumlah lima belas orang,” seorang petugas sandi menyampaikan hasil pengamatannya kepada Wrahasta. Wrahasta mengerutkan keningnya. Jumlah mereka kini sudah berkurang pula karena sudah ada beberapa orang yang terluka. “Tetapi tugas ini harus kita laksanakan,” geramnya. “Kita harus menyergap dengan tiba-tiba,” desis Gupala, “Kali ini kita tidak boleh bermain-main.” Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya, “Marilah, kita mendekat.” Dengan sangat hati-hati kelompok itu pun maju mendekat. Sebagian dari para penjaga itu justru berada di luar regol. Mereka duduk-duduk di atas batu yang berserakan di tikungan jalan. “Jangan beri kesempatan mereka mencabut senjata mereka,” desis Wrahasta. Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini keningnya pun telah mulai berkerut-merut. Ia tidak akan dapat terlampau banyak berpikir lagi untuk menghindari kemungkinan, bahwa senjatanya pun akan terhunjam di dada lawan. Apalagi kini ternyata bahwa jumlah lawan agak lebih banyak, meskipun tidak berselisih terlalu jauh. Sejenak kemudian Wrahasta diam dalam ketegangan. Seakan-akan memberi kesempatan kepada orang-orangnya untuk membuat ancang-ancang. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam, kemudian ia mengangkat tangannya perlahan-lahan. Setiap orang di dalam kelompok kecil itu memperhatikan tangan itu dengan seksama. Apabila tangan itu kemudian tegak, maka setiap orang segera mempersiapkan dirinya. Wrahasta tidak menunggu lebih lama lagi. Sebelum salah seorang penjaga di gardu itu melihat tangannya, maka tangannya tiba-tiba telah diayunkannya. Demikian tangan itu bergerak, maka seperti digerakkan oleh satu tenaga gaib, orang-orang di dalam kelompok kecil itu meloncat dari persembunyian mereka. Satu-dua orang yang tidak dapat menahan ketegangan di dalam dadanya, tanpa disadari telah menggeram sambil menghentakkan dirinya. Orang-orang yang sedang duduk di tikungan, yang sedang berada di dalam gardu dan yang sedang berjalan hilir-mudik di muka regol, terkejut bukan kepalang. Namun mereka adalah orang-orang yang terlatih seperti para pengawal itu. Bahkan ada di antara mereka yang dahulu memang seorang pengawal, ditambah dengan orang-orang yang cukup berpengalaman dalam petualangan bersenjata. Karena itu, maka dengan gerak naluriah, mereka pun berloncatan sambil mencabut senjata-senjata mereka. Hanya Gupala dan Gupita sajalah yang sempat mencapai lawannya sebelum lawannya menarik senjata mereka. Gupala dengan serta-merta telah membelah dada lawannya, sedang pedang Gupita melukai pundak kanan. Orang itu terdorong surut, namun kemudian sebuah pukulan mengenai punggungnya. Meskipun ia menyadari bahwa lawannya hanya bersenjata pedang, namun ia tidak merasa punggungnya menganga karenanya. Ternyata Gupita telah memukul punggung orang yang terluka itu dengan punggung pedangnya. Ia melihat lawannya itu terhuyung-huyung, kemudian jatuh terjerembab. Sejenak orang itu mencoba merangkak, namun kemudian perasaan sakit yang tidak tertahankan lagi telah menjalari tulang-tulangnya. Bintang di langit yang bertaburan itu serasa menjadi berputaran. Dan sesaat kemudian maka ia pun terjatuh kembali. Pingsan. Barulah sekejap kemudian kawan-kawannya menyusul. Mereka menyerbu seperti badai melanda tebing. Tetapi lawan-lawan mereka pun bukan sebuah patung kayu. Untuk mendapat kesempatan mencabut senjata, mereka berloncatan mundur beberapa langkah. Kemudian dengan senjata di tangan, mereka menyongsong lawan-lawan mereka. Sejenak kemudian terjadilah pertempuran yang seru. Gupala dan Gupita segera menempatkan diri mereka di sekitar gardu, agar tidak seorang pun dari lawan yang sempat memukul tanda bahaya. Pemimpin penjaga itu marah bukan buatan. Serangan yang tiba-tiba itu benar-benar telah mengejutkan mereka. Dua orang di antara mereka telah jatuh tanpa perlawanan sama sekali. Karena itu, maka yang masih hidup merasa wajib untuk menuntut balas. Dengan demikian, maka tandang mereka pun menjadi garang. Bahkan ada beberapa orang di antara mereka menjadi buas dan liar. Ternyata pekerjaan kelompok kecil itu kini terasa terlampau berat. Mereka tidak sekedar menusuk perut dan lambung orang yang sedang tidur dan setengah tidur. Kini mereka harus bertempur, melawan orang-orang yang cukup kuat dan tangguh. Bahkan dalam pertempuran yang singkat, segera tampak, bahwa ada beberapa orang pengawal yang mengalami kesulitan melawan orang-orang yang menjadi buas dan kasar. Gupita dan Gupala segera melihat kesulitan yang dialami oleh pasukan kecil itu. Di dalam hati Gupala bersyukur, bahwa pasukan ini tidak lagi datang dengan cara yang baru saja mereka pergunakan. Jika demikan, maka perlawanan ini akan menjadi terlampau berat bagi Wrahasta dan pasukannya. Kini tidak ada pilihan lain bagi keduanya untuk bertempur dengan sepenuh tenaga. Mereka harus mengurangi lawan secepat-cepat dapat mereka lakukan. Jika mereka terlambat, maka korban akan berjatuhan di pihaknya. Dengan demikian, maka mereka tidak dapat lagi menempatkan diri mereka seperti para pengawal yang lain. Mereka harus berbuat sejauh-jauh dapat mereka lakukan, meskipun dalam ungkapan terdapat beberapa perbedaan antara keduanya. Gupala dengan garangnya kemudian memutar pedangnya. Setiap sentuhan dengan pedangnya itu, berarti bahwa lawannya telah kehilangan senjatanya. Akibat berikutnya tidak akan dapat mereka hindari lagi. Pedang Gupala segera menembus dada. Di bagian lain dari pertempuran itu, Gupita telah melumpuhkan lawan-lawannya. Tidak dapat lagi ia menghindari kemungkinan yang paling parah bagi lawannya apabila pedangnya terpaksa menyentuh leher dan dada. Pertempuran kali ini telah benar-benar menitikkan keringat dan darah. Dengan nafas terengah-engah Wrahasta berhasil menyelesaikan lawannya. Kemudian ia melihat orang terakhir yang mencoba melarikan dirinya telah terbunuh oleh Gupala. Namun ia tidak dapat menahan kemarahan yang meluap-luap sehingga terdengar giginya gemeretak. Setelah pertempuran itu selesai, maka segera Wrahasta mengetahui, bahwa tiga orang kawannya telah terbunuh. “Gila. Benar-benar gila. Tiga orang lagi telah terbunuh, sehingga korban dari tugas ini menjadi terlampau banyak. Empat orang mati dan sejumlah yang lain luka-luka.” “Dan kita masih belum selesai,” desis Gupala. Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Kini ia tidak dapat mengingkari kenyataan. Kedua anak-anak muda itulah yang sebenarnya telah mengambil peranan. Bukan dirinya. Tanpa kedua anak-anak muda yang mengaku diri mereka gembala itu, Wrahasta tidak dapat menyebutkan, apa yang telah terjadi dengan pasukan kecilnya ini. “Jadi,” kini Wrahastalah yang bertanya, “apakah kita akan melanjutkan tugas ini?” Gupita terdiam sejenak. Dipandanginya setiap orang di dalam kelompok itu. Tiga orang lagi kini terbujur diam, sedang beberapa orang yang lain telah terluka. Bahkan ada yang tidak akan mampu lagi bertempur sewajarnya. “Tinggal tujuh orang yang masih utuh,” desis Gupita di dalam hatinya. Gupala yang berdiri beberapa langkah daripadanya pun menjadi ragu-ragu pula. Meskipun anak muda itu jarang sekali membuat pertimbangan-pertimbangan, tetapi kali ini ia melihat suatu kenyataan bahwa pasukan kecil ini sudah tidak memiliki kemampuan seperti yang diharapkan. “Tetapi tanpa perambas jalan, maka korban di induk pasukan akan berlipat-lipat,” desis Gupala di dalam hatinya. Sejenak kemudian Gupita menarik nafas. Katanya, “Terserah pertimbanganmu Wrahasta. Kekuatan kita tinggal tujuh orang. Beberapa orang yang terluka masih mungkin untuk sekedar membantu. Tetapi bagi mereka yang hampir tidak lagi mampu menggerakkan tangannya, sudah tentu, sebaiknya mereka tidak ikut bertempur, supaya mereka tidak menjadi korban di gardu berikutnya.” Wrahasta memandang anak buahnya dengan tajamnya. Kemudian dengan nada berat ia bertanya, “Nah, bagaimana pendapat kalian. Kalau kita meneruskan tugas ini, kalian harus menyadari bahwa sebagian dari kita tidak akan keluar lagi dari pertempuran itu. Kita tidak tahu siapakah yang akan menjadi korban berikutnya. Namun setiap kalian masing-masing mendapat kemungkinan yang sama.” Tidak seorang pun yang menjawab. “Kita sebaiknya melanjutkan tugas ini,” desis Gupala. Wrahasta mengangguk. “Ya, itu adalah tindakan yang paling tepat. Siapa yang menyadari kemungkinan akan dirinya, ikut aku. Aku akan berjalan terus. Siapa yang berkeberatan, lebih baik kembali bersama induk pasukan.” Orang-orang itu masih mematung. “Nah, siapakah yang berkeberatan?” Tidak seorang pun yang menjawab. “Terima kasih,” geram Wrahasta, “semua akan pergi bersamaku. Meskipun demikian, mereka yang terluka aku persilahkan menghubungi pasukan induk. Sampaikan kepada Ki Samekta semua kemungkinan. Kalau kami gagal di gardu terakhir, mereka harus segera maju secepat-cepatnya. Kalau kami tidak berhasil membinasakan orang-orang di dalam gardu itu, maka tanda bahaya akan segera berbunyi. Dengan demikian berarti, bahwa pasukan Ki Tambak Wedi masih mempunyai kesempatan untuk mempersiapkan diri, meskipun kesempatan itu teramat pendek, karena pasukan induk kini pasti sudah menjadi semakin dekat pula. Tetapi agaknya akan lebih baik, apabila mereka sama sekali tidak menyadari bahwa pasukan Menoreh telah berada di dalam lingkungan mereka.” Meskipun demikian di antara yang terluka itu ada yang menjawab, “Aku akan ikut bertempur.” Wrahasta menarik nafas. Jawabnya, “Terima kasih. Tetapi yang cukup parah, aku terpaksa melarang. Kalian harus kembali ke induk pasukan. Kalian harus memberitahukan bahwa mereka harus maju lebih cepat untuk menjaga segala kemungkinan.” Mereka yang memang sudah tidak mungkin lagi untuk maju, menganggukkan kepala mereka. Meskipun mereka telah terluka, tetapi mereka memang tidak seharusnya membunuh diri. Karena itu, maka setelah mendapat perawatan sementara, mereka pun segera mundur ke induk pasukan. Kini tujuh orang yang masih utuh dan dua orang yang telah terluka ringan, meneruskan perjalanan mereka. Masih ada sebuah gardu lagi sebelum mereka sampai ke bulak pendek di seberang padesan itu. Di bulak pendek itulah nanti, pasukan Menoreh akan memasang gelar untuk memasuki padukuhan induk. Dan gelar itu pun akan segera berubah bentuknya, apabila pasukan Ki Tambak Wedi tidak menyongsong mereka di luar padukuhan. Dengan sangat hati-hati, mereka merayap mendekati gardu terakhir. Mereka sudah menduga bahwa gardu ini pun pasti dijaga dengan baik oleh orang-orang Ki Tambak Wedi. Dugaan mereka ternyata tidak meleset. Seorang petugas di antara mereka yang berhasil mendekat melaporkan kepada Wrahasta. “Mereka kira-kira berjumlah dua belas atau tiga belas orang.” Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Orangnya kini tinggal berjumlah sembilan orang, termasuk dirinya sendiri. Dengan penuh kebimbangan Wrahasta memandang Gupita dan Gupala berganti-ganti. Sejenak kemudian ia bertanya, “Bagaimanakah pertimbangan kalian?” Yang menjawab adalah Gupala, “Kita sudah berada di muka hidung mereka. Kenapa kau masih ragu-ragu.” Wrahasta mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah Gupala sejenak. Kemudian beralih kepada Gupita. “Baiklah kita selesaikan tugas kita,” desis Gupita pula. “Kita harus berjuang mati-matian. Mungkin di dalam gardu itu masih ada satu dua orang yang lepas dari pengamatan. Itu pun harus kita perhitungkan, sehingga sedikitnya setiap orang dari kita harus menghadapi dua orang sekaligus. Karena itu kita harus lebih berhati-hati. Kita akan merayap sedekat mungkin sehingga kita akan dapat menerkam mereka dengan tiba-tiba tanpa memberi kesempatan sama sekali.” Wrahasta menganggukkan kepalanya. Demikianlah maka kesembilan orang itu segera merayap. Kini mereka memencar menjadi tiga kelompok. Sekelompok dipimpin langsung oleh Wrahasta, sekelompok Gupita, dan sekelompok yang lain dipimpin oleh Gupala. Kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari masing-masing tiga orang itu merayap semakin dekat. Mereka memilih arah yang berbeda untuk membangkitkan kebingungan di pihak lawan yang jumlahnya agak lebih banyak. Wrahasta dan Gupala harus mendahului menyerang, sedang dalam kegugupan, Gupita akan memanfaatkan keadaan masing-masing bersama kedua kawan-kawan mereka di setiap kelompok kecil itu. Semakin dekat kelompok-kelompok kecil itu ke depan para penjaga, dada mereka menjadi semakin berdebar-debar. Tugas ini adalah tugas yang sangat berat bagi mereka. Beberapa langkah di hadapan gardu itu, Wrahasta dan kelompok-kelompok yang lain pun berhenti. Mereka bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul liar dan tanaman-tanaman di sawah. Gupita yang menyusur dinding batu segera membawa kedua kawannya meloncat masuk. Kini para pengawal itu dapat melihat para penjaga yang duduk dengan tenangnya di dalam dan di sisi gardu. Mereka tidak terkantuk-kantuk, tidak bergurau dan berbantah. Tetapi terasa bahwa orang-orang di dalam gardu itu sedang merenungi masing-masing dengan penuh tanggung jawab. Setiap orang yang berada di dalam kelompok-kelompok kecil itu menjadi berdebar-debar. Tugas mereka benar-benar berat. Mereka harus berhadapan dengan sepasukan penjaga yang tangguh. Bahkan jumlahnya pun agak lebih banyak dari sembilan orang, sedang yang dua di antaranya telah terluka meskipun tidak terlampau parah. Wrahasta mencoba mengatur pernafasannya. Dipandanginya arah Gupala bersembunyi bersama kedua kawannya, kemudian ditatapnya mulut lorong itu tajam-tajam. Sejenak kemudian Wrahasta itu menyiapkan dirinya. Diberinya kedua kawan-kawannya itu isyarat, agar mereka siap untuk meloncat. Dan sejenak kemudian terdengar suara raksasa itu membelah langit. “Sekarang. Binasakan mereka.” Setiap orang di dalam gardu itu terkejut. Dengan gerak naluriah mereka berloncatan menghadapi ketiga orang yang tiba-tiba saja telah menyerang mereka. Tetapi Wrahasta kini sama sekali tidak berkesempatan untuk menusukkan senjatanya begitu saja. Seorang penjaga yang sedang bertugas benar-benar telah siap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu ketika dilihatnya ketiga orang yang berloncatan itu, tombaknya segera merunduk dan menyongsongnya. Wrahasta segera menyerang orang yang bersenjata tombak itu dengan garangnya, sedang kedua orang kawannya yang lain dengan serta-merta menyerbu orang itu pula. Kesempatan yang hanya sekejap itu ternyata dapat mereka pergunakan sebaik-baiknya. Sebelum para penjaga yang lain sempat mencapai penjaga yang sedang bertugas itu, Wrahasta dengan kedua kawan-kawannya telah berhasil menembus lambungnya dengan pedang. Para penjaga yang lain pun berteriak marah sekali. Dengan penuh kemarahan mereka berlari menyerang Wrahasta dengan kedua kawannya. Tetapi tanpa mereka duga-duga, Gupala meloncat seperti tatit menyerang salah seorang dari mereka. Begitu tiba-tiba, sehingga kedua kawannya yang meloncat bersamanya tertinggal beberapa langkah. Beberapa orang tertegun melihat kedatangan ketiga orang dari arah yang lain ini. Tetapi mereka tidak mendapat kesempatan. Agaknya dalam keadaan yang gawat, Gupala tidak lagi menggenggam pedang di tangan kanannya. Seperti yang dikatakannya, pedang itu dipegangnya dengan tangan kiri, dan tangan kanannya memegang senjata ciri perguruannya. Sebuah cambuk panjang. “Orang-orang di seberang bulak itu tidak akan mendengar suara cambuk ini asal aku tidak meledakkannya dengan sepenuh kekuatan tanpa sasaran,” berkata Gupala di dalam hatinya. “Apabila ujung-ujung cambuk ini menyentuh seseorang, maka suaranya tidak akan mengganggu.” Dan ternyata serangan cambuk Gupala itu telah mengejutkan lawannya. Dengan gerakan sendal pancing, maka pada serangan pertama Gupala telah berhasil melemparkan seorang lawan. Namun kali ini anak yang gemuk itu tidak sempat memperhatikannya, apakah lawannya itu dengan demikian telah terbunuh. Dengan segera Gupala telah menyerang orang kedua yang dengan susah payah mencoba menghindarinya. Namun bagaimanapun juga punggungnya serasa disengat oleh puluhan lebah. Terdengar ia berdesis menahan sakit. Namun dengan demikian, matanya segera menjadi merah karena kemarahan yang tidak ada taranya. Dalam kekisruhan itulah Gupita hadir bersama kedua kawan-kawannya justru dari dalam regol, sehingga untuk sejenak, para penjaga regol itu menjadi bingung. Namun karena pengalaman mereka, maka mereka pun segera berhasil memperbaiki keadaan mereka dan mengatur diri dalam perlawanan yang teratur. Meskipun di saat-saat permulaan itu, beberapa orang telah terbunuh, namun ternyata jumlah mereka masih lebih banyak dari jumlah pasukan kecil yang tinggal sembilan orang itu. Namun ternyata bahwa senjata Gupala yang lentur dan agak panjang itu, sangat membantunya untuk menghadapi dua tiga orang sekaligus, meskipun setiap sentuhan senjata itu akibatnya agak berbeda dengan akibat sentuhan ujung pedang. Tetapi dengan demikian, maka senjata itu segera dapat mengurangi kemampuan lawan. Gupita agaknya sependapat pula dengan adik seperguruannya. Maka setelah mengambil ancang-ancang sejenak, ia pun segera mengurai senjatanya yang dibelitkannya di lambung, di bawah bajunya. Dengan demikian, maka sepasang cambuk panjang itu telah sangat membingungkan lawan-lawannya. Tanpa mereka sangka-sangka, tiba-tiba saja leher mereka telah disengat oleh ujung cambuk yang mampu menyayat kulit. Sejenak kemudian, maka perkelahian itu menjadi semakin seru dan kasar. Dengan pedangnya Wrahasta mengamuk seperti harimau luka. Kawan-kawannya pun berusaha sekuat-kuat tenaga untuk melawan jumlah yang lebih banyak itu. Namun agaknya Gupita dan Gupala-lah yang sangat menarik perhatian lawan-lawan mereka, sehingga dengan demikan maka sebagian dari mereka telah berkerumun di sekitar kedua anak-anak muda itu untuk menahan agar keduanya tidak menimbulkan korban yang semakin banyak. Untuk menghadapi mereka, Gupita dan Gupala tidak lagi sempat bermain-main. Kini mereka bertempur, sebenarnya bertempur. Namun keduanya memang memiliki banyak kelebihan dari anak-anak muda kebanyakan. Meskipun tiga orang melawannya sekaligus, namun kedua anak-anak muda itu tdak terlampau banyak mengalami kesulitan. Dengan mengerahkan kemampuan mereka, maka mereka segera berhasil mengatasi lawan-lawannya. Yang harus mereka lakukan adalah segera membinasakan lawan. Secepat-cepatnya supaya mereka masih mempunyai waktu untuk menolong kawan-kawannya. Demikianlah maka pertempuran kecil itu segera mencapai puncaknya. Adalah menguntungkan sekali bahwa para penjaga itu telah memusatkan perhatian mereka kepada Gupita dan Gupala. Dengan demikian maka kawan-kawannya yang lain mendapat kesempatan untuk menghadapi lawan seorang dengan seorang. Meskipun demikian ternyata bahwa penjaga itu bukan orang-orang yang dapat dengan mudah mereka kuasai. Bahkan ada di antara mereka yang segera dapat mendesak para pengawal. Lawan Wrahasta pun ternyata bukan seorang yang dapat diremehkan. Raksasa itu terpaksa memeras segenap kemampuannya untuk melawan. Meskipun mereka teah bertempur beberapa lama, namun belum ada tanda-tanda bahwa Wrahasta segera dapat menguasainya. Yang sealu mendapat perhatian dari para pengawal, bagaimanapun juga mereka dalam kesibukan mempertahankan diri, adalah kemungkinan para penjaga itu membunyikan tanda-tanda. Karena itu maka para pengawal termasuk Gupita dan Gupala selalu berusaha, agar tidak seorang pun yang berkesempatan menyentuh kentongan atau tanda-tanda yang lain. Ternyata Gupita dan Gupala memang anak-anak muda yang pilih tanding. Sejenak kemudian lawan-lawan mereka sama sekali sudah tidak berdaya. Ketika ujung cambuk Gupala menyambar leher seorang lawan, maka dengan sekuat tenaga cambuk itu dihentakkannya, sehingga orang itu terdorong ke depan. Belum lagi ia dapat menguasai keseimbangannya, maka pedang di tangan kiri Gupala telah membenam di perutnya. Ketika Gupala menarik pedangnya, maka orang itu pun segera terjerambab. Mati. Kawan-kawan orang yang mati itu tertegun sejenak. Mereka benar-benar menjadi ngeri melihat ujung cambuk Gupala yang seolah-olah mempunyai mata. Meskipun di antara mereka terdapat orang-orang liar, namun mereka belum pernah melihat seseorang yang mampu berkelahi dengan cara itu. Di bagian lain, Gupita pun segera menguasai lawan-lawannya. Setiap kali salah seorang lawannya terlempar dari gelanggang sambil menyeringai kesakitan. Dan setiap mereka berusaha untuk bangkit dan mendekat, maka ujung cambuk itu pun telah menyengatnya pula. Ternyata ujung-ujung cambuk itu mempunyai kemampuan yang luar biasa. Ketika Gupita menghentakkan cambuknya, terasa cambuk itu seperti remasan besi pada lengan seorang lawannya. Tanpa dapat bertahan lagi, maka tangan itu menjadi lumpuh dan senjata di dalam genggamannya pun kemudian terjatuh di tanah. Ketika cambuk itu disentakkan, maka seakan-akan tangan itu telah ditarik oleh kekuatan yang tidak terlawan, sehingga orang itu terpelanting dan jatuh terbanting di tanah. Sebuah batu yang menyentuh bagian belakang kepalanya telah membuatnya terpejam untuk waktu yang tidak dapat diperhitungkan. Demikianlah kedua anak-anak muda itu telah berhasil menjatuhkan lawannya seorang demi seorang. Dengan demikian, ketika lawan-lawan mereka telah habis, mereka pun segera berusaha membantu kawan-kawannya yang masih bertempur dengan gigihnya. Meskipun tugas kelompok kecil itu menjadi semakin berat di dalam pertempuran di gardu terakhir ini, namun karena Gupita dan Gupala telah mempergunakan hampir segenap kekuatannya, maka tugas mereka terasa agak lebih cepat selesai. Para penjaga itu seorang demi seorang berjatuhan di tanah. Dan tidak seorang pun di antara mereka yang berhasil untuk bangkit kembali. Meskipun demikian Wrahasta terpaksa menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dari sembilan orang yang terakhir itu telah pula jatuh tiga orang gugur, dan hampir semuanya, selain Gupita dan Gupala, terluka. Bahkan Wrahasta sendiri juga terluka di pahanya, ketika tombak lawannya yang mengarah ke dada berhasil disentuh dengan pedangnya. Namun ternyata ujung tombak itu masih juga mengenainya. “Ternyata kita telah menyelesaikan tugas kita dengan korban yang terlampau banyak,” desis Wrahasta. Gupita dan Gupala menarik nafas dalam-dalam. Sejenak mereka merenungi ketiga orang yang telah jatuh sebagai banten. “Tetapi pengorbanan mereka tidak akan sia-sia,” Wrahasta meneruskan. “Adalah wajar setiap orang yang memasuki pertempuran mendapat kemungkinan serupa itu. Aku pun juga.” Gupita dan Gupala masih tetap berdiam dri. “Nah, siapakah di antara kalian yang masih sanggup untuk menghubungi pasukan induk?” bertanya Wrahasta. Ia tidak sampai hati untuk memberikan perintah begitu saja kepada orang-orangnya yang telah terluka itu. Dan tiba-tiba saja Gupita menyahut, “Biarlah aku pergi ke induk pasukan.” “Bukan, bukan kau,” jawab Wrahasta dengan serta-merta. “Aku tidak berwenang memerintah kau. Kau adalah orang-orang yang dengan sukarela telah membantu kami.” “Aku akan pergi dengan suka rela pula” Wrahasta menarik nafas dalam-dalam. Dipandangnya Gupita dengan seksama. Pandangannya terhadap anak muda itu kini berubah sama sekali. Namun dengan demikan, maka seakan-akan ia telah kehilangan harapan untuk bersaing dengan salah seorang dari kedua gembala yang penuh dengan teka-teki itu. Bersaing untuk mendapatkan Pandan Wangi. “Apakah keberatanmu kalau aku melakukannya?” bertanya Gupita. “Aku tidak mempunyai keberatan apa pun. Tetapi kau sudah cukup banyak memberikan jasa kepada kami.” Gupita menarik nafas dalam-dalam. Kemudian kepada Gupala ia berkata, “Kau tetap di sini. Aku akan menghubungi pasukan induk agar mereka mempercepat perjalanan. Pintu sudah terbuka, dan kita akan segera memasang gelar di hadapan hidung Ki Tambak Wedi.” Gupala mengangguk. Jawabnya, “Baiklah. Aku akan menunggu di sini.” Gupita pun kemudian meninggalkan kelompok yang sudah menjadi semakin kecil itu menghubungi induk pasukan untuk melaporkan apa yang telah terjadi. Dengan tergesa-gesa ia berjalan melalui jalan yang baru saja dilewatinya, dengan arah yang berlawanan. Ia ingin segera sampai, dengan demikian pasukan induk itu akan maju semakin cepat. Agaknya malam telah menjadi semakin dalam, dan kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat timbul dengan tiba-tiba. Namun setiap kali Gupita menjadi berdebar-debar. Apalagi apabila ia sedang melalui gardu yang pernah dihancurkannya. Ia masih melihat beberapa sosok mayat yang berserakan. “Korban masih akan berjatuhan,” desisnya, “dan mayat pun akan bertambah-tambah. Besok tanah perdikan ini akan meratap, karena anak-anaknya yang terbaik telah saling membunuh di peperangan.” Tetapi Gupita tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa selama manusia masih dikendalikan oleh nafsunya, maka benturan kepentingan di antara mereka pasti masih akan terjadi. Betapa pendeknya nalar manusia. Apabila mereka menemui kesulitan untuk mencari jalan penyelesaian, maka keunggulan jasmaniah akan menjadi ukuran untuk menentukan kebenaran. Yang menang akan menjadi kebanggaan, dan yang kalah menjadi pangewan-ewan. Hal itu dapat terjadi timbal-balik tanpa menghiraukan tuntutan nurani kemanusiaan. Gupita menarik nafas dalam-dalam. Terbayang di wajahnya dua orang yang kini sedang beradu kepentingan. Kalau Argapati menang, maka ia adalah pahlawan yang telah menyelamatkan Tanah Perdikan ini, namun apabila Ki Tambak Wedi menang, maka pengikutnya akan meneriakkan kidung kemenangannya itu sebagai seorang yang telah membebaskan Tanah Perdikan ini dan membawa udara pembaharuan. “Tetapi betapa dalamnya, namun di dasar hati mereka pasti terpercik kebenaran yang diakui oleh peradaban manusia masa kini,” berkata Gupita di dalam hatinya. “Mereka akan berbicara tentang hak dan tentang keadilan.” Gupita mengerutkan lehernya ketika terasa angin malam yang dingin menyapu kulitnya. Kemudian langkahnya pun menjadi semakin cepat. Sementara itu, Gupala, Wrahasta, dan kawan-kawannya yang masih hidup meskipun terluka, duduk di bibir gardu sekedar melepaskan ketegangan hati. Namun dalam pada itu, Gupala pun kemudian merebahkan dirinya sambil bergumam, “Kalau aku tertidur, jangan tinggalkan aku di sini.” Wrahasta menggeleng-gelengkan kepalanya. “Bukan main orang ini,” berkata Wrahasta di dalam hatinya. “Perang yang telah membayang di pelupuk, bagi anak yang gemuk itu, seolah-olah hanya sekedar permainan kejar-kejaran saja.” Tetapi Wrahasta tidak mengatakannya. Dibiarkan saja Gupala terbaring diam. Sejenak kemudian nafasnya pun menjadi teratur. Dan matanya pun segera terpejam. Tetapi telinga Gupala memang telinga yang luar biasa. Meskipun ia tertidur tetapi ia pun segera terbangun ketika ia mendengar derap suara kaki-kaki kuda yang semakin lama menjadi semakin dekat. Dua ekor kuda. Dengan sigapnya Gupala meloncat turun justru mendahului mereka yang tidak tertidur. Dengan berdiri tegang ia memandang ke dalam kelamnya malam. Sambil menunjuk ia berdesis, “Kuda itu datang dari sana. Dari padukuhan induk.” Wrahasta dan kawan-kawannya yang kemudian menyusul turun dari gardu menjadi tegang pula. “Ya. Suara itu datang dari sana.” Sementara itu dua orang sedang berpacu di atas punggung kuda. Namun dinginnya malam agaknya telah membuat mereka tidak begitu bernafsu untuk berpacu lebih cepat lagi. “Barangkali Sidanti sedang diganggu oleh mimpi buruk,” desis yang seorang. Yang lain tertawa. Katanya, “Apa salahnya kita berhati-hati. Ada dua kemungkinan, Sidanti bermimpi buruk karena ketegangan yang mencengkam kepalanya, atau telinga kita memang sudah terganggu.” “Kalau terjadi sesuatu, mereka pasti akan memberikan tanda apa pun.” “Kecuali kalau mereka sudah berhasil menyelesaikan masalah itu sendiri.” “Sebenarnya kita tidak perlu pergi. Malam dinginnya bukan main. Lebih baik tidur melingkar di gardu.” “Tetapi telinga Sidanti yang sedang nganglang di pinggir padukuhan induk itu agaknya memang mendengar ledakan cambuk.” Kawannya tertawa dan berkata, “Sekali lagi aku menganggapnya, Sidanti diganggu oleh mimpi buruk.” Keduanya kemudian terdiam. Kuda-kuda mereka masih berlari terus menuju ke desa yang semakin dekat, seolah-olah muncul dari dalam kabut yang hitam. “Sepi,” desis yang seorang. “Tetapi di gardu itu terdapat orang-orang yang cukup matang. Mereka tidak akan tertidur.” Kawannya tidak menjawab. Tetapi kepalanya terangguk-angguk. Ketika mereka telah menjadi semakin dekat, timbullah kecurigaan di hati kedua orang itu. Mulut lorong itu terasa terlampau sepi. Bahkan ketika mereka menjadi semakin dekat lagi, mereka sama sekali tidak mendengar suara apa pun dari dalam gardu itu. “Aneh,” bisik yang seorang. “Marilah kita lihat.” Keduanya menjadi semakin dekat. Dan tiba-tiba saja yang seorang telah menarik pedangnya dengan serta-merta sambil bergumam, “Hati-hati.” Yang lain pun segera bersiap. Dengan sigapnya pula dalam sekejap pedangnya telah berada di tangan. Tenyata mereka telah melihat mayat yang terbujur di tanah. “Mereka telah mati,” desis salah seorang dari mereka. “Nah, kau lihat bahwa Sidanti tidak sedang bermimpi buruk? Ternyata memang telinga kitalah yang tuli.” “Sekarang bagaimana?” “Kita bunyikan tanda bahaya.” Kawannya menganggukkan kepalanya. Keduanya pun segera mendekati gardu dengan hati-hati. Pedang-pedang mereka telah siap di tangan. Tetapi mereka tertegun karena di gardu itu sama sekali tidak terdapat sebuah kentongan pun. Sejenak kedua orang itu saling berpandangan. Kemudian tanpa berjanji mereka berusaha mencari, di manakah kentongan yang biasanya tergantung di sudut gardu. Namun mereka sama sekali tidak menemukannya. “Gila,” desis salah seorang dari mereka. “Agaknya orang-orang yang dengan licik menyerang gardu ini telah pergi sambil melenyapkan semua alat dan kemungkinan untuk memberikan tanda-tanda.” “Tetapi induk pasukan harus segera mengetahui. Ternyata pendengaran Sidanti sangat mengagumkan. Jika demikian maka di antara para penyerang terdapat orang-orang yang bersenjata cambuk itu.” “Kita harus menemukan jejaknya.” “Terlampau berbahaya. Mereka pasti datang dengan kekuatan yang cukup. Lihat, seluruh isi gardu ini terbunuh. Tidak seorang pun yang dapat melepaskan diri, dan mereka sama sekali tidak sempat membunyikan tanda bahaya.” “Kalau begitu?” “Kita kembali. Kita laporkan semuanya kepada Sidanti.” “Ya. Begitulah.” Tetapi sebelum kuda-kuda mereka bergerak, mereka telah di kejutkan oleh suatu suara, “He, bukankah kalian bernama Kirti dan Juki?” Kedua orang berkuda itu terkejut. Suara itu telah menyebut nama mereka dengan tepat. Tetapi mereka sama sekali belum melihat dari manakah arah suara itu. Dalam kebingungan mereka mendengar suara dari suatu arah, “Kirti dan Juki, kenapa kau menjadi bingung?” Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Kirti menggeretakkan giginya sambil berteriak, “He, setan alas! Ayo, keluar dari persembunyianmu.” Tetapi terdengar suara yang lain lagi, “Jangan marah Kirti. Kau akan menjadi terlampau cepat tua.” Keduanya menjadi semakin bingung. Suara itu seperti berputar-putar dari segala arah. Tetapi keduanya bukan penakut yang segera kehilangan akal. Karena suara yang mereka dengar juga selalu berubah, maka keduanya segera mengambil kesimpulan bahwa yang ada di sekitarnya pasti bukan hanya satu dua orang. Sejenak mereka saling berpandangan. Namun sejenak kemudian Kirti berdesis, “Tidak ada gunanya untuk melawan. Kita harus melaporkannya.” Juki menganggukkan kepalanya. Karena itu, maka mereka segera menggerakkan kendali kuda mereka sehingga kuda-kuda itu pun segera meloncat meninggalkan tempat itu. Namun kuda-kuda itu segera terkejut. Keduanya meringkik dan berdiri pada kedua kaki belakang, ketika tiba-tiba saja sebuah cambuk telah melibat kaki-kaki mereka. Hampir saja penunggangnya terpelanting. Hanya karena keprigelan mereka sajalah maka mereka tidak terlempar. Namun tanpa mereka sangka-sangka, sebuah kekuatan yang besar telah menghentakkan tangan mereka, dan menyeretnya jatuh ke tanah hampir berbareng. Dengan sigapnya mereka berloncatan. Segera mereka berhasil berdiri di atas kedua kaki masing-masing. Sedang pedang mereka masih tetap di dalam genggaman. “Siapa kalian, setan!” bertanya Juki. Yang berdiri di hadapan keduanya adalah seorang anak muda yang gemuk. Sambil tertawa ia berkata, “Kalian harus tetap berada di sini.” “Siapa kau?” “Kami telah terpaksa membunuh orang-orang yang sedang berada di dalam gardu. Terpaksa. Tetapi tidak terhadap kalian, karena kami mempunyai banyak kesempatan untuk berbuat lain. Apalagi kalau kakakku tahu, bahwa aku telah membunuh kelinci, maka aku pasti akan dimarahi. Nah, karena itu, tinggallah kalian di dalam gardu ini. Sebagai bukti ketaatan kami kepada kakakku, maka kalian akan kami ikat dan kami tunjukkan kepadanya, bahwa kami hanya membunuh apabila terpaksa. Terpaksa sekali. Dan bahkan ia, maksudku kakakku itu, pasti telah melakukan pembunuhan pula selama pertempuran berlangsung. Sengaja atau tidak sengaja.” Kedua orang itu menggeretakkan giginya. Ketika sekilas mereka memandangi kuda-kuda mereka, maka kuda-kuda itu telah lari dan hilang di dalam kelamnya malam. “Jangan melawan.” “Persetan dengan kau!” teriak Kirti. “Kaulah yang harus menyerah kepada kami dan mempertanggungjawabkan segala kesalahanmu.” “Ah, jangan berpura-pura. Aku tahu, bahwa kalian menjadi gemetar. Lebih baik kalian berterus terang. Kami tidak akan membunuh kalian. Tetapi kami hanya ingin mengikat kalian di dalam gardu itu.” “Lihat, aku bersenjata. Laki-laki yang bersenjata pantang menyerah. Kecuali kepada maut.” Gupala tiba-tiba saja tertawa, “Ah, jangan berbicara seperti dalang wayang beber.” “Persetan!” kedua orang itu merasa benar-benar terhina. “Berlakulah jujur. Kalian ngeri melihat mayat yang berserakan ini bukan? Tentu. Aku juga menjadi ngeri. Karena itu jangan kita tambah lagi jumlahnya. Seandainya kita bertempur, maka baik aku mau pun kau yang terbunuh, jumlah mayat-mayat ini pasti akan bertambah.” Kedua orang itu tidak menjawab lagi. Serentak mereka melangkah maju. Namun langkah itu tertegun mendengar anak yang gemuk itu berkata, “Kalian telah terkepung. Kami mampu membunuh seluruh isi gardu tanpa perlawanan yang berarti. Meskipun ada juga korban yang jatuh di pihak kami. Meskipun demikian kalau kau menyerah, kami akan menghidupi kalian.” Kedua orang itu tertegun. Mereka percaya, bahwa mereka benar-benar telah terkepung. Tetapi untuk menyerah, terasa betapa rendah martabat mereka. Karena itu, maka dengan serta-merta mereka menyerang Gupala. Kedua senjata itu langsung menusuk ke pusat jantung. Tetapi Gupala tidak sedang tidur nyenyak. Dengan sigapnya ia menghindar sambil berkata, “Jangan membunuh diri. Sebaiknya kalian melihat kenyataan yang kalian hadapi.” Tetapi kedua orang itu sama sekali tidak menghiraukaunya. Keduanya segera mempersiapkan serangan berikutnya. Senjata mereka bergetar secepat getar jantungnya. Gupala menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak mendapat kesempatan untuk terlalu banyak berbicara. Kedua lawannya itu menyerang dengan dahsyatnya. “He, jangan gila.” Gupala masih mencoba berteriak. Namun suaranya hilang seperti teriakan seorang nelayan yang sendiri di lautan lepas. Kedua lawannya masih tetap menyerangnya. Dan Gupala terpaksa selalu menghindar. Tetapi ternyata Gupala bukan seorang yang cukup sabar dan ragu-ragu menghadapi lawan-lawannya yang demikian. Ia merasa bahwa ia sudah tidak dapat dianggap sewenang-wenang lagi, karena ia sudah mencoba memberi pringatan kepada lawan-lawannya. Tetapi karena mereka tidak menghiraukannya, maka apa boleh buat. Dan Gupala memang tidak begitu berhasrat menahan dirinya lagi. Kedua orang yang baginya terlampau sombong itu, sama sekali tidak diberinya kesempatan lagi. Kali ini Gupala bertempur dengan pedang. Dengan tenaganya yang dahsyat, ia memukul senjata lawannya. Sentuhan pertama membuat tangan lawannya menjadi pedih. Sedang sentuhan berikutnya telah melemparkan senjata lawannya beberapa langkah dari padanya. Gupala segera menyerang lawannya yang sudah tidak bersenjata lagi itu. Dengan susah payah mereka berloncatan dan mencoba memencar. Namun nasib mereka memang terlampau malang. Tanpa mereka duga, tiba-tiba saja muncul beberapa orang di belakang mereka, sehingga mereka telah terkepung rapat. Dan ternyata bukan sekedar sebuah kepungan yang rapat. Sejenak kemudian kepungan itu telah menyempit, dan tanpa dapat berbuat apa-apa lagi, beberapa ujung senjata telah hampir melukai tubuhnya. “Nah, apakah kau masih akan melawan?” terdengar suara yang bernada dalam. Kedua orang itu berpaling. Dilihatnya wajah Wrahasta yang tegang. Tetapi kedua orang itu tidak menjawab. “Sudah terlampau banyak korban di pihak kita,” berkata salah seorang yang lain, “sedang kita masih belum cukup mendapat ganti. Karena itu bunuh saja kedua tikus ini.” “Sudah sekian banyak kita membunuh dan sekian banyak korban yang jatuh. Kenapa kita masih sempat membuat pertimbangan-pertimbangan?” Namun tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka mendengar suara di belakang mereka, “Adalah kurang bijaksana untuk membunuh orang yang sudah tidak berdaya.” Ketika mereka berpaling, mereka melihat seseorang yang berdiri bertolak pinggang. Gupala dan beberapa orang yang lain mengerutkan keningnya. Namun segera mereka dapat mengenal orang itu, “Ki Peda Sura.” Karena itu, maka dada mereka pun menjadi berdebar-debar. Ditatapnya orang yang bertolak pinggang itu dengan tajamnya. Sejenak kemudian terdengar orang itu berkata, “Memang luar biasa. Kalian telah berhasil membinasakan seluruh isi gardu. Kemudian kedua orang yang ditugaskan oleh Angger Sidanti ini pun berhasil kalian jebak pula. Tetapi sayang, bahwa kau telah membunuh beberapa orang-orangku pula sehingga aku pun memerlukan kalian sebagai gantinya. Setuju?” Darah Gupala segera menjadi panas. Selangkah ia maju. Meskipun ia sadar, bahwa Ki Peda Sura adalah seorang yang pilih tanding. Namun untuk melawan orang itu bersama-sama dengan beberapa orang kawan-kawannya, agaknya akan dapat memberinya kesempatan bertahan beberapa lama. “He, kau anak yang gemuk,” desis Ki Peda Sura. “Kau memang anak yang berani. Berani, cerdik dan tangguh. Tetapi kau kurang cermat. Kedua ekor kuda yang kembali tanpa penunggangnya itu aku jumpai di pinggir padukuhan induk. Dan salah satu di antaranya telah aku pergunakan kemari, karena aku menjadi curiga karenanya.” Gupala mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba ia berteriak, “Bohong. Kupingku tidak tuli. Kalau kau datang berkuda, aku akan mendengar derap kakinya.” Ki Peda Sura tertawa. Katanya, “Hanya orang-orang yang bodoh sajalah yang berpacu dengan derap yang memekakkan telinga. Kuda-kuda itu dengan senang hati akan berjalan lebih lambat tanpa melemparkan suara gemeretak sampai berpuluh-puluh langkah di depan, sebelum kuda itu mendekat.” Gupala tidak menyahut. Dan Ki Peda Sura berkata, “Aku berhenti beberapa puluh langkah. Kemudian aku berjalan kaki mendekati gardu ini, tempat kalian menjebak orang-orang Sidanti.” Gupala menjadi semakin marah. Tetapi ia menyadari. bahwa melawan orang itu bukan pekerjaan yang mudah. Karena itu maka katanya, “Wrahasta. Biarlah orang-orang lain mengurus kelinci-kelinci itu. Kita akan menangkap musang.” Suara tertawa Ki Peda Sura menjadi berkepanjangan. Katanya, “Kau memang terlampau sombong. Aku tidak peduli dengan kedua orang itu. Kalau kau ingin menjadi pembunuh-pembunuh licik, maka bunuhlah orang-orang yang sudah tdak berdaya itu apa pun alasannya. Keduanya bukan orang-orangku. Tetapi yang akan aku lakukan adalah menuntut kematian orang-orangku. Di gardu ini hampir separo dari mereka yang terbumuh adalah orang-orangku.” “Dan sebentar lagi kau sendiri.” Ki Peda Sura mengerutkan keningnya. Namun suara tertawanya menjadi semakin keras. “Kau memang sedang mengigau. Baik. Mengigaulah sepuas-puasmu.” Namun tiba-tiba suara tertawa itu terputus, ketika ia mendengar gemerisik langkah kaki di balik rimbunnya dedaunan. “Siapa yang bersembunyi?” teriak Ki Peda Sura, “Apakah masih belum semuanya hadir di sini? Marilah, aku persilahkan kalian keluar dari persembunyiannya.” Sejenak suasana menjadi sepi. Tidak seorang pun yang berbicara dan beranjak dari tempatnya. Semua berdiri tegang dan bersiaga, sedang dua orang yang datang berkuda masih saja membeku di antara beberapa orang yang mengacungkan senjatanya. Suara gemerisik di balik rimbunnya dedaunan kini tidak terdengar lagi. Betapa pun mereka mencoba mendengarkan setiap suara, namun suara desir itu sama sekali tidak mereka dengar. “Kita tidak tahu,” berkata Gupala, “apakah suara itu suara kawanku atau justru kawanmu. Kalau yang datang itu kawanmu, baiklah ia segera keluar. Kalau kawanku biarlah ia tetap bersembunyi agar aku sempat membunuh kau lebih dahulu.” Ki Peda Sura mengerutkan keningnya. Tanpa disadarinya ia memandang setiap orang yang sedang berdiri tegang. Kedua orang-orang Sidanti itu sama sekali tidak dapat diharapkannya lagi. Dengan satu gerakan serentak, dua tiga pedang akan membinasakan mereka. Lalu orang-orang itu akan beramai-ramai menyerangnya. Ditambah seorang yang cukup berkemampuan yang masih belum menampakkan dirinya. Orang tua itu menimbang sejenak. Tetapi ia sudah mendapatkan suatu keuntungan. Dengan demikian ia mengetahui, bahwa bahaya telah berada di ambang pintu, sedang Ki Tambak Wedi dan para pemimpin yang lain sama sekali belum mengerti, bahwa para peronda di gardu-gardu telah musnah, tanpa sempat membunyikan tanda bahaya. “Berita ini sangat penting. Kalau aku melayani anak-anak ini, mungkin aku akan kehilangan banyak waktu,” katanya di dalam hati. Tiba-tiba saja maka Ki Peda Sura itu menggerakkan sepasang senjatanya sambil melangkah maju. Gupala terkejut, segera pedangnya bersilang di muka dadanya. Sedang Wrahasta pun melangkah ke samping menjauhi Gupala. Namun yang terjadi benar-benar di luar dugaan. Ki Peda Sura meloncat dengan tangkasnya justru menjauhi lawannya. Orang tua itu ternyata berlari kencang-kencang ke luar padesan. “He, kemana kau akan lari?” bertanya Gupala. Tetapi Gupala tidak dapat berlari secepat Ki Peda Sura. Juga ketika sebuah bayangan dari balik dedaunan mencoba mengejarnya. Ternyata Ki Peda Sura menambatkan kudanya agak jauh dari gardu, di balik pohon-pohon jarak di jalan sidatan. Dengan lincahnya orang tua itu meloncat ke punggung kuda sambil menarik kendali yang disangkutkannya pada sebatang ranting yang kecil. Sebelum orang-orang yang mengejarnya mampu menyentuhnya, Ki Peda Sura telah melarikan kudanya seperti disentuh hantu. Dalam saat yang sekejap itu, ternyata kedua orang yang telah tidak bersenjata itu pun sempat melarikan dirinya. Tetapi mereka tidak mengambil arah seperti Ki Peda Sura. Dengan serta-merta mereka meloncat pagar batu dan menghilang di dalam rimbunnya dedaunan. Gupala, Gupita yang mencoba mengintai Ki Peda Sura dari balik gerumbul dan Wrahasta, menumpahkan segala perhatian mereka kepada Ki Peda Sura, sehingga mereka sama sekali kehilangan pengamatan atas kedua orang yang datang berkuda itu. Beberapa orang yang sedang mengacungkan senjata mereka, agaknya telah terpengaruh pula oleh keributan yang terjadi dengan tiba-tiba itu, sehingga mereka telah kehilangan waktu sehingga dapatlah kedua orang yang hampir saja mereka binasakan itu untuk melarikan dirinya. Sejenak mereka berkejaran, namun kedua orang itu kemudian lenyap seperti iblis di dalam gelapnya malam, dalam rimbunnya gerumbul-gerumbul liar dan rumpun-rumpun bambu yang lebat. Dengan wajah yang merah padam Wrahasta menggeretakkan giginya. Ketika mereka telah berkumpul, Wrahasta itu menggeram, “Sia-sialah semua pengorbanan ini. Ternyata akhirnya kedatangan kita akan diketahui oleh Ki Tambak Wedi.” Tetapi Gupita menggelengkan kepalanya. “Tidak. Tidak sia-sia. Ternyata pasukan induk itu telah terlampau dekat. Aku telah melaporkan semuanya, dan aku mendahului mereka, karena pertimbangan-pertimbangan yang khusus. Ternyata bahwa kecemasanku ada juga sebabnya. Sayang Ki Peda Sura dapat melarikan diri.” Gupita terdiam sejenak. Namun sambil mengangkat wajahnya ia berkata, “Aku sudah mendengar derap pasukan induk itu.” “Mereka harus segera mendengar apa yang telah terjadi,” desis Wrahasta. “Ya, dan mereka harus segera memasang gelar dan langsung menusuk jantung padukuhan induk.” Wrahasta tidak menjawab. Ujung pasukan induk itu sudah menjadi semakin dekat. Akhirnya, pasukan itu muncul dari ujung lorong. Sejenak mereka berhenti. Samekta dengan seksama mendengarkan laporan Wrahasta tentang tugasnya. “Tetapi disaat terakhir mereka mengetahui juga bahwa pasukan kita akan datang,” berkata Wrahasta kemudian. “Belum dapat disebut demikian. Yang diketahui oleh Ki Peda Sura adalah serangan pada gardu ini dan membinasakan seluruh isinya,” jawab Samekta. “Namun ia akan dapat menarik kesmpulan.” “Kita sudah cukup dekat. Kita akan segera menyusun gelar dan masuk ke padukuhan induk, sebelum mereka berhasil menyusun kekuatan.” Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Samekta berbicara sebentar dengan gembala tua, Hanggapati, dan Dipasanga. Kemudian dengan tergesa-gesa Samekta menyampaikan semuanya itu kepada Ki Argapati. “Kau sudah bertindak tepat. Lakukanlah.” Samekta pun kemudian kembali ke tempatnya. Dengan isyarat yang kemudian disalurkan ke setiap pemimpin kelompok, Samekta memerintahkan untuk memasang gelar di depan padukuhan itu. Sejenak kemudian pasukannya menebar. Mereka tidak lagi mengingat tanaman-tanaman yang sedang menghijau di sawah dan pategalan. Mereka juga tidak menghiraukan pula tanah berlumpur dan pematang-pematang. Demikianlah, sejenak kemudian Samekta telah berhasil menyusun gelar. Samekta, gembala tua, dan kedua anak-anaknya berada di induk pasukan, sedang Wrahasta dan Kerti masing-masing berada di sayap. Seperti yang pernah direncanakan, maka Hanggapati dan Dipasanga masing-masing harus berada di sayap sebelah-menyebelah. Menurut perhitungan, Sidanti dan Argajaya pun akan berada dan memimpin masing-masing sebelah sayap. Sedang Gupita dan Gupala di pertempuran nanti harus mencari Ki Peda Sura yang menurut dugaan orang-orang Menoreh, akan berdiri di bagian dalam pasukan Ki Tambak Wedi. “Kalau mereka tidak sempat menyusun gelar, atau menyusun barisan,” berkata Samekta, “maka Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga terpaksa harus keluar dari sayap dan mencari Sidanti dan Argajaya.” Keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka menyadari bahwa mereka kini tidak berada dalam susunan gelar prajurit. Di dalam lingkungan keprajuritan, maka pada umumnya pangkat mereka telah menggambarkan, meskipun tidak selalu dan mutlak, tingkat tanggung jawab dan kewajiban. Mereka tidak perlu membagi-bagi dan menempatkan orang demi orang yang harus saling berhadapan, selain senapati-senapatinya. Sejenak kemudian maka Samekta pun segera memberi isyarat, agar pasukan itu segera berderap maju. Dalam gelar, mereka menembus tanah persawahan yang sedang ditanami. Para pengawal Tanah Perdikan, yang sebagian terbesar terdiri dari keluarga petani yang telah agak lama tidak mendapat kesempatan bersentuhan dengan daun padi muda, merasa sangat sayang menginjak-injak tanaman itu. Tetapi apa boleh buat. Mereka harus maju dalam gelar yang siap melawan pasukan lawan. Baru beberapa langkah mereka maju, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara kentongan menggema di padukuhan induk. Agaknya Ki Peda Sura telah sampai di sana dan melaporkan apa yang telah mereka 1ihat. “Setan alas!” teriak Ki Tambak Wedi. “Tidak seorang pun yang dapat hidup di gardu itu?” “Ya.” “Berapa orang yang telah menyerang mereka?” “Aku tidak tahu. Tetapi sergapan itu aku kira begitu tiba-tiba. Yang aku lihat masih ada di sana sekitar lima atau enam orang. Tetapi pasti di antara mereka telah jatuh korban pula.” “Terlalu,” Ki Tambak Wedi menggeram. “Tetapi, apakah menurut dugaanmu mereka akan datang menyerang malam ini bersama seluruh kekuatan?” “Aku tidak tahu. Tetapi hal itu mungkin mereka lakukan.” Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. “Apakah Argapati telah dapat memimpin pasukannya, atau bahkan Argapati telah mati, sehingga dengan putus asa mereka menyergap ke induk padukuhan ini?” “Salah satu dari dua kemungkinan. Tetapi bagaimanapun juga kita harus bersiap. Menghadapi orang yang sedang membunuh diri agaknya pekerjaan kita akan menjadi jauh lebih berat.” Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya, sementara suara kentongan telah memenuhi bukan saja padukuhan induk tetapi desa-desa kecil di sekitarnya. Para penjaga menjadi semakin bersiaga. Namun sebuah pertanyaan telah mengganggu mereka, “Kenapa suara tanda-tanda bahaya itu justru mulai dari padukuhan induk?” Dengan tergesa-gesa Ki Tambak Wedi menyusun barisannya. Seperti yang telah diperhitungkan oleh para pemimpin Menoreh maka Sidanti dan Argajayalah yang mendapat tugas untuk memimpin sayap pasukan mereka. “Aku mendengar suara cambuk sebelum paman Peda Sura melihat keadaan di padesan itu. Aku menyangka salah seorang dari mereka adalah orang-orang yang sering mempergunakan cambuk seperti yang selama ini kita lihat.” “Maksudmu orang-orang yang mempunyai pengetahuan keprajuritan dan bertempur seperti prajurit-prajurit Pajang itu?” “Ya, meskipun pada keadaan tertentu mereka lebih cakap mempergunakan pedang.” “Berhati-hatilah. Kita tidak boleh terjebak oleh kebanggaan kita sendiri. Karena itu, kita harus mengerahkan segenap kemampuan. Kalau mereka benar-benar akan datang, mereka pun pasti akan membawa semua kekuatan yang ada. Apakah mereka berkeinginan untuk merebut kembali padukuhan induk ini ataukah karena mereka sedang berputus asa.” Sidanti, Argajaya dan Ki Peda Sura dapat mengerti sepenuhnya pesan Ki Tambak Wedi itu, sehingga karena itu, maka mereka tidak meninggalkan segala perhitungan. Semua kekuatan yang ada telah dikerahkan. Bahkan mereka yang sedang berada di gardu-gardu pun telah mereka tarik sebanyak-banyaknya dapat mereka lakukan. “Kita dapat mengirimkan dua orang pengawas, untuk melihat apakah ada sepasukan lawan yang mendekat,” berkata Ki Tambak Wedi. Ketika kedua orang itu meninggalkan padukuhan induk, pasukan Ki Tambak Wedi dan Ki Peda Sura telah hampir seluruhnya berkumpul. Kemudian mereka mendapatkan beberapa petunjuk untuk menghadapi lawan. “Kita melawan di depan padukuhan ini, agar tidak menimbulkan banyak akibat dan kerusakan. Kita akan menyapu mereka sampai orang yang terakhir. Ingat, seandainya mereka mengundurkan diri, jangan diberi kesempatan seorang pun untuk lolos. Tetapi kemungkinan yang lain, mereka akan berkelahi membabi buta. Hati-hatilah melawan orang-orang yang sedang gila. Kalian tidak boleh kehilangan akal.” Pasukan yang belum lengkap benar itu pun kemudian bergerak meninggalkan halaman rumah Kepala Tanah Perdikan dan lapangan kecil di muka banjar. Mereka akan segera bergabung sambil menunggu kelompok-kelompok yang akan segera menyusul. “Cepat, kita tidak boleh tersumbat di mulut jalan,” teriak Sidanti. Pasukan itu pun maju semakin cepat. Sejenak kemudian ujung pasukan itu telah keluar dari regol. Namun bersamaan dengan itu datanglah kedua pengawas itu berlari-lari. Setiap orang menjadi berdebar-debar melihat keduanya. Tetapi kedua orang itu tidak mau menjawab setiap pertanyaan. Dan itu adalah kewajibannya. Semua persoalan harus dilaporkannya kepada pemimpinnya lebih dahulu. Karena itu maka kedua orang itu langsung mencari Ki Tambak Wedi atau Sidanti. Mereka menemukan Ki Tambak Wedi dan Sidanti justru sedang berbicara dengan Argajaya dan Ki Peda Sura. “He, apa yang kau lihat?” bertanya Sidanti. Dengan nafas terengah-engah salah seorang dari mereka berkata, “Aku melihat sebuah barisan mendatang.” Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Dan kedua pengawas itu hampir bersamaan berkata, “Sebuah barisan yang kuat.” “Ya,” Ki Tambak Wedi menganggukkan kepalanya. “Apa kau dapat mengetahui, siapakah yang memimpin pasukan itu?” Keduanya menggelengkan kepalanya. “Baik,” berkata Ki Tambak Wedi, “kita songsong mereka. Mereka pasti sedang membunuh diri. Aku jakin bahwa Argapati tidak akan mampu memimpin pasukan itu hari ini. Bahkan mungkin orang itu sudah mati.” Dengan tergesa-gesa Ki Tambak Wedi pun kemudian pergi ke ujung barisannya. Dengan isyarat ia mengembangkan tangannya. Dengan demikian maka pasukannya pun segera menebar. Kali ini Sidanti dan Argajaya langsung pergi ke sayap sebelah-menyebelah. Sedang Ki Peda Sura berada di induk pasukan bersama Ki Tambak Wedi. Meskipun pasukan Ki Tambak Wedi masih belum utuh, namun sebagian besar dari kekuatannya sudah berkumpul, sementara kelompok-kelompok kecil masih mengalir dan menggabungkan dirinya. Demikianlah maka dua pasukan yang telah berada dalam gelar telah saling mendekat. Ternyata usaha Wrahasta untuk membungkam semua gardu-gardu yang ada di sepanjang jalan, dengan korban yang tidak sedikit, tidak begitu bermanfaat, meskipun bukan berarti tidak berguna sama sekali. Karena ternyata Ki Tambak Wedi terpaksa menyiapkan pasukannya dengan tergesa-gesa sehingga semua persoalan dipecahkannya dengan kurang cermat. Apalagi persiapan tekad bagi pasukannya sama sekali kurang mendapat perhatian. Para pemimpinnya tidak sempat memberikan petunjuk-petunjuk dan bimbingan kepada mereka. Sementara itu Samekta pun telah mendapat laporan pula bahwa ternyata Ki Tambak Wedi sempat menyiapkan pasukannya. Dan kini pasukan itu telah menyongsong kedatangan pasukan Menoreh. “Kita memang harus bertempur sepenuh tenaga,” berkata Samekta kepada gembala tua yang berada di ujung pasukan. “Ya, tetapi bagaimanapun juga, persiapan Ki Tambak Wedi tidak akan sebaik apabila mereka mendapat cukup kesempatan.” “Mereka tidak akan sempat membawa bermacam-macam alat seperti apabila pasukannya telah bersiap menyongsong kita. Mereka tidak akan dapat menyiapkan alat-alat pelontar seperti yang dapat kita persiapkan selagi kita menyongsong kedatangan pasukan mereka.” “Ya, dan mereka sengaja menyongsong kita. Mereka tidak menunggu kedatangan kita di pinggir padukuhan,” desis gembala tua itu. Lalu, “Kita harus mulai dengan mengejutkan mereka.” Samekta mengerutkan keningnya. “Kita berhenti apabila kita sudah berhadapan. Kemudian kita mulai dengan senjata jarak jauh. Kita akan menyerang mereka dengan panah. Menurut perhitunganku, mereka tidak siap untuk menghadapi serangan pertama yang demikian. Aku kira mereka tidak mempersiapkan perisai secukupnya,” berkata gembala itu. Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada seorang penghubung ia berkata, “Siapkan mereka yang bersenjata jarak jauh. Mereka harus segera menempatkan diri. Apabila keadaan tidak mengijinkannya lagi, mereka harus segera masuk kembali ke tempatnya dan mempergunakan senjata pendek.” Perintah itu sejenak kemudian telah tersebar. Mereka yang membawa busur dan panah, segera maju di depan pasukan yang sedang berjalan. Meskipun jumlah mereka tidak begitu banyak, namun mereka akan dapat mengejutkan lawan dan membuat mereka sejenak kebingungan. Kesan dari serangan pertama itu tentu akan sangat berpengaruh untuk peperangan berikutnya. Mereka yang membawa busur dan anak panah itu kemudian menebar dari ujung sampai ke ujung pasukan. Dengan dada yang berdebar-debar mereka mempersiapkan anak panah mereka yang pertama pada busurnya. Wrahasta yang berada dan memimpin sayap tiba-tiba melangkah mendahului pasukannya. Kepada salah seorang yang memegang busur ia berkata, “Berikan busur dan panah itu.” Orang itu termangu-mangu sejenak. “Aku akan mempergunakannya.” “Tetapi?” “Aku akan tetap memimpin sayap ini. Tetapi sebelumnya aku akan mempergunakan busur dan anak panahmu.” Orang itu tidak dapat menolak. Diberikannya busurnya dan endong anak panahnya. Hanggapati yang kebetulan berada di sayap itu juga melangkah maju sambil berkata, “Apakah kau memerlukannya?” “Ya. Aku harus mendapat korban yang sebesar-besarnya. Kami telah kehilangan banyak sekali pahlawan di saat kita belum mulai.” “Tetapi kalian telah berhasil membinasakan jauh lebih banyak.” “Belum cukup. Setiap orang sama harganya dengan sepuluh orang lawan. Pahaku sama nilainya dengan sepuluh orang pula. Apalagi nyawaku. Aku akan membunuh seratus orang sekaligus.” “Ah,” desah Hanggapati, “kau akan membunuh seratus orang tanpa menukarkan dengan nyawamu sendiri.” Tetapi Wrahasta tertawa. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Ki Hanggapati, apakah kau sudah berkeluarga?” Hanggapati mengerutkan keningnya, “Kenapa?” Wrahasta menggelengkan kepalanya. “Tidak apa-apa. Aku dilahirkan oleh keluarga yang miskin. Ibuku adalah seorang perempuan yang baik. Ibuku tidak pernah menuntut yang tidak mungkin dapat diusahakan oleh ayahku.” Hanggapati tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah raksasa yang buram itu sejenak. Sambil menimang-nimang busurnya Wrahasta berjalan lurus ke depan. Sama sekali tidak dihiraukannya, apa yang terinjak oleh kaki-kakinya. Dan tiba-tiba Wrahasta meneruskan, “Tetapi ibu tidak panjang umurnya.” “O,” Hanggapati mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ayah juga tidak panjang umur.” “O,” Hanggapati masih mengangguk, “jadi mereka sudah tidak ada lagi?” “Ya. Ibu sudah tidak ada sejak sepuluh tahun yang lalu, dan ayah sejak lima tahun.” “Kau satu-satunya anak?” Wrahasta menggelengkan kepalanya, “Tidak. Aku adalah anak yang kedua. Saudaraku ada lima orang.” “Di mana mereka sekarang?” “Satu adikku ada di dalam barisan ini juga. Kakakku adalah seorang petani yang tekun. Aku tidak tahu apakah ia terlibat atau melibatkan diri dalam kekisruhan ini atau tidak. Tetapi aku tidak melihat ia berada bersama kita. Sedang dua adikku yang lain berada di padukuhan sebelah pertahanan terakhir kita.” Hanggapati menganggukkan kepalanya. “Kakakku sudah beranak empat orang,” berkata Wrahasta, kemudian, “sehingga dengan demikian aku tidak akan mencemaskan bahwa garis keturunan ayah dan ibu akan terputus.” Hanggapati mengerutkan keningnya pula. Dipandanginya wajah itu sejenak. Wajah Wrahasta yang suram. Dan tiba-tiba saja ia berdesis, “Kedua anak gembala itu memang luar biasa. Ternyata aku bukan apa-apanya.” “Apakah maksudmu?” bertanya Hanggapati. “Tidak. Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku sekedar memuji dan mengagumi. Aku begitu bodoh sebelumnya tanpa melihat kelebihan yang ada pada mereka.” Hanggapati menjadi semakin heran. Raksasa ini berbicara tanpa ujung dan pangkal, seolah-olah begitu saja berloncatan dari mulutnya. Dan tiba-tiba saja Wrahasta tertawa pendek. “Di depan kita pasukan Ki Tambak Wedi sudah menghadang kita. Apakah kau sudah siap, Ki Hanggapati?” “Ya. Aku sudah siap.” “Apakah kau akan bersenjata cambuk atau pedang atau keduanya?” “Aku biasa mempergunakan pedang.” Wrahasta tertawa. Tetapi tatapan matanya masih lurus ke depan. Padukuhan induk itu pun telah menjadi semakin dekat. Bahkan karena begitu tergesa-gesa orang-orang Ki Tambak Wedi tidak sempat memadamkan obor di gardu-gardu. Dan sinar obor yang menusuk gelapnya malam itu telah tampak jelas di kejauhan, lebih dahulu dari bayangan setiap orang di dalam pasukan Ki Tambak Wedi yang bergerak maju pula. Ternyata kedua belah pihak selalu mengirimkan pengawas-pengawas, sehingga mereka mengetahui dengan pasti jarak antara kedua pasukan itu. Karena itu, ketika pengawas yang dikirimkan oleh Samekta datang kepadanya dan melaporkan bahwa pasukan Ki Tambak Wedi telah melintasi parit, dan dalam waktu yang hampir bersamaan seorang pengawas di pihak lain melaporkan kepada Ki Tambak Wedi bahwa pasukan Menoreh telah melampaui simpang empat, dan menyeberang jalan silang, sadarlah mereka, bahwa pertempuran akan segera berkobar. “Apakah pasukan Ki Tambak Wedi telah siap sepenuhnya?” bertanya Samekta kepada pengawas itu. “Aku kurang tahu. Tetapi mereka telah berada di dalam gelar.” Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baik. Kita akan segera mulai.” Sejenak kemudian Samekta memerlukan melaporkannya kepada Ki Argapati, yang dengan seksama mengikuti perkembangan keadaan. “Kita hampir mulai, Ki Gede,” desis Samekta. “Apakah semua sudah berada di tempatnya?” “Sudah, Ki Gede.” “Bagus. Kembalilah ke tempatmu.” Samekta menganggukkan kepalanya. Dipandanginya Ki Argapati sejenak. Tampaknya Ki Argapati seakan-akan telah benar-benar sembuh dari lukanya. Medan perang yang akan dihadapinya telah membuatnya kehilangan perhatian atas dirinya sendiri. Sedang di tangannya masih tetap tergenggam tombak pendek, pusaka Tanah Perdikan Menoreh, meskipun sebenarnya telah tertukar dengan milik Argajaya. Sebelum meninggalkan Ki Argapati, Samekta masih sempat berbisik di telinga Pandan Wangi, “Hati-hatilah, Ngger. Orang-orang Ki Tambak Wedi sebagian adalah orang-orang yang buas dan liar.” Pandan Wangi menganggukkan kepalanya, “Kami telah siap, Paman.” Samekta menyapu wajah para pengawal dengan tatapan matanya. Kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Wajah-wajah yang tegang tetapi meyakinkan itu memberinya kepercayaan, bahwa mereka akan berhasil melindungi Ki Argapati. Apalagi apabila para senapati lawan telah terikat di dalam pertempuran dengan orang-orang yang memiliki kemampuan yang seimbang. Sejenak kemudian Samekta pun kembali ke tempatnya. Di ujung induk pasukan bersama gembala tua. Di belakangnya kedua anak-anak gembala itu berjalan sambil menundukkan kepalanya. Sejenak kemudian Samekta memerintahkan pasukannya berhenti. Jarak mereka dengan lawan sudah menjadi semakin dekat. Yang diperintahkannya untuk maju adalah mereka yang bersenjatakan panah. “Kalian menunggu mereka mendekat. Kemudian serang mereka dengan panah, sebanyak-banyak kalian dapat melepaskan anak-anak panah.” Para pengawal yang telah menyiapkan busur mereka pun berhenti sambil menyiapkan diri. Di hadapan mereka, pasukan Ki Tambak Wedi semakin mendekat pula. Mereka berharap dapat melawan pasukan Menoreh sejauh-jauh dari padukuhan induk. Ternyata mereka tidak mempergunakan cara yang sama seperti yang dilakukan oleh Ki Argapati. Menunggu di belakang pagar-pagar batu dengan senjata-senjata jarak jauh. Kecuali pedukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh tidak mempunyai pagar pring ori dan pagar-pagar batu yang tinggi, apalagi padukuhan induk itu adalah sebuah padukuhan yang luas, maka pasukan Ki Tambak Wedi tetap menyangka bahwa kekuatan mereka masih melampaui kekuatan lawan. Apalagi menurut perhitungan mereka, Ki Argapati pasti belum dapat ikut serta sepenuhnya di dalam peperangan ini. Orang-orang itu, bahkan termasuk Ki Tambak Wedi sendiri, kurang memperhitungkan ketergesa-gesaan mereka, sehingga belum seluruh pasukan dan seluruh kekuatan yang kini dihadapkan kepada pasukan Menoreh, yang justru sedang menumpahkan segenap kemampuan dan bahkan jumlah orang-orang mereka. Meskipun demikian, ketika Ki Tambak Wedi mendapat laporan bahwa lawan telah berada di depan hidung mereka, diperintahkannya pasukannya untuk berhati-hati. Tetapi gelapnya malam masih tetap menyaput pemandangan. Namun demikian, mata Ki Tambak Wedi yang setajam mata burung hantu itu segera melihat seleret bayangan, di kaki langit, seperti wayang yang berjajar di wajah layar yang biru kehitam-hitaman. Tetapi bayangan yang dilihatnya adalah hitam. Hitam. Ki Tambak Wedi yang berada di induk pasukan bersama Ki Peda Sura segera memerintahkan penghubung-penghubungnya untuk menyampaikan pesannya kepada Sidanti dan Argajaya di sayap masing-masing, bahwa lawan telah berada dekat di hadapan mereka. Karena itu mereka pun harus berhati-hati. “Orang-orang Ki Argapati adalah orang-orang yang sangat licik,” pesannya. “Mungkin mereka akan melakukan sesuatu yang akan dapat mengejutkan kalian. Karena itu, kalian harus berhati-hati. Sepenuhnya berhati-hati. Semua senjata akan dipergunakan. Juga senjata-senjata jarak jauh.” Dan pesan itu segera ternyata kebenarannya menurut penilaian Sidanti. Sidanti yang semula tidak begitu menghiraukan pesan itu, yang dianggapnya seperti pesan-pesannya yang lain, hati-hati, waspada dan sebagainya, ternyata harus memperhatikannya. “Semua yang berperisai berada di depan,” teriak Sidanti dan Argajaya di tempat masing-masing. Meskipun mereka tidak berjanji, tetapi ketika anak panah yang pertama terbang di atas pasukannya, maka mereka segera meneriakkan perintah serupa. Beberapa orang yang bersenjata perisai segera mendesak ke depan. Mereka berjalan maju sambil melindungi bukan saja diri mereka sendiri, tetapi seluruh pasukan dengan perisai-perisai. Tetapi anak panah terlampau kecil untuk dapat dibendung oleh perisai-perisai yang tidak memenuhi jumlahnya. Kadang-kadang satu dua ada saja anak-panah yang menyusup di sela-sela perisai-perisai itu dan langsung mematuk dada. “Setan!” Sidanti mengumpat. Belum lagi mereka bertemu, telah jatuh beberapa korban di antara mereka. Sementara itu, para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang bersenjata panah, telah melepaskan anak panah mereka sebanyak-banyaknya. Mereka tidak perlu membidik. Mereka hanya sekedar mengarahkan anak panah itu ke dalam deretan bayangan yang kehitam-hitaman. Ternyata bahwa serangan pertama itu cukup berpengaruh. Bukan karena jumlah korban yang terlampau banyak berjatuhan. Tetapi justru serangan itu telah mengejutkan mereka. Satu dua korban yang jatuh, suara rintihan, dan kadang-kadang sebuah teriakan terkejut, telah membuat mereka yang kurang tatag hatinya menjadi kecut. Sementara anak-anak panah terus mengalir seperti hujan. Ki Tambak Wedd menggeram melihat serangan yang hampir menahan pasukannya. Karena itu maka tiba-tiba ia berterak, “Jangan bodoh. Kita harus menyergap mereka secepat-cepatnya untuk menghentikan perbuatan licik ini.” Kemudian Ki Tambak Wedi pun mengangkat tangannya. Ketika ia mengayunkan tangannya itu ke depan, disusul oleh beberapa orang pemimpin kelompok dan beberapa orang yang menjadi penghubung antara induk pasukan dan sayap-sayapnya, maka pasukan itu pun kemudian segera berderap dengan cepatnya maju menyerang lawannya. Yang maju paling depan adalah induk pasukan, kemudian kedua sayapnya pun segera menyusul. Bahkan beberapa orang dari mereka, terlebih-lebih adalah orang-orang Ki Peda Sura segera berteriak sekeras-kerasnya untuk meledakkan gairah mereka menggetarkan senjata masing-masing. Samekta pun kemudian menyadari bahwa ia harus dapat mengimbangi arus pasukan lawan. Karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan pasukannya. Sekali lagi ia memberikan beberapa peringatan, kemudian menunggu anak panah yang tersisa. Setelah sebagian terbesar dari mereka telah melepaskan hampir seluruh anak panah, maka seperti Ki Tambak Wedi yang langsung memimpin pasukannya, Samekta pun segera memacu barisannya menyongsong lawan. Mereka yang semula berada di depan dengan busur dan anak panah, telah menyilangkan busur-busur mereka di punggung dan memutar endong mereka. Kini di tangan mereka telah tergenggam pedang dan dengan segera mereka pun menempatkan diri di kelompok masing-masing. Kedua pasukan yang maju itu bagaikan arus yang berlawanan. Sebentar kemudian, kedua arus yang deras itu pun berbenturan di antara sorak-sorai dan teriakan-teriakan yang kasar dibarengi oleh umpatan-umpatan yang sangat liar. Dalam waktu yang sekejap, maka ujung-ujung senjata telah mulai berbicara. Yang bernasib malang, pada benturan pertama sama sekali tidak berhasil mengelakkan dirinya dari dorongan senjata lawan. Demikian ia terjatuh, maka kaki-kaki yang bersimpang-siur, tanpa menghiraukannya lagi, telah menginjak-injak tubuh yang tergolek di tanah, betapa pun ia berteriak-teriak. Bukan saja kaki lawan, tetapi kadang-kadang kaki-kaki kawannya. Tetapi kawan-kawannya itu pun tidak akan sempat menolongnya, karena mereka harus pula memperhatikan setiap ujung senjata lawan yang mengarah ke dadanya. Dalam hiruk-pikuk perang itu, beberapa orang berusaha untuk menemukan lawan-lawannya yang seimbang, agar mereka tidak menimbulkan korban terlampau banyak di antara orang-orangnya. Sambil melindungi dirinya dari sergapan-sergapan yang tiba-tiba, Hanggapati dan Dipasanga yang sudah terlanjur ikut terlibat di dalam perang yang membakar Tanah Perdikan Menoreh itu, segera berusaha menemukan lawan-lawan yang telah ditentukan bagi mereka. Ternyata bahwa pekerjaan itu tidak terlampau sulit, karena Sidanti dan Argajaya pun segera mencari lawan-lawan mereka, sebelum mereka membuat terlalu banyak korban. Dalam pertempuran itu, Hanggapati akhirnya bertemu dengan Sidanti dan Dipasanga harus bertempur melawan Argajaya. Sedang Wrahasta dan Kerti masing-masing tetap memegang pimpinan sayap-sayap pasukan mereka. Tetapi seperti yang pernah terjadi sebelumnya, baik Sidanti mau pun Argajaya tidak segera dapat mengatasi lawan-lawan mereka. Apalagi di dalam hiruk-pikuk peperangan. Kadang-kadang seorang pengawal tanpa disangka-sangka langsung menyerang salah seorang dari mereka. Sehingga perhatian mereka itu pun terganggu karenanya. Di pusat gelar, Ki Tambak Wedi telah mulai memutar senjatanya. Setiap sentuhan akan berarti maut. Bahkan bukan saja senjatanya yang seakan-akan menyebar nafas kematian, tetapi tangan kirinya, kakinya bahkan hampir seluruh tubuhnya. Lutut dan sikunya pun ikut pula membunuh atau setidak-tidaknya melumpuhkan pengawal-pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang berani mendekatinya. Di ujung gelar lawan, gembala tua itu melihat seseorang mendesak maju diikuti oleh pasukannya. Dengan segera ia mengenal bahwa orang itu adalah Ki Tambak Wedi. “Apa boleh buat,” berkata gembala itu di dalam hatinya. “Tidak ada pilihan lain. Apalagi pokal Ki Tambak Wedi kini telah sampai ke puncaknya, sehingga benar-benar harus dihentikan.” Dengan demikian, maka tanpa ragu-ragu lagi gembala tua itu pun segera berusaha menyongsong Ki Tambak Wedi yang sedang mengamuk bagaikan harimau kelaparan. “Mana Argapati, he, mana Argapati?” iblis tua itu berteriak-teriak. Tetapi tidak seorang pun yang menjawab. Dalam keremangan cahaya bintang-bintang di langit, matanya yang tajam menangkap bayangan seseorang yang berada di atas punggung kuda dikawal oleh beberapa orang bersenjata lengkap. Tiba-tiba saja ia berteriak, “He, siapa yang berada di belakang barisan ini? He? Siapa?” Ki Tambak Wedi berhenti sebentar. Kemudian, “Kau pasti Argapati. Kau pasti Argapati yang sudah hampir mati. Dengan putus asa kau bawa pasukanmu membunuh diri bersama-sama. Bagus, bagus, mari aku tolong kau.” Suaranya menggelepar di dalam hiruk-pikuknya pertempuran, seperti suara iblis yang menggema di sela-sela deru angin pusaran. Setiap hati mereka yang mendengar suara itu, menggelepar di dalam dada. Suara itu bagaikan duri yang langsung menusuk sampai ke pusat jantung. Mengerikan. Ki Argapati yang tidak terlampau dekat dengan garis pertempuran tidak dapat menangkap kata-kata Ki Tambak Wedi dengan jelas. Tetapi ia merasakan, bahwa kata-kata itu pasti berisi lontaran penghinaan. Karena itu, tanpa disadarinya tombaknya tergerak dan ujungnya merunduk ke depan. “Ayah tetap di sini bersamaku,” desis Pandan Wangi yang melihat gelagat getar di dada ayahnya. Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Tambak Wedi berteriak lagi, “He, kenapa kau tidak membuat gelar Gedung Menep saja, supaya kau dapat bersembunyi di dalam gelar? Kenapa kau datang dengan gelar terbuka tetapi kau berada jauh-jauh di belakang?” Ki Argapati masih belum mendengar suara itu dengan jelas, tetapi terdengar giginya gemeretak. “Baik, baik,” berkata Ki Tambak Wedi kemudian. “Kalau kau tidak mau maju, akulah yang akan datang kepadamu.” Ternyata Ki Tambak Wedi tidak hanya sekedar berteriak-teriak. Agaknya ia ingin benar-benar mendekati Ki Argapati, sehingga karena itu, maka segera ia mencoba menyibakkan lawan dengan memutar senjatanya. Para pengawal Menoreh benar-benar menjadi ngeri melihat tandang iblis dari lereng Merapi itu, sehingga tanpa mereka sadari, mereka telah membuka sebuah jalur jalan yang akan dapat dilalui oleh Ki Tambak Wedi, meskipun para pengawal itu tidak berarti membiarkannya lewat tanpa menyerangnya dari segala arah. Namun agaknya beberapa pengawal khusus Ki Tambak Wedi pun tahu benar akan tugasnya, sehingga langkah Ki Tambak Wedi itu menjadi semakin lancar. Namun tiba-tiba, langkah iblis itu pun terhenti. Tiba-tiba saja di hadapannya, di jalur jalan yang telah tersibak, berdiri seseorang dengan tenangnya memandangnya. Sejenak Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Namun betapa pun suramnya malam, ia segera dapat mengenal orang yang berdiri di hadapannya itu. Hanya beberapa langkah. Tiba-tiba pula Ki Tambak Wedi menggeram sambil mengumpat, “Setan alas, kau ada di sini pula?” Orang itu maju selangkah. Sekali-kali ia menyapu hiruk-pikuk peperangan di seputarnya. “Kelakuanmu telah sampai ke ujung yang paling memuakkan aku,” jawabnya. “Karena itu, sebaiknya kau mengakhirinya, Ki Tambak Wedi. Jika demikian maka tidak saja di atas tanah perdikan ini, tetapi kita akan menemukan kedamaian di sebagian besar dari seluruh Tanah ini.” “Jangan menggurui aku Setan Tua. Sebaiknya kau tidak ikut mencampuri persoalan keluarga ini.” “Kau telah memaksa Sidanti mengkhianati ayahnya.” “Argapati bukan ayahnya.” Sepercik keheranan merambat di hati orang tua itu. Namun ia tidak sempat memikirkannya. Perang menjadi semakin lama semakin ganas, dan korban telah berjatuhan di sekitarnya. Karena itu maka gembala tua itu pun segera mengurai senjatanya yang dibelitkannya di lambungnya. “Aku tidak akan bermain-main lagi. Aku akan mempergunakan senjataku.” Ki Tambak Wedi menatap ujung cambuk itu sejenak. Ia sadar bahwa cambuk ini bukan sekedar cambuk seorang gembala. Sekali-kali ia menangkap kilatan pantulan cahaya bintang dari bintik-bintik di juntai cambuk yang panjang itu. Dan bintik-bintik yang berkilat-kilat itu telah membuat dadanya berdebar-debar. Kini Ki Tambak Wedi merasa, bahwa agaknya peperangan ini memang merupakan puncak dari segala-galanya. Kehadiran orang tua bercambuk itu berada di luar perhitungannya selama ini. Selama ini memang mencemaskannya. Setiap kali pasukannya selalu digemparkan oleh orang-orang bercambuk. Tetapi selama ini orang-orang bercambuk itu tidak memberinya keyakinan bahwa orang bercambuk yang inilah yang hadir di peperangan. Bahkan di dalam pertempuran yang terakhir, pada saat pasukannya memecah regol pertahanan terakhir Argapati, sama sekali tidak ada kesan bahwa orang ini ada di antara pasukan Argapati. Sepercik ingatan tentang Ki Peda Sura telah membayang di kepalanya, pada saat orang tua itu terluka. Ia melawan Pandan Wangi yang kemudian dibantu oleh seorang anak muda. Orang ini bersenjata cambuk. Namun senjata cambuk itu kemudian menjadi kabur oleh peristiwa-peristiwa berikutnya. Hampir setiap orang dari pengawal berkuda yang berkeliaran di malam hari bersenjatakan cambuk. Kemudian dua orang prajurit yang ada di dalam pasukan Argapati, yang bertempur melawan Sidanti dan Argajaya pun bersenjata cambuk. Tetapi kini ia bertemu dengan orang yang sebenanya. Orang yang sebenarnya disebutnya orang bercambuk. Karena itu Ki Tambak Wedi tidak lagi dapat mengangkat wajahnya sambil berkata, “Kalian sedang membunuh diri.” Tidak. Orang bercambuk ini tidak sedang membunuh dirinya bersama Ki Argapati. Sejenak mereka masih saling berdiam diri dalam hiruk pikuknya peperangan. Namun sejenak kemudian Ki Tambak Wedi berkata, “Apa boleh buat. Aku tidak menganggapmu musuh sampai ujung kemampuan dalam peperangan yang dahsyat ini. Kau tidak mempunyai kepentingan langsung dengan aku. Tetapi sejak aku berada di Tambak Wedi, bahkan sejak Sidanti berada di Sangkal Putung, kau selalu mengganggu aku dan muridku. Aku kira kini sudah saatnya pula aku menghindarkan diriku dari gangguanmu.” “Kita berpendapat sama. Aku dan kau menganggap bahwa saatnya memang sudah tiba. Kau menganggap bahwa aku harus lenyap agar kau tidak selalu dikejar-kejar oleh gangguanku seperti yang terjadi selama ini, sedang aku menganggap bahwa kelakuanmu benar-benar telah berlebih-lebihan. Dengan demikian kita sudah berkeputusan bahwa kita akan mempertaruhkan nyawa kali ini.” “Aku tidak akan ingkar.” “Kau jangan lari lagi seperti di Tambak Wedi. Kau mempunyai pintu sandi yang dapat kau pakai untuk menghindarkan diri. Tetapi sebaiknya sekarang tidak.” Ki Tambak Wedi tidak menjawab. Tetapi tatapan matanya seakan-akan telah membara. Setapak ia maju. Senjatanya di tangannya telah mulai bergetar. Gembala tua itu pun menyadari, bahwa Ki Tambak Wedi kali ini pasti akan berusaha membunuhnya, sehingga karena itu, ia pun harus sangat berhati-hati. Pertempuran di sekitar keduanya menjadi semakin lama semakin sengit. Satu-dua di antara mereka ada juga yang berusaha menyerang kedua orang tua-tua itu. Tetapi serangan-serangan yang demikian tidak akan banyak berarti, apalagi di sekeliling mereka, berdiri kedua belah pihak. Kedua orang itu berkisar selangkah, kemudian masing-masing mempersiapkan diri untuk mulai dengan sebuah tarian maut. Sejenak kemudian maka perkelahian yang dahsyat itu pun mulailah. Keduanya adalah orang-orang yang mempunyai tingkat ilmu yang tinggi, yang hampir mencapai kesempurnaan. Senjata mereka pun merupakan senjata-senjata yang khusus, yang memiliki kelebihan tiada taranya di tangan pemiliknya masing-masing. Begitu perkelahian itu dimulai, maka meledaklah suara cambuk gembala tua itu. Dan ledakan ini benar-benar telah mengejutkan seisi medan. Selama ini mereka telah sering mendengar ledakan-ledakan cambuk di peperangan atau dalam perjalanan sebagian dari mereka yang ikut dalam pasukan berkuda. Tetapi mereka belum pernah mendengar cambuk yang meledak demikian dahsyatnya. Dan seterusnya cambuk itu meledak dan meledak lagi. Setiap kali menyambar lawannya yang dengan sigapnya berloncatan menghindarinya. Namun kemudian seperti tatit menyusup di sela-sela ujung cambuk itu langsung menyerang dada. Demkianlah keduanya segera terbenam dalam pertempuran yang dahsyat. Keduanya berloncatan saling menyerang dan menghindar. Semakin lama semakin cepat. Kedahsyatan pekelahian di antara keduanya telah menyibakkan peperangan di sekitarnya. Para pengawal dan orang-orang Ki Tambak Wedi yang sedang sibuk mempertahankan hidup masing-masing masih juga sempat mengagumi apa yang telah terjadi. Perkelahian yang hampir-hampir tidak dapat mereka mengerti. Ternyata gembala tua itu tidak kalah dahsyat dari Ki Argapati. Perlawanannya terhadap Ki Tambak Wedi benar-benar telah mendebarkan jantung. Bahkan jantung Ki Tambak Wedi sendiri. Gembala tua yang kadang-kadang senang berkelakar itu, kini mengerutkan keningnya. Dengan tajam ia mengikuti setiap gerak lawan. Kedua ujung senjata Ki Tambak Wedi yang mengerikan dan serangan-serangan yang cepat seperti tatit harus dilayaninya dengan sepenuh kemampuannya. Sehingga setiap kali cambuknya harus meledak-ledak tidak henti-hentinya. Pada saat gembala tua itu bertempur melawan Ki Tambak Wedi, maka kedua anak-anaknya mengikutinya dengan seksama. Tetapi mereka percaya bahwa gurunya akan dapat menyelesaikan tugasnya. Setidak-tidaknya ia dapat menjaga dirinya dan bertempur sepanjang kemampuan lawannya. Karena itu, segera mereka pun menyadari akan tugasnya. Mereka berdua harus menemukan Ki Peda Sura, dan berusaha melawannya. Dengan demikan maka keduanya meninggalkan arena yang dahsyat itu. Menyusup di dalam arena peperangan yang luas untuk menemukan lawan yang telah ditentukan untuk mereka. Sementara itu Ki Peda Sura berkelahi dengan kasarnya. Seakan-akan ia menyadari sepenuhnya, bahwa tidak akan ada seorang lawan pun yang dapat mengimbanginya. Seperti Ki Tambak Wedi, ia menyangka bahwa Ki Argapati masih belum dapat turun ke medan. Dan seperti Ki Tambak Wedi pula ia menyangka, bahwa para pengawal itu sedang membunuh diri karena putus asa. Tetapi terasa dadanya berdebar-debar pula ketika ia mendengar suara ledakan cambuk beruntun tanpa ada henti-hentinya. Suara cambuk itu seakan-akan menggelegar di dalam dadanya, rnengguncang jantung. “Siapakah orang itu?” desisnya di dalam hati. “Apakah Ki Tambak Wedi sedang tidur, dan tidak sempat membungkam suara cambuk yang memekakkan telinga itu?” bersambung Posted in Buku 041 - 050 ♦ Seri I Tagged Agung Sedayu, Gembala tua, Gupala, Gupita, Ki Argapati Ki Gede Menoreh / Arya Teja, Ki Tambak Wedi / Paguhan, Kiai Gringsing, Pandan Wangi, Sidanti, Swandaru, Wrahasta SHMINTARDJA. API DI BUKIT MENOREH 3. Seperti yang terdahulu, saya ketengahkan ceritera ini dengan harapan yang sama. Ceritera yang dicari dibumi sendiri bertolak pada sifat manusia, dengki, iri, nafsu, cita2 namun juga cinta Yang melahirkan segala macam peristiwa, pertentangan, pertengkaran, perang, tetapi juga tuntutan keadilan dan kebenaran. TERUSAN ADBM Lanjutan ADBM versi mbah_man karya mbah_man Padepokan “Sekar Keluwih” Sidoarjo ADBM Seri V Jilid 15 Jilid 415 Bagian 1 TANPA sadar Ki Demang menatap tajam ke arahnya sehingga dengan cepat orang itu menundukkan wajahnya. “Baiklah,” akhirnya Ki Demang tidak dapat mengelak lagi walaupun dengan berat hati, “Panggil Nyi Sekarwangi. Namun tolong sampaikan padanya bahwa tamu kita kali ini adalah Pangeran Pringgalaya, adik Panembahan Hanyakrawati penguasa Mataram.” “Baik Ki Demang,” jawab perangkat Kademangan yang berumur masih muda itu. Tanpa menunggu perintah untuk kedua kalinya, dengan cepat dia segera meninggalkan tempat itu. “Marilah kita membagi tugas” berkata Ki Demang kemudian, “Aku dan dua orang perangkat kademangan saja yang akan menghadap Pangeran Pringgalaya. Sedangkan selebihnya segera menghubungi para Niyaga agar pada saat jamuan makan malam nanti sudah ada gending-gending yang mengiringinya. Setelah itu aku harap semua perangkat Kademangan menemani aku di pendapa.” “Baik Ki Demang,” hampir serempak mereka menjawab. Demikianlah, pertemuan Ki Demang dengan para perangkatnya itu segera bubar. Ki Demang dengan ditemani dua orang segera menghadap Pangeran Pringgalaya di Banjar padukuhan induk kademangan. “Kami mohon maaf telah menyusahkan Ki Demang dan para penghuni Kademangan Ngadireja ini,” berkata Pangeran Pringgalaya sesampainya Ki Demang dan dua orang perangkatnya di pendapa banjar padukuhan induk kademangan. “Ampun Pangeran,” jawab Ki Demang sambil menghaturkan sembah, “Justru Hamba beserta seluruh penghuni kademangan Ngadireja ini lah yang bersyukur dengan kehadiran pasukan ini,” sejenak Ki Demang berhenti. Lanjutnya kemudian, “Dengan kehadiran pasukan Mataram ini, telah menumbuhkan kebanggaan serta tekad yang kuat dari seluruh penghuni Kademangan ini untuk mendukung tetap tegaknya panji-panji Mataram di seluruh tanah ini.” Pangeran Pringgalaya tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Katanya kemudian, “Semoga kehadiran kami ini juga akan menumbuhkan semangat bagi para pemuda Kademangan Ngadireja untuk mengabdikan diri mereka kepada Mataram melalui jalur keprajuritan.” “Hamba, Pangeran,” sahut Ki Demang dengan cepat sambil membungkukkan badannya dalam-dalam. Sejenak kemudian, sebelum jamuan makan malam benar-benar diselenggarakan, beberapa Niyaga telah hadir. Setelah menghaturkan sembah terlebih dahulu kepada Pangeran Mataram itu, mereka segera menempati tempat masing-masing. Untuk beberapa saat para Niyaga itu masih mengatur tata letak gamelan itu agar dapat menghasilkan suara yang indah. Ketika Nyi Sekarwangi kemudian telah hadir di tempat itu pula, suara gamelan yang ngelangut ditingkah suara Sinden yang mendayu-dayu segera saja memenuhi tempat itu. Pangeran Pringgalaya duduk di tengah tengah pendapa di apit oleh para senapatinya menghadap ke arah gamelan. Agak jauh di sebelah kiri duduk Ki Demang beserta seluruh perangkat Kademangan. Sementara beberapa perwira pemimpin setiap pasukan yang diundang pada jamuan makan malam itu duduk berjajar-jajar memenuhi bagian belakang pendapa banjar padukuhan induk kademangan yang cukup luas. Sedangkan para prajurit yang telah mendapatkan jatah ransum makan malam lebih memilih untuk beristirahat di rumah-rumah di sekitar banjar yang dikosongkan. Sebagian lain telah ditampung di banjar-banjar padukuhan kecil di sekitar padukuhan induk. Hanya sebagian kecil saja yang ingin menonton dan berbaur dengan penghuni Kademangan Ngadireja yang tumpah ruah memenuhi halaman banjar, bahkan sampai ke jalan-jalan. Ketika persiapan dirasa sudah cukup, Nyi Demang yang mengatur jalannya jamuan makan malam itu segera memerintahkan para pemuda dan gadis-gadis untuk menghidangkan makanan dan minuman yang terbaik yang ada di kademangan itu. Gadis-gadis dan para pemuda itu telah mendapat pengarahan khusus langsung dari seorang Lurah prajurit yang masih cukup muda tentang tata cara dan suba sita dalam menghidangkan jamuan makan, khususnya kepada Pangeran Pringgalaya yang merupakan adik Panembahan Hanyakrawati, penguasa Mataram. “Begitu kalian menaiki tlundak pendapa yang terakhir, kalian sudah harus dalam keadaan berjongkok. Para pemuda yang membawa nampan tidak usah menyembah, cukup dengan menundukkan kepala dalam-dalam. Sementara para gadis harus melakukan sembah terlebih dahulu sebelum berjalan jongkok mendekat ke arah Pangeran Pringgalaya.” “Apakah kami harus menyembah lagi sebelum menghidangkan jamuan ke hadapan Pangeran?” bertanya seorang gadis yang berwajah manis dengan tahi lalat di ujung bibir sebelah kiri. Lurah prajurit itu sejenak terdiam. Dipandanginya wajah gadis manis dengan tahi lalat di ujung bibir sebelah kiri itu dengan pandangan sedikit liar. Namun begitu disadarinya gadis itu menjadi tertuduk malu, segera saja dilemparkan pandangan matanya ke arah lain sambil berkata, “O, tentu, tentu. Kalian para gadis harus menyembah terlebih dahulu sebelum menghidangkan makanan. Demikan juga ketika kalian telah selesai, kalian harus menyembah lagi sebelum meninggalkan tempat.” “Termasuk kami?” tiba-tiba seorang pemuda memotong. Lurah prajurit itu berpaling. Ketika dilihatnya pemuda yang bertanya itu tiba-tiba saja wajahnya menjadi sedikit pucat, cepat-cepat Lurah prajurit itu pun menjawab sambil tersenyum, “Ya, termasuk kalian para pemuda yang membawa nampan. Setelah nampan kalian kosong, kalian harus melakukan sembah sebelum meninggalkan tempat.” Anak-anak muda yang berada di sekeliling Lurah pajurit itu pun serentak mengangguk anggukan kepala mereka. Dalam pada itu, rombongan berkuda yang membawa Pangeran Jayaraga telah memasuki bulak panjang yang langsung terhubung dengan Kademangan Sangkal Putung. Mereka sengaja tidak memacu kuda-kuda itu dengan cepat agar tidak menimbulkan kesalah-pahaman dengan para penghuni padukuhan yang akan mereka lewati. Namun demikian, tetap saja suara gemuruh derap langkah kuda-kuda di atas tanah berbatu-batu itu telah menggema dan memantul di lereng-lereng bukit sehingga membangunkan para peronda yang baru saja mulai meringkuk berselimutkan kain panjang di gardu-gardu padukuhan. Sedangkan para peronda yang belum tidur dan sedang mencoba mencegah kantuk mereka dengan bermain mul-mulan, sejenak telah menghentikan permainan mereka. “Suara apakah itu, Kakang?” bertanya seorang peronda yang berkulit sedikit gelap. Kawannya yang ditanya untuk beberapa saat tidak menjawab. Hanya kerut-merut di dahinya saja yang tampak semakin dalam. Suara itu memang masih sangat jauh, namun suasana malam yang sepi serta gema dari suara gemeretak kaki-kaki kuda di atas tanah berbatu-batu yang terpantul dari lereng-lereng bukit telah menciptakan bunyi yang aneh dan tidak wajar. “Sepertinya bunyi rombongan orang berkuda,” berkata orang yang dipanggil kakang itu setelah mencoba mempertajam pendengarannya. “Rombongan orang berkuda?” peronda yang berkulit agak gelap itu mengulang dengan wajah yang berubah tegang. Tanpa disadarinya dia berpaling ke arah gardu. Tampak kedua temannya yang baru saja meringkuk berselimutkan kain panjang itu telah menggeliat bangun. “He?” salah satu peronda yang baru bangun itu tersentak bangkit, “Rombongan orang berkuda? Malam-malam begini?” “Kalau pendengaranku tidak salah,” sahut peronda yang dipanggil kakang itu. Segera saja rasa kantuk yang masih bergelayut di pelupuk mata mereka lenyap seketika. Dengan cepat kedua peronda yang berada di dalam gardu itu pun meloncat turun. “Coba kalian dengarkan dengan seksama,” berkata peronda yang tertua, “Kedengarannya seperti rombongan orang-orang berkuda dalam jumlah yang cukup banyak.” “Ya, kakang,” jawab salah satu dari mereka, “Namun sepertinya mereka berkuda dengan kecepatan yang wajar, bahkan cenderung pelan. Semoga saja itu sebagai pertanda bahwa mereka adalah golongan orang-orang yang tidak senang membuat keonaran.” Kawan-kawannya yang lain tampak mengangguk-anggukkan kepala. Mereka sependapat dengan kata-kata kawannya itu. Jika mereka adalah segerombolan penyamun atau perampok yang akan membuat kerusuhan, tentu mereka telah memacu kuda-kuda itu dengan kasar dan liar sambil berteriak-teriak untuk menakut-nakuti penghuni padukuhan yang akan mereka rampok. Namun bagaimana pun juga, para peronda yang mempunyai tanggung jawab untuk menjaga keamanan di padukuhan itu, tetap saja tidak berani meninggalkan kewaspadaan. “Pergilah ke gardu padukuhan induk,” perintah peronda yang di panggil kakang itu kemudian kepada peronda yang berkulit agak gelap, “Mereka tentu juga telah mendengar suara itu. Beri tahu bahwa kita di sini akan mencoba menahan mereka dan menanyakan apa keperluan mereka? Jika memungkinkan perkuat penjagaan gerbang padukuhan induk, tetapi jangan memukul tanda bahaya. Kita belum tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Sebaiknya kita jangan membuat para penghuni Kademangan Sangkal Putung menjadi gelisah.” “Baik, Kakang,” jawab peronda berkulit gelap itu sambil menyangkutkan pedangnya di lambung. Setelah membenahi pakaiannya terlebih dahulu, dengan tergesa-gesa dia segera melangkah menyusuri lorong-lorong padukuhan menuju ke padukuhan induk. Namun, sebenarnyalah beberapa penghuni padukuhan kecil itu telah terbangun oleh suara gemeretak kaki-kaki kuda yang semakin lama semakin keras dan menghentak-hentak jantung. Beberapa kanak-kanak mulai ketakutan dan bersembunyi dalam dekapan biyung-biyung mereka. Sementara bayi-bayi yang baru berumur beberapa bulan justru tetap tidur lelap dalam buaian dinginnya malam. Naluri mereka yang masih sangat peka justru telah mengisyaratkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang perlu dikawatirkan sehubungan dengan suara derap kaki-kaki kuda itu. “Kakang akan kemana?” seorang ibu muda terkejut mendapati suaminya telah berdiri di dekat amben bambu tempat dia dan bayinya yang baru berumur sebulan tidur. “Aku akan ke gardu sebentar,” jawab suaminya sambil menyelipkan sebilah golok di ikat pinggangnya, “Engkau mendengar suara gemuruh kaki-kaki kuda itu?” “Ya, Kakang,” jawab istrinya dengan wajah sedikit pucat dan bibir gemetar, “Jangan pergi, Kakang. Bukankah sekarang ini bukan giliran kakang untuk meronda?” Sejenak laki-laki muda itu menatap bayinya yang sedang tidur dengan lelapnya di atas amben bambu berselimut kain panjang yang usang. Sambil menarik nafas dalam-dalam, akhirnya laki-laki muda itu pun berkata lirih, “Malam ini memang bukan giliranku jaga. Namun tidak ada salahnya jika aku menengok sebentar gardu penjagaan di regol padukuhan. Mungkin tenagaku diperlukan di sana.” “Tapi Kakang,” istrinya mulai merengek sambil bangkit dan memeluk erat suaminya, “Aku takut.” Laki-laki muda itu untuk beberapa saat hanya berdiri termangu-mangu. tidak tahu harus berbuat apa. Hatinya menjadi sedikit bimbang. Sebagai salah seorang pengawal padukuhan, hatinya merasa terpanggil untuk ikut menjaga keamanan padukuhannya, walaupun sekarang ini dia sedang lepas tugas. “Duduklah,” berkata laki-laki muda itu kemudian sambil mendorong perlahan pundak istrinya agar duduk, “Aku tidak akan pergi untuk berperang. Aku hanya menengok sebentar keadaan di luar sana. Siapa tahu orang-orang berkuda itu adalah kawan-kawan kita para pengawal Sangkal Putung yang baru kembali dari Panaraga.” Mendengar kata-kata suaminya, perempuan muda itu pun sejenak tertegun. Dilepaskan pelukannya pada suaminya. Sambil membetulkan letak duduknya, dia pun kemudian berkata, “Mungkin kakang, mungkin mereka adalah para pengawal yang pulang dari Panaraga. Kedengarannya mereka tidak berpacu dengan tergesa-gesa. Bahkan terdengar mereka seperti sedang bertamasya” Suaminya tersenyum sambil menarik nafas dalam-dalam. Entah mengapa tiba-tiba saja dalam benaknya tadi telah terlintas kawan-kawannya yang sedang melawat ke Panaraga bergabung dengan pasukan Mataram. “Sudahlah,” katanya kemudian kepada istrinya, “Tidurlah kembali. Aku akan ke gardu sebentar. Selaraklah pintu dari dalam. Mungkin aku nanti pulang menjelang ayam berkokok terakhir kalinya.” Istrinya tidak menjawab hanya menganggukkan kepalanya. Diikuti langkah suaminya menuju ke pintu depan. Setelah bayangan suaminya hilang di balik pintu regol halaman, barulah dia menyelarak pintu rumahnya dan kembali berbaring di sisi anaknya yang tetap tidur dengan pulasnya. Dalam pada itu, Ki Tumenggung Purbarana yang memimpin rombongan berkuda itu telah melihat sesuatu yang mencurigakan beberapa ratus tombak di depan. “Mungkin hanya seorang petani yang sedang menengok sawahnya,” berkata Ki Tumenggung dalam hati. Beberapa orang dalam rombongan itu pun telah melihat seseorang yang tampak sedang menyusuri tanggul di sebelah kiri bulak. Dalam keremangan malam, tampak sebuah caping bambu yang butut bertengger di atas kepalanya dan sebuah cangkul di pundaknya. “Hanya seorang petani,” demikian hampir setiap orang yang berada dalam rombongan itu mengambil kesimpulan. Untuk beberapa saat orang tua itu kembali termenung. Sejenak ingatannya kembali ke beberapa bulan yang lalu ketika dia bertemu dengan Senapati Agul-Agulnya Mataram, Ki Rangga Agung Sedayu, di lereng Gunung Bayangkaki sebelah barat. “Sebelum pecah perang antara Mataram dan Panaraga, aku sudah berjanji kepada Ki Rangga Agung Sedayu untuk tidak terlibat dalam pertikaian itu,” berkata orang tua itu kemudian, “Demikian juga Ki Rangga juga telah berjanji tidak akan melibatkan diri. Dan janji kami berdua itu telah kami pegang sepenuh hati sampai sekarang ini.” “Tapi sekarang perang Panaraga telah berakhir, Guru,” potong Teja Wulung dengan serta merta, “Tidak ada kewajiban lagi bagi Guru untuk memegang janji itu.” “Engkau memang benar bahwa perang Panaraga telah selesai. Tetapi apa yang akan engkau lakukan ini masih ada hubungannya,” orang tua itu berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Tidak Teja Wulung. Aku tetap pada pendirianku. Aku hadir di sini atas permintaan ibundamu untuk mengajakmu kembali ke Kademangan Cepaga.” Begitu nama ibundanya disebut, terasa sesuatu telah menghujam jantungnya. Namun dengan cepat perasaan itu segera dibuangnya jauh-jauh. “Guru, aku tidak akan pulang ke Kademangan Cepaga kecuali hanya untuk memboyong ibunda ke istana Mataram, selain itu tidak. Bagiku hanya ada dua pilihan, mukti atau mati.” “Bagaimana kalau engkau tidak mukti tetapi juga tidak mati? Seperti keadaanmu sekarang ini misalnya?” “Aku akan terus berjuang sampai cita-citaku berhasil, atau sekalian aku tidak akan pernah melihat lagi terbitnya matahari di ufuk timur.” Orang tua itu hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya menghadapi kekerasan hati Teja Wulung. “Nah, jika Guru tidak ingin terlibat, silahkan duduk saja dan menonton apa yang akan terjadi nanti,” berkata Teja Wulung kemudian, “Kami akan mencegat rombongan yang membawa Pangeran Jayaraga itu di Lemah Cengkar, di padang rumput yang luas dan terdapat pohon beringin raksasa yang dipercaya banyak orang ada siluman harimau putihnya.” Orang tua itu tidak menjawab. Hanya sepasang matanya yang hitam kelam itu tampak sedikit berkaca-kaca. Bagaimana pun juga Teja Wulung itu sudah dianggap seperti cucunya sendiri. Rara Ambarasari atau ketika masih gadis lebih dikenal dengan nama Endang Mintarsih, satu-satunya endang yang ada di Padepokan Selagilang, telah diakui sebagai anaknya sendiri, jauh sebelum padepokan mereka kedatangan seorang pemuda yang mengaku bernama Jaka Suta dan Pamannya. Sejenak kemudian Teja Wulung segera memanggil para pemimpin kelompok untuk mendekat. “Apakah kalian menempatkan telik sandi di tikungan yang menuju ke arah Kaliasat?” bertanya Teja Wulung kemudian. “Hamba, Pangeran,” jawab orang yang rambutnya sudah ubanan, “Kami menempatkan telik sandi di tikungan arah Kaliasat, agar kita dapat mengetahui arah yang mereka tuju setelah lepas dari Kademangan Sangkal Putung.” “Kemungkinan mereka melalui Kaliasat memang kecil,” berkata pemimpin kelompok yang lain menimpali, “Mereka tentu memilih jalur yang lurus melalui Lemah Cengkar yang langsung menuju Jati Anom, dari pada belok kiri lewat Kaliasat. Jika mereka memilih Kaliasat, mereka harus melalui bulak dowo sebelum mencapai Dukuh Pakuwon. Kemudian mereka masih harus menyusur lewat pinggir Hutan Macanan ini. Aku yakin mereka tentu mempunyai perhitungan bahwa kita akan mencegat mereka di hutan ini sehingga jalur ini harus dihindari.” “Kalian benar,” Teja Wulung atau yang lebih dikenal di kalangan pengikutnya itu sebagai Pangeran Ranapati memotong, “Aku yakin mereka memilih jalur Lemah Cengkar. Kita akan bersembunyi di antara lebatnya ilalang yang tumbuh setinggi pinggang orang dewasa itu. Mereka pasti tidak menyangka bahwa kita akan mencegat justru di tempat terbuka, padang rumput Lemah Cengkar.” “Hamba Pangeran,” hampir serempak para pemimpin kelompok itu menjawab. “Nah sekarang atur lah orang-orangmu. Bawa mereka ke padang rumput Lemah Cengkar. Kita masih punya cukup waktu untuk mencapai Lemah Cengkar sebelum tengah malam. Usahakan kalian bersembunyi agak jauh dari pohon beringin raksasa itu?” Para pemimpin kelompok itu saling pandang. Mereka tidak mengerti maksud Pangeran Ranapati. Namun agaknya Pangeran Ranapati mengerti jalan pikiran mereka. Maka katanya kemudian, “Bukan berarti aku percaya adanya macan putih siluman penghuni pohon beringin raksasa itu. Namun menurut perhitunganku, pasukan berkuda itu tidak akan lewat tepat di bawah pohon, mereka akan memilih tempat yang lebih lapang untuk pasukan mereka.” Para pemimpin kelompok itu sekarang mengangguk-anggukkan kepala, pertanda bahwa mereka telah mengerti perhitungan pangeran Ranapati. Sekembalinya para pemimpin kelompok itu ke tempat anak buah mereka, pangeran Ranapati pun segera berkemas. Ketika dia kemudian berpaling ke arah Gurunya yang duduk di bawah pohon, tampak orang tua itu telah berdiri dan berjalan ke arahnya. “Teja Wulung,” berkata orang tua itu kemudian sesampainya dia di hadapan muridnya, “Apakah ada gunanya engkau mencoba merebut Pangeran Jayaraga dari tangan pasukan Mataram yang mengawalnya? Jayaraga sudah menyerah dan Kadipaten Panaraga telah jatuh. Untuk apa engkau melakukan semua ini?” “Guru,” jawab Pangeran Ranapati sambil menegakkan tubuhnya, “Aku memerlukan Adimas Jayaraga untuk memperkuat kedudukanku. Orang-orang masih meragukan kedudukanku sebagai seorang Pangeran. Aku memerlukan Adimas Jayaraga untuk merebut simpati para kawula Mataram. Adimas Jayaraga akan aku bujuk untuk kembali memberontak kepada Mataram. Dengan landasan beberapa kadipaten di Bang Wetan yang belum tunduk kepada Mataram, kami akan menghancurkan Mataram.” Orang tua itu mengerutkan keningnya sejenak. Tanyanya kemudian dengan sedikit ragu-ragu, “Kadipaten Surabaya maksudmu?” Pangeran Ranapati mengangguk. Jawabnya kemudian, “Selain Surabaya, aku juga telah membuat hubungan dengan Pasuruan dan Gresik.” Tiba-tiba wajah orang itu menegang sejenak. Namun dengan cepat kesan itu segera terhapus dari wajahnya. Tanyanya kemudian sambil lalu, seolah olah bukan sebuah pertanyaan yang penting, “Apakah engkau juga telah membuat hubungan dengan orang-orang asing yang berada di Gresik?” Sejenak Pangeran Ranapati terdiam. Namun jawabnya kemudian, “Aku belum mempunyai kepentingan dengan mereka, Guru. Keberadaan orang-orang asing itu di tanah kita ini hanya sekedar berdagang, sehingga aku tidak dapat berharap lebih dari mereka.” Orang tua itu pun kemudian tidak berkata-kata lagi. Diikutinya saja langkah muridnya berjalan bersama para pengikutnya keluar dari hutan Macanan menuju ke Lemah Cengkar. Dalam pada itu, di kediaman Ki Gede Menoreh, di bilik belakang dekat dapur, tampak Anjani sedang duduk di sebuah dingklik kayu dekat sebuah amben besar. Beberapa perempuan tampak mengerumuninya, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Rara Wulan serta tak ketinggalan Damarpati. “Mengapa engkau pergi begitu saja Anjani?” bertanya Sekar Mirah yang duduk di bibir pembaringan sambil menggenggam kedua tangan Anjani, “Kami semua di sini sangat mengkawatirkan kesehatanmu. Bukan kah engkau masih belum sembuh benar dari luka dalammu?” Sejenak Anjani menarik nafas dalam-dalam. Berbagai penyesalan menyelusup ke dalam dadanya. Betapa perhatian yang sangat ditunjukkan oleh Sekar Mirah, istri dari laki-laki yang selama ini secara diam-diam selalu dirindukan dan didambakannya. “Maafkan aku mbokayu,” hanya kata-kata itu yang terdengar lirih dan tersendat dari bibir mungil Anjani. Ditundukkan kepalanya dalam-dalam tanpa berani menentang pandang mata Sekar Mirah. Namun justru karena itulah tanpa disadarinya, setetes demi setetes air mata telah jatuh di pangkuannya. “Sudahlah Anjani,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil menggenggam kedua tangan Anjani lebih erat lagi, “Kami semua bisa memaklumi suasana hatimu saat itu. Mungkin engkau merasa malu menjadi beban keluarga Menoreh,” Sekar Mirah berhenti sejenak. Sambil tersenyum dan mengusap air mata di pipi Anjani dengan tangan kanannya, dia melanjutkan, “Kami sama sekali tidak keberatan engkau tinggal di sini. Engkau telah kami anggap sebagai keluarga sendiri.” “Keluarga sendiri?” desah Anjani dalam hati sambil mencoba dengan perlahan melepaskan tangannya dari genggaman Sekar Mirah, “Haruskah aku menerima kenyataan ini tanpa berusaha mendapatkan yang lebih baik?” kembali hati kecilnya menjerit. Dengan susah payah dicobanya untuk mengusap air mata yang semakin deras mengalir di kedua pipinya yang ranum kemerah-merahan. Berbagai tanggapan bergejolak di dalam hatinya. Haruskah perjuangannya selama ini dalam meraih kebahagiaan dan masa depan yang lebih cerah harus berakhir dalam kehampaan? Jika dia hanya hidup di lingkungan keluarga Ki Rangga tanpa kejelasan akan nasibnya, apakah hatinya yang sangat rapuh itu akan dapat bertahan? Alangkah dahsyatnya segala benturan dan hentakan yang akan mendera hatinya nanti. Dia akan melihat orang yang sangat dicintainya itu selalu berada di dekatnya, namun sesungguhnya sangat jauh dalam jangkauan dan rengkuhan cintanya. “Sudahlah,” berkata Pandan Wangi yang juga duduk di bibir pembaringan di sebelah kiri Sekar Mirah membuyarkan lamunan Anjani, “Malam sudah mendekati sepi uwong. Sebaiknya kita segera beristirahat.” Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam sambil berpaling ke arah Pandan Wangi. Katanya kemudian, “Mbokayu benar. Sebaiknya kita segera beristirahat. Besuk masih banyak yang harus kita kerjakan.” Tanpa sadar Anjani mengangkat wajahnya. Namun begitu pandangan matanya tertumbuk pada seraut wajah yang cantik tapi tampak selalu murung, dengan segera ditundukkan kembali wajahnya. “Anjani,” tiba-tiba terdengar suara Pandan Wangi yang bagaikan guruh meledak di dekat teinganya, “Engkau dapat beristirahat di bilikku. Biarlah Damarpati mengawanimu jika engkau tidak berkeberatan sekedar sebagai teman berbincang.” “Mbokayu sendiri akan tidur di mana?” kata-kata itu tiba-tiba saja terlontar begitu saja dari bibir Sekar Mirah. “Aku akan tidur di bilik ini menemanimu, Sekar Mirah. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan,” jawab Pandan Wangi sambil menatap tajam ke arah Anjani. Namun Anjani ternyata sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya. Sejenak suasana menjadi sepi. Masing-masing sedang terhanyut dalam buaian lamunan yang mengasyikkan. Sementara Anjani justru menjadi sangat gelisah mendengar ucapan Pandan Wangi. “Apakah Nyi Pandan Wangi akan mengungkapkan hubunganku dengan kakang Agung Sedayu,” desah Anjani dalam hati, “Sebaiknya, aku sendiri saja yang berterus terang kepada mbokayu Sekar Mirah agar jangan terjadi salah paham. Jika Nyi Pandan Wangi yang bercerita, mungkin mbokayu Sekar Mirah akan mempunyai tanggapan yang berbeda. Mungkin mbokayu akan menyangka ternyata selama ini Kakang Agung Sedayu tidak jujur terhadap dirinya. Bahkan mungkin mbokayu Sekar Mirah menyangka kakang Agung Sedayu telah menanggapi sikapku dan benar-benar menyangka telah terjalin hubungan diantara kami berdua.” Berpikir sampai disitu, dengan memberanikan diri akhirnya Anjani membuka suara, “Maafkan aku Nyi Pandan Wangi,” Anjani berhenti sebentar untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja menjadi sangat kering, “Bukan maksudku menolak kemurahan hati Nyi Pandan Wangi, namun sesungguhnya aku ingin menemani mbokayu Sekar Mirah di bilik ini. Banyak yang ingin aku ceritakan tentang kisah hidupku kepada mbokayu Sekar Mirah. Namun semua itu terserah mbokayu Sekar Mirah, apakah mbokayu bersedia menerima aku sekedar sebagai kawan berbincang yang mungkin akan sangat membosankan.” “Tidak, Anjani. Aku tidak berkeberatan,” justru Sekar Mirahlah yang dengan serta merta menjawab, “Kawani aku. Engkau dapat bercerita tentang kisah hidupmu yang tentu akan sangat menarik, dan aku siap untuk menjadi pendengar yang baik.” Orang-orang yang berada di dalam bilik itu tampak mengangguk-angguk. Hanya Pandan Wangi yang tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam. Namun setelah menarik nafas dalam-dalam, akhirnya dia pun berkata, “Terserah engkau Anjani. Kalau memang engkau lebih senang tidur bersama Sekar Mirah di bilik ini, tentu saja aku tidak bisa memaksa.” Terasa himpitan yang selama ini menekan dada Anjani perlahan mengendor. Dengan menyungging sebuah senyum kecil di sudut bibirnya, Anjani pun kemudian mengangkat wajahnya sambil berkata, “Sekali lagi aku mohon maaf, Nyi. Rasanya begitu deksura jika aku menggunakan bilik Nyi Pandan Wangi. Rasa-rasanya aku lebih nyaman berada di bilik ini sambil membantu mbokayu Sekar Mirah jika sewaktu-waktu bayinya terbangun dan rewel.” “Ah,” desah Sekar Mirah dengan serta merta, “Kalau bayiku rewel karena haus dan ingin minum? Apakah engkau juga mau membantuku, Anjani?” “Ah,” hampir bersamaan perempuan-perempuan yang berada di dalam bilik itu tertawa. Sedangkan Anjani hanya dapat menundukkan kepalanya dengan wajah yang sedikit bersemu merah. “Baiklah, aku mohon diri,” berkata Pandan Wangi kemudian sambil bangkit berdiri. Serentak mereka yang berada di dalam bilik itu pun ikut berdiri. “Selamat beristirahat, mbokayu,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil mengikuti langkah Pandan Wangi menuju pintu bilik diikuti oleh Anjani. Sedangkan Rara Wulan dan Damarpati yang selama ini hanya berdiam diri, dengan tergesa-gesa segera ikut mengantar putri satu-satunya penguasa Tanah Perdikan Menoreh itu ke pintu bilik. Sepeninggal Pandan Wangi, Rara Wulan segera minta diri untuk kembali ke biliknya. Sedangkan Damarpati yang biasanya menemani Sekar Mirah, telah memilih untuk tidur di bilik kakeknya, Kiai Sabda Dadi. Dalam pada itu di gandhok kiri, di bilik yang paling ujung, Ki Jayaraga tampak sedang duduk di atas sebuah lincak bambu yang terletak di teritisan. Di sebelahnya duduk dengan kepala tunduk cantrik Gatra Bumi. Sedangkan Glagah Putih tampak berdiri bersandaran pada salah satu tiang yang banyak berjajar-jajar di sepanjang teritisan. “Kemana saja engkau selama ini Sukra,” Ki Jayaraga membuka percakapan dengan nada yang dalam, “Semua orang mencemaskanmu. Engkau pergi begitu saja tanpa pamit kepada penghuni rumah Ki Rangga. Apakah memang engkau sudah tidak kerasan lagi tinggal bersama kami?” “Tidak, Ki. Bukan maksudku untuk membuat keluarga Ki Agung Sedayu resah,” dengan suara pelan cantrik Gatara Bumi atau yang lebih dikenal dengan nama Sukra itu menjawab, “Aku memang bersalah telah pergi tanpa pamit.” Glagah Putih mengerutkan keningnya mendengar jawaban Sukra. Tanpa disadarinya degup jantungnya berpacu menjadi sedikit lebih cepat. Rasa-rasanya yang duduk di sebelah Ki Jayaraga itu bukan Sukra yang dulu lagi. Sukra yang berada di hadapannya kini tampak sangat dewasa dan matang. Kalau dugaannya benar bahwa Sukra telah menjadi salah satu cantrik dari Kanjeng Sunan, tentu telah banyak mendapat bimbingan baik dalam olah kanuragan maupun olah batin. “Mungkin dia sekarang ini sudah menguasai sebuah ilmu yang ngedab-edabi,” berkata Glagah Putih dalam hati, “Menilik sikapnya yang tenang dan sedikit acuh dengan keadaan sekelilingnya, tentu dia telah mempunyai bekal yang lebih dari cukup sehingga tidak ada yang dapat menggetarkan jantungnya.” Berpikir sampai disini, tiba-tiba muncul sebuah keinginan untuk menjajagi sampai di mana tingkat kemampuan anak yang dulunya hampir setiap malam turun ke sungai untuk memasang rumpon itu. “Sukra,” berkata Glagah Putih kemudian setelah sejenak mereka terdiam, “Apakah engkau masih mengingat latihan-latihan olah kanuragan yang sering kita lakukan bersama dahulu? Jika ada waktu dan engkau tidak berkeberatan, ada baiknya kita berlatih bersama kembali sekedar untuk melemaskan otot dan mengingat pelajaran yang pernah diberikan oleh Ki Jayaraga.” Namun jawaban Sukra sungguh diluar dugaan. Dengan menggeleng lemah sambil tersenyum, dia menjawab, “Maaf kakang Glagah Putih. Aku sudah melupakan segala macam ilmu olah kanuragan dan guna kasantikan yang dapat membuat orang menjadi pilih tanding dan sakti mandraguna. Kanjeng Sunan telah mengajarkan kepadaku akan pentingnya memahami kehidupan ini. Memahami kewajiban kita sebagai hamba Yang Maha Agung yang telah menciptakan kita untuk menjadi penguasa di atas bumi ini. Yang Maha Agung telah menurunkan sebuah ilmu tentang kasampurnaning ngaurip melalui utusanNya. Ilmu yang lebih berharga dari segala macam ilmu kanuragan dan guna kasantikan sebagai bekal hidup kita kelak di alam kelanggengan.” Bagaikan disiram bayu sewindu, guru dan murid itu untuk beberapa saat telah membeku di tempat masing-masing. Mereka berdua sama sekali tidak menduga bahwa Sukra telah mempunyai pengetahuan dan keyakinan yang sedemikian kuatnya dalam menentukan jalan hidupnya, menilik umurnya yang masih tergolong sangat muda. Sejenak suasana menjadi sunyi. Masing-masing tenggelam dalam lamunan yang tak berujung pangkal. Sementara para pengawal di gardu perondan yang berada di ujung kelokan jalan dekat kediaman Ki Gede Menoreh telah memukul kentongan dengan nada dara muluk. “Tengah malam,” desis Ki Jayaraga tanpa sadar. Sementara Glagah Putih dan Sukra tidak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya kepala mereka yang terlihat terangguk-angguk. “Marilah,” berkata Ki Jayaraga kemudian, “Sudah waktunya kita beristirahat. Besuk aku dan Glagah Putih akan menempuh perjalanan yang cukup panjang,” Ki Jayaraga berhenti sejenak. Kemudian sambil berpaling ke arah Sukra yang duduk di sebelahnya, dia bertanya, “Sukra, apakah engkau akan tinggal di Menoreh lagi, ataukah akan mengikuti Kanjeng Sunan kembali ke gunung Muria?” “Kedua-duanya tidak, Ki” sahut Sukra dengan serta merta sambil menggelengkan kepalanya, “Beberapa hari yang lalu aku diperintahkan oleh Kanjeng Sunan untuk menemani Ki Ajar Mintaraga di hutan sebelah timur pebukitan Menoreh. Namun karena sesuatu hal, kami berpisah. Ki Ajar kembali ke pertapaan Mintaraga dan aku disuruh mengikuti Kanjeng Sunan Ke Menoreh,” Sukra berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Aku sudah memohon ijin kepada Kanjeng Sunan untuk tinggal barang sehari dua hari di sini. Setelah itu aku akan kembali ke pertapaan Mintaraga di pebukitan Menoreh.” Hampir bersamaan Ki Jayaraga dan Glagah Putih mengerutkan kening. Nama Ki Ajar Mintaraga itu terasa masih asing di telinga mereka berdua. “Siapakah Ki Ajar Mintaraga itu?” bertanya Glagah Putih kemudian. Untuk sejenak Sukra tidak segera menjawab pertanyaan Glagah Putih. Setelah menarik nafas panjang terlebih dahulu, barulah Sukra menjawab, “Ki Ajar Mintaraga adalah salah seorang santri dari Kanjeng Sunan. Menurut cerita yang pernah aku dengar dari para santri di gunung Muria, Ki Ajar Mintaraga menjadi santri Kanjeng Sunan di usia yang sudah sangat sepuh. Walaupun demikian, hubungan keduanya bagaikan hubungan antara sahabat, bukan antara guru dan murid.” Ki Jayaraga dan Glagah Putih mengangguk-anggukkan kepala mereka walaupun keterangan Sukra itu masih belum menjelaskan jati diri Ki Ajar Mintaraga yang sebenarnya. Namun sedikit banyak mereka berdua telah mendapat gambaran tentang diri orang tua itu. “Apakah engkau mempunyai kepentingan yang mendesak di Menoreh ini, Sukra?” bertanya Ki Jayaraga kemudian. “Ya, Ki,” jawab Sukra, “Aku ingin menemui Ki Agung Sedayu untuk suatu keperluan.” “Apakah keperluanmu itu?” hampir saja pertanyaan itu terloncat dari mulut Glagah Putih. Namun Glagah Putih segera menyadari bahwa tidak sepantasnya lah bagi dirinya untuk menanyakan hal itu. Sukra yang sekarang berada di hadapannya itu, bukanlah Sukra beberapa waktu yang lalu. “Sudahlah, malam sudah cukup larut. Sebaiknya kita segera beristirahat,” berkata Ki Jayaraga kemudian sambil bangkit dari tempat duduknya. “Engkau akan tidur di mana Sukra?” bertanya Glagah Putih begitu melihat Sukra ikut beranjak dari tempat duduknya. “Jika diijinkan, aku akan bermalam di rumah Ki Agung Sedayu.” Sejenak Ki Jayaraga dan Glagah Putih saling berpandangan. Ki Jayaraga lah yang kemudian menyahut, “Rumah Ki Rangga Agung Sedayu sudah lama dikosongkan. Sekali-kali saja aku menengok keadaannya. Namun jika engkau mau bermalam di sana, silahkan saja. Seperti biasa engkau dapat masuk melalui pintu dapur. Pengait selarak pintu dapur aku selipkan di atas teritisan depan pintu dapur.” “Terima kasih, Ki,” jawab Sukra kemudian sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Demikianlah, sejenak kemudian mereka segera berpisah. Ki Jayaraga segera masuk ke dalam biliknya, sedangkan Glagah Putih menuju ke bilik istrinya. Sementara Sukra telah turun ke halaman rumah Ki Gede yang luas untuk kemudian keluar melalui regol depan dan berjalan menyusuri lorong-lorong yang gelap dan sunyi menuju ke rumah Ki Rangga Agung Sedayu. Dalam pada itu, di bilik Sekar Mirah, Anjani terlihat sangat gelisah. Dicobanya untuk menghilangkan kegelisahan itu dengan membetulkan letak selimut Bagus Sadewa yang sedikit tersingkap. Sambil membungkukkan badan, diciumnya pipi bayi Sekar Mirah yang terlihat sangat menggemaskan itu. “Sudahlah Anjani,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil tersenyum, “Malam sudah cukup larut, bagaimana jika ceritamu itu ditunda sampai besuk saja?” Anjani menarik nafas panjang sambil berpaling ke arah Sekar Mirah yang duduk di ujung pembaringan. Ada sedikit keraguan yang terselip di sudut hatinya. Namun kesempatan untuk berdua saja dengan istri Ki Rangga Agung Sedayu itu belum tentu datang untuk kedua kalinya. Maka dengan memberanikan diri, dia pun akhirnya menjawab, “Aku belum mengantuk, mbokayu. Namun jika mbokayu yang sudah mengantuk, aku tidak akan memaksa mbokayu untuk mendengarkan ceritaku yang tentu akan sangat membosankan.” “Ah! Ada-ada saja engkau ini, Anjani,” sahut Sekar Mirah sambil menarik lengan Anjani yang masih berdiri di dekat pembaringan dan membawanya duduk di sebelahnya, “Bercerita lah! Aku akan menjadi pendengar yang baik.” Untuk beberapa saat lidah Anjani justru menjadi kelu. Bibir yang mungil kemerahan itu terkatup rapat. Sementara degup jantungnya semakin lama menjadi semakin cepat seiring dengan nafasnya yang ikut memburu. Sekar Mirah yang melihat perubahan itu mengerutkan keningnya. Dengan perlahan diguncangkannya pundak Anjani sambil tertawa kecil, “He! Apa yang sedang terjadi padamu, Anjani? Sepertinya engkau sedang melihat hantu.” Anjani mencoba tersenyum menanggapi gurauan Sekar Mirah, betapapun pahitnya. Dicobanya untuk menarik nafas dalam-dalam, namun tetap saja jantungnya berpacu semakin cepat. bersambung ke bagian 2 Laman 1 2 3 4 Padatahun 1967 menggelindingkan Api di Bukit Menoreh mengambil kisah berdirinya kerajaan Mataram Islam. Di sana ada tokoh Agung Sedayu, Swandaru, Kyai Gringsing, Sutawijaya, dan paling terakhir adalah Glagah Putih dan Rara Wulan — saudara sepupu sekaligus murid Agung Sedayu. Ada sementara penggemar cerita SH Mintardja yang bilang,
API DI BUKIT MENOREH Judul Buku Api di Bukit Menoreh Karya SH Mintardja Gambar Kulit Herry Wibowo Illustrasi Suparto Jilid 396 Jilid Format A5 Halaman 80 halaman Penerbit Kedaulatan Rakyat Yogyakarta Jilid 1 dicetak tahun 1968, jilid terakhir 396 dicetak tahun 396. SINOPSIS Sudah lupa detil cerita yang sangat panjang ini menyebabkan agak sulit membuat sinopsis tentang Api Di Bukit Menoreh ini Korek sana-sini menemukan sinopsis yang cukup lumayan, saya sunting sebagian untuk blogi ini. Agung Sedayu … Diceritakan sebagai adik dari Untara, tokoh utama Pasukan Pajang yang berjuang melawan sisa pengikut Arya Penangsang yang bergerilya. Ayahnya adalah salah seorang Tokoh Olah Kanuragan yang sepuh, masih dikenal baik Gurunya Kiai Gringsing dan dari aliran baik-baik. Ilmu ayahnya diwarisi tidak matang oleh Pamannya Widura Adik ibunya dan oleh Untara, dan Ilmu lengkap ayahnya justru ditemukannya secara tidak sengaja ketika untuk pertama kalinya Pati Geni memperdalam ilmunya di gua dekat kampungnya, Jati Anom. Agung Sedayu … digambarkan sebagai seorang pemuda yang sangat penakut, bukannya pengecut. Karena bahkan melewati sebuah pohon raksasa di malam haripun dia tidak berani. Karena terlalu dimanjakan ibunya, Sedayu berubah menjadi penakut, apalagi dia selalu berlindung di bawah ketiak kakaknya yang sangat kuat dan jantan serta berilmu. Kepenakutan Sedayu diceritakan hampir selama 30 jilid pertama. Boleh dikata, pembaca jadi sangat mengenal bahkan dari dekat tokoh bernama Agung Sedayu ini, karena moment kepenakutannya diceritakan detail lengkap dengan persaingannya dengan Sidanti, baik dalam Olah Kanuragan terminologi lokal yang cocok pengganti ilmu silat maupun kelak dalam cinta. Meskipun penakut, Agung Sedayu memiliki kemampuan lain yang diatas rata-rata Membidik tepat, baik melalui lemparan maupun memanah yang tidak pernah gagal, serta mampu mengukirkan apa yang dia baca dalam hatinya hingga tidak terlupakannya. Saking detailnya, dibutuhkan puluhan jilid yang mengalir bersama rentetan sejarah dari Demak-Pajang dan berdirinya Mataram. Proses Agung Sedayu menemukan dirinya, mengatasi kepenakutannya diceritakan sangat detail dan lama, sehingga terkesan bertele-tele. Demikian juga prosesnya menempa diri, dari mulai diambil sebagai guru oleh Kiai Gringsing, tokoh utama lain cerita ini, sampai memasuki penempaan mendalam, membutuhkan panjang hingga 100 jilid pertama. Bahkan, dibutuhkan lebih dari 200 jilid baru Kiai Gringsing mempercayakan Kitab Rahasianya untuk didalami oleh Agung Sedayu dan Swandaru adik seperguruannya. Itupun setelah Agung Sedayu memperdalam diri dengan menyempurnakan ilmu ayahnya dan mendalami Kitab Rahasia gurunya yang kedua Jilid 100-200. Dari hanya mampu memainkan ilmu gerak yang biasa nyaris sepanjang 50 jilid pertama, hingga kemudian mampu memainkan cambuk sebagai senjata utama 51-100, sungguh banyak episode yang dilewati dengan menggunakan ilmu-ilmu itu. dALAM mana, penjahat-penjahat sakti semacam Tambak Wedi menjadi lawan guru mereka. Baru pada jilid 100-200, nampaknya Kiai Gringsing mulai memberi kesempatan Agung Sedayu untuk mulai menggantikan tempatnya, dan puncaknya ketika dalam akhir jilid 200, bentrok dengan sesama tokoh sepuh yang sudah dinyatakan punah melalui benturan ilmu-ilmu ampuh yang dinyatakan lenyap, milik Eyang Windunata yang merupakan garis vertikal keturunan prabu terakhir Majapahit. Eyang tersebut adalah kakek langsung Kiai Gringsing yang bersahaja, bahkan salah satu gurunya yang mewariskan ilmu-ilmu ampuh dan menyeramkan. Agung Sedayu Ilmu Kesaktian – Kanuragan SH Mintardja dengan cerdik menggunakan terminologi “Olah Kanuragan” atau Ilmu Kanuragan sebagai ganti Ilmu SIlat. Bahkan dia tidak menyebutnya Pencak atau Pencak SIlat. Tenaga dalampun dinamainya TENAGA CADANGAN, dan semedi dinamakannya MESU DIRI atau PATI GENI. Dalam proses ini, Agung Sedayu memulai Olah Kanuragan dengan diajak dan dipermainkan gurunya. Dia dilatih untuk menghilangkan rasa penakutnya yang meskipun hilang akhirnya, tetapi kelembutannya dan ketidaktegasannya menghadapi dan menghukum orang jahat tidak pernah lepas hingga akhir cerita di jilid 390-an. Tetapi, kehebatan dan bakatnya melalui kemampuan mengingat dan menanamkan dalam hati, membuatnya meski tidak banyak berlatih, ternyata menyerap semua ilmu yang juga dikuasai Untara kakaknya. Mengapa? karena ilmu ayahnya ternyata di catatnya di daun lontar, dan ketika Kiai Gringsing dan Widura melatihnya, tidak lama waktu yang dibutuhkannya untuk mematangkan dirinya. Selama 70 jilid, Agung Sedayu dan Swandaru mengikuti gurunya Kiai Gringsing untuk memperdalam ilmu dengan mengembara hingga ke Menoreh dan bahkan singgah ke Mataram yang mulai dibuka di akhir jilih 100-an. Ilmu Kanuragan Agung Sedayu masih sederhana dan belum mendalam, perbedaannya dengan Swandaru juga maih belum seberapa. Tetapi, ketika konflik mulai memuncak, pertarungan Mataram dan Pajang mulai terjadi, Kiai Gringsing menuntun Agung Sedayu dan Swandaru untuk meningkatkan Ilmu Kanuragan mereka. Agung Sedayu memilih jalur dalam sementara Swandaru memilih jalur keras atau kulit dengan mengandalkan fisik. Agung Sedayu melakukan Mesu Diri untuk mematangkan ilmunya dan memperdalam kemampuan membidiknya serta menemukan Ilmu yang bisa memusnahkan orang dan benda melalui sinar matanya. Perbedaan kemampuan Swandaru dan AGung Sedayu mulai melebar. Uniknya, Swandaru tidak menyadarinya dan selalu merasa sudah melampaui kemampuan kanuragan kakak seperguruannya, Agung Sedayu. Episode paling menarik dari kedua tokoh seperguruan ini dikisahkan dalam episode kedua, JALAN SIMPANG. Swandaru selalu menilai diri terlalu tinggi karena Agung Sedayu selalu terluka melawan tokoh-tokoh sakti yang mulai rajin bermunculan di atas jilid 100. Padahal, melawan tokoh-tokoh ini justru semakin mematangkan Agung Sedayu. Ilmunya meningkat pesat, dan memperoleh pengasihan dari Guru keduanya yang meminjamkan kitabnya dan juga petunjuk Pangeran Benawa dan Raden Sutawidjaya dalam meningkatkan Ilmu. Dari Guru keduanya, Agung Sedayu mampu mengolah dan memperoleh Ilmu Kebal yang luar biasa, mampu mengeluarkan panas membakar dalam puncak Ilmu Kebalnya itu. Mampu bergerak cepat dan melayang-layang secara tidak masuk akal ini mungkin ginkang dan mampu menghadapi ilmu sihir atau santet, bahkan belakangan mampu menemukan ilmu Kakang Pembarep Adi Wuragil dengan memecah diri menjadi 3 seperti Kiai Juru Mentani. Selebihnya, diapun melatih ilmu-ilmu mendengar dari jarak jauh, menyerap bunyi dan mempertajam panggraita atau intuisi dan perasaan. Dari Kiai Gringsing, dia memperoleh ilmu Cambuk yang luar biasa yang mampu menembus Ilmu Kebal dengan lecutan-lecutannya. Bahkan meski tidak diceritakan, sebagai murid terkasih Kiai Gringsing dia juga mewarisi Ilmu Ilmu yang nyaris punah, yakni Ilmu Melepas Awan Pekat, Gelap Ngampar dan Mempengaruhi Indra lawan melalui penciuman, Ilmu yang dimiliki Sesepuh Majapahit. Selain itu, dia juga kebal racun setelah diberi petunjuk oleh Pangeran Benawa, tokoh muda sakti selain Sutawidjaya. Keduanya, Sutawidjaya dan Benawa dianggap tokoh muda tersakti pada masa cerita ini, meskipun perkembangan Agung Sedayu juga dipantau keduanya dengan cermat. Puncak cerita dan menariknya cerita ini, ketika Swandaru yang suka meledak-ledak, emosional dan merasa dari kalangan atas, merasa sudah melampaui kehebatan kakak seperguruannya. Dalam pertarungan yang mengakhiri episode jalan simpang, Agung Sedayu mengajarkan bagaimana kematangan dan kedalaman mengalahkan Swandaru yang mengandalkan Tenaga Fisiknya. Dalam perkelahian yang disadari betul oleh adik Swandaru, Sekar Mirah dan Istri Swandaru ,Pandanwangi, bahwa Swandaru kalah jauh oleh Agung Sedayu karena berkali-kali mereka menyaksikan bagaimana Agung Sedayu berkembang menjadi raksasa Olah Kanuragan, Swandaru telak dikalahkan. Bahkan Sekar Mirah, yang akhirnya menjadi istri Agung Sedayupun, baru menyadari betapa suaminya jauh meninggalkannya dengan swandaru, ketika melihat Suaminya nyaris mati menandingi dan mengalahkan Panglima Sakti dari Pajang dalam sebuah perang tanding yang disaksikan banyak tokoh utama. Untuk membuka mata Swandaru, Agung Sedayu mempergunakan semua Ilmunya, baik Kakang Pembarep Adi Wuragil, Ilmu Kebal, Ilmu Pandang Mata, dan Lecutan Berat yang tidak terdengar telinga biasa tapi telinga batin yang menyakitkan. Semua ilmu kanuragan andalannya dikeluarkan dan membuat Swandaru akhirnya sadar dan terperangah. Episode seudahnya adalah episode pengembaraan Glagah Putih, adik sepupu AGung Sedayu sekaligus muridnya. Sementara Agung Sedayu menempah istrinya dan juga menmpa dirinya dengan kitab gurunya, Kiai Gringsing. Kanuragan Jawa Olah Kanuragan, demikian bahasa Mintardja menggambarkan silat Jawa. Sungguh diambil dari sari dan budaya Jawa sendiri. baik penamaan maupun maknanya. Hal yang menunjukkan betapa Silat Lokal, tidak kalah mutu dibandingkan silat Cina. Measkipun kisah cinta di serial ini kurang menggigit atau malah kering, tetapi kontribusi bagi Ilmu Kanuragan dan rentetan budaya jawa sungguh luar biasa. Layak dibaca dan juga layak dilanjutkan. Karena cerita ini menggantung pada bagian paling akhir. Dikutip dari CATATAN Jilid 1-19 tidak ada naskah djvu-nya sehingga tidak bisa dicek kebenarannya dengan rontal aslinya. Apalagi, jilid 1-11 rupanya beberapa bagian sudah diedit oleh editor terdahulu, sehingga sepertinya bukan karangan ADBM asli Ki SH Mintardja lagi. Mohon dimaklumi. TAUTAN HALAMAN BACA BUKU I. 001 002 003 004 005 006 007 008 009 010 011 012 013 014 015 016 017 018 019 020 021 022 023 024 025 026 027 028 029 030 031 032 033 034 035 036 037 038 039 040 041 042 043 044 045 046 047 048 049 050 051 052 053 054 055 056 057 058 059 060 061 062 063 064 065 066 067 068 069 070 071 072 073 074 075 076 077 078 079 080 081 082 083 084 085 086 087 088 089 090 091 092 093 094 095 096 097 098 098 100 BUKU II. 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 198 100
Bukanterusan ataupun lanjutan API di BUKIT MENOREH. BUMBUNG 2. W aktu terasa merambat tak terasa dan hari yang telah di tentukan telah tiba, pagi itu Ki Gede Monoreh telah meminta Ki Jayaraga datang ke rumahnya. Sementara itu, Agung Sedayu telah berada di sanggar bersama Glagah Putih. Terusan Api Dibukit Menoreh Jilid 415 Bag. 4 Popular Posts.
> Bagian 1 TANPA sadar Ki Demang menatap tajam ke arahnya sehingga dengan cepat orang itu menundukkan wajahnya. “Baiklah,” akhirnya Ki Demang tidak dapat mengelak lagi walaupun dengan berat hati, “Panggil Nyi Sekarwangi. Namun tolong sampaikan padanya bahwa tamu kita kali ini adalah Pangeran Pringgalaya, adik Panembahan Hanyakrawati penguasa Mataram.” “Baik Ki Demang,” jawab perangkat Kademangan yang berumur masih muda itu. Tanpa menunggu perintah untuk kedua kalinya, dengan cepat dia segera meninggalkan tempat itu. “Marilah kita membagi tugas” berkata Ki Demang kemudian, “Aku dan dua orang perangkat kademangan saja yang akan menghadap Pangeran Pringgalaya. Sedangkan selebihnya segera menghubungi para Niyaga agar pada saat jamuan makan malam nanti sudah ada gending-gending yang mengiringinya. Setelah itu aku harap semua perangkat Kademangan menemani aku di pendapa.” “Baik Ki Demang,” hampir serempak mereka menjawab. Demikianlah, pertemuan Ki Demang dengan para perangkatnya itu segera bubar. Ki Demang dengan ditemani dua orang segera menghadap Pangeran Pringgalaya di Banjar padukuhan induk kademangan. “Kami mohon maaf telah menyusahkan Ki Demang dan para penghuni Kademangan Ngadireja ini,” berkata Pangeran Pringgalaya sesampainya Ki Demang dan dua orang perangkatnya di pendapa banjar padukuhan induk kademangan. “Ampun Pangeran,” jawab Ki Demang sambil menghaturkan sembah, “Justru Hamba beserta seluruh penghuni kademangan Ngadireja ini lah yang bersyukur dengan kehadiran pasukan ini,” sejenak Ki Demang berhenti. Lanjutnya kemudian, “Dengan kehadiran pasukan Mataram ini, telah menumbuhkan kebanggaan serta tekad yang kuat dari seluruh penghuni Kademangan ini untuk mendukung tetap tegaknya panji-panji Mataram di seluruh tanah ini.” Pangeran Pringgalaya tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Katanya kemudian, “Semoga kehadiran kami ini juga akan menumbuhkan semangat bagi para pemuda Kademangan Ngadireja untuk mengabdikan diri mereka kepada Mataram melalui jalur keprajuritan.” “Hamba, Pangeran,” sahut Ki Demang dengan cepat sambil membungkukkan badannya dalam-dalam. Sejenak kemudian, sebelum jamuan makan malam benar-benar diselenggarakan, beberapa Niyaga telah hadir. Setelah menghaturkan sembah terlebih dahulu kepada Pangeran Mataram itu, mereka segera menempati tempat masing-masing. Untuk beberapa saat para Niyaga itu masih mengatur tata letak gamelan itu agar dapat menghasilkan suara yang indah. Ketika Nyi Sekarwangi kemudian telah hadir di tempat itu pula, suara gamelan yang ngelangut ditingkah suara Sinden yang mendayu-dayu segera saja memenuhi tempat itu. Pangeran Pringgalaya duduk di tengah tengah pendapa di apit oleh para senapatinya menghadap ke arah gamelan. Agak jauh di sebelah kiri duduk Ki Demang beserta seluruh perangkat Kademangan. Sementara beberapa perwira pemimpin setiap pasukan yang diundang pada jamuan makan malam itu duduk berjajar-jajar memenuhi bagian belakang pendapa banjar padukuhan induk kademangan yang cukup luas. Sedangkan para prajurit yang telah mendapatkan jatah ransum makan malam lebih memilih untuk beristirahat di rumah-rumah di sekitar banjar yang dikosongkan. Sebagian lain telah ditampung di banjar-banjar padukuhan kecil di sekitar padukuhan induk. Hanya sebagian kecil saja yang ingin menonton dan berbaur dengan penghuni Kademangan Ngadireja yang tumpah ruah memenuhi halaman banjar, bahkan sampai ke jalan-jalan. Ketika persiapan dirasa sudah cukup, Nyi Demang yang mengatur jalannya jamuan makan malam itu segera memerintahkan para pemuda dan gadis-gadis untuk menghidangkan makanan dan minuman yang terbaik yang ada di kademangan itu. Gadis-gadis dan para pemuda itu telah mendapat pengarahan khusus langsung dari seorang Lurah prajurit yang masih cukup muda tentang tata cara dan suba sita dalam menghidangkan jamuan makan, khususnya kepada Pangeran Pringgalaya yang merupakan adik Panembahan Hanyakrawati, penguasa Mataram. “Begitu kalian menaiki tlundak pendapa yang terakhir, kalian sudah harus dalam keadaan berjongkok. Para pemuda yang membawa nampan tidak usah menyembah, cukup dengan menundukkan kepala dalam-dalam. Sementara para gadis harus melakukan sembah terlebih dahulu sebelum berjalan jongkok mendekat ke arah Pangeran Pringgalaya.” “Apakah kami harus menyembah lagi sebelum menghidangkan jamuan ke hadapan Pangeran?” bertanya seorang gadis yang berwajah manis dengan tahi lalat di ujung bibir sebelah kiri. Lurah prajurit itu sejenak terdiam. Dipandanginya wajah gadis manis dengan tahi lalat di ujung bibir sebelah kiri itu dengan pandangan sedikit liar. Namun begitu disadarinya gadis itu menjadi tertuduk malu, segera saja dilemparkan pandangan matanya ke arah lain sambil berkata, “O, tentu, tentu. Kalian para gadis harus menyembah terlebih dahulu sebelum menghidangkan makanan. Demikan juga ketika kalian telah selesai, kalian harus menyembah lagi sebelum meninggalkan tempat.” “Termasuk kami?” tiba-tiba seorang pemuda memotong. Lurah prajurit itu berpaling. Ketika dilihatnya pemuda yang bertanya itu tiba-tiba saja wajahnya menjadi sedikit pucat, cepat-cepat Lurah prajurit itu pun menjawab sambil tersenyum, “Ya, termasuk kalian para pemuda yang membawa nampan. Setelah nampan kalian kosong, kalian harus melakukan sembah sebelum meninggalkan tempat.” Anak-anak muda yang berada di sekeliling Lurah pajurit itu pun serentak mengangguk anggukan kepala mereka. Dalam pada itu, rombongan berkuda yang membawa Pangeran Jayaraga telah memasuki bulak panjang yang langsung terhubung dengan Kademangan Sangkal Putung. Mereka sengaja tidak memacu kuda-kuda itu dengan cepat agar tidak menimbulkan kesalah-pahaman dengan para penghuni padukuhan yang akan mereka lewati. Namun demikian, tetap saja suara gemuruh derap langkah kuda-kuda di atas tanah berbatu-batu itu telah menggema dan memantul di lereng-lereng bukit sehingga membangunkan para peronda yang baru saja mulai meringkuk berselimutkan kain panjang di gardu-gardu padukuhan. Sedangkan para peronda yang belum tidur dan sedang mencoba mencegah kantuk mereka dengan bermain mul-mulan, sejenak telah menghentikan permainan mereka. “Suara apakah itu, Kakang?” bertanya seorang peronda yang berkulit sedikit gelap. Kawannya yang ditanya untuk beberapa saat tidak menjawab. Hanya kerut-merut di dahinya saja yang tampak semakin dalam. Suara itu memang masih sangat jauh, namun suasana malam yang sepi serta gema dari suara gemeretak kaki-kaki kuda di atas tanah berbatu-batu yang terpantul dari lereng-lereng bukit telah menciptakan bunyi yang aneh dan tidak wajar. “Sepertinya bunyi rombongan orang berkuda,” berkata orang yang dipanggil kakang itu setelah mencoba mempertajam pendengarannya. “Rombongan orang berkuda?” peronda yang berkulit agak gelap itu mengulang dengan wajah yang berubah tegang. Tanpa disadarinya dia berpaling ke arah gardu. Tampak kedua temannya yang baru saja meringkuk berselimutkan kain panjang itu telah menggeliat bangun. “He?” salah satu peronda yang baru bangun itu tersentak bangkit, “Rombongan orang berkuda? Malam-malam begini?” “Kalau pendengaranku tidak salah,” sahut peronda yang dipanggil kakang itu. Segera saja rasa kantuk yang masih bergelayut di pelupuk mata mereka lenyap seketika. Dengan cepat kedua peronda yang berada di dalam gardu itu pun meloncat turun. “Coba kalian dengarkan dengan seksama,” berkata peronda yang tertua, “Kedengarannya seperti rombongan orang-orang berkuda dalam jumlah yang cukup banyak.” “Ya, kakang,” jawab salah satu dari mereka, “Namun sepertinya mereka berkuda dengan kecepatan yang wajar, bahkan cenderung pelan. Semoga saja itu sebagai pertanda bahwa mereka adalah golongan orang-orang yang tidak senang membuat keonaran.” Kawan-kawannya yang lain tampak mengangguk-anggukkan kepala. Mereka sependapat dengan kata-kata kawannya itu. Jika mereka adalah segerombolan penyamun atau perampok yang akan membuat kerusuhan, tentu mereka telah memacu kuda-kuda itu dengan kasar dan liar sambil berteriak-teriak untuk menakut-nakuti penghuni padukuhan yang akan mereka rampok. Namun bagaimana pun juga, para peronda yang mempunyai tanggung jawab untuk menjaga keamanan di padukuhan itu, tetap saja tidak berani meninggalkan kewaspadaan. “Pergilah ke gardu padukuhan induk,” perintah peronda yang di panggil kakang itu kemudian kepada peronda yang berkulit agak gelap, “Mereka tentu juga telah mendengar suara itu. Beri tahu bahwa kita di sini akan mencoba menahan mereka dan menanyakan apa keperluan mereka? Jika memungkinkan perkuat penjagaan gerbang padukuhan induk, tetapi jangan memukul tanda bahaya. Kita belum tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Sebaiknya kita jangan membuat para penghuni Kademangan Sangkal Putung menjadi gelisah.” “Baik, Kakang,” jawab peronda berkulit gelap itu sambil menyangkutkan pedangnya di lambung. Setelah membenahi pakaiannya terlebih dahulu, dengan tergesa-gesa dia segera melangkah menyusuri lorong-lorong padukuhan menuju ke padukuhan induk. Namun, sebenarnyalah beberapa penghuni padukuhan kecil itu telah terbangun oleh suara gemeretak kaki-kaki kuda yang semakin lama semakin keras dan menghentak-hentak jantung. Beberapa kanak-kanak mulai ketakutan dan bersembunyi dalam dekapan biyung-biyung mereka. Sementara bayi-bayi yang baru berumur beberapa bulan justru tetap tidur lelap dalam buaian dinginnya malam. Naluri mereka yang masih sangat peka justru telah mengisyaratkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang perlu dikawatirkan sehubungan dengan suara derap kaki-kaki kuda itu. “Kakang akan kemana?” seorang ibu muda terkejut mendapati suaminya telah berdiri di dekat amben bambu tempat dia dan bayinya yang baru berumur sebulan tidur. “Aku akan ke gardu sebentar,” jawab suaminya sambil menyelipkan sebilah golok di ikat pinggangnya, “Engkau mendengar suara gemuruh kaki-kaki kuda itu?” “Ya, Kakang,” jawab istrinya dengan wajah sedikit pucat dan bibir gemetar, “Jangan pergi, Kakang. Bukankah sekarang ini bukan giliran kakang untuk meronda?” Sejenak laki-laki muda itu menatap bayinya yang sedang tidur dengan lelapnya di atas amben bambu berselimut kain panjang yang usang. Sambil menarik nafas dalam-dalam, akhirnya laki-laki muda itu pun berkata lirih, “Malam ini memang bukan giliranku jaga. Namun tidak ada salahnya jika aku menengok sebentar gardu penjagaan di regol padukuhan. Mungkin tenagaku diperlukan di sana.” “Tapi Kakang,” istrinya mulai merengek sambil bangkit dan memeluk erat suaminya, “Aku takut.” Laki-laki muda itu untuk beberapa saat hanya berdiri termangu-mangu. tidak tahu harus berbuat apa. Hatinya menjadi sedikit bimbang. Sebagai salah seorang pengawal padukuhan, hatinya merasa terpanggil untuk ikut menjaga keamanan padukuhannya, walaupun sekarang ini dia sedang lepas tugas. “Duduklah,” berkata laki-laki muda itu kemudian sambil mendorong perlahan pundak istrinya agar duduk, “Aku tidak akan pergi untuk berperang. Aku hanya menengok sebentar keadaan di luar sana. Siapa tahu orang-orang berkuda itu adalah kawan-kawan kita para pengawal Sangkal Putung yang baru kembali dari Panaraga.” Mendengar kata-kata suaminya, perempuan muda itu pun sejenak tertegun. Dilepaskan pelukannya pada suaminya. Sambil membetulkan letak duduknya, dia pun kemudian berkata, “Mungkin kakang, mungkin mereka adalah para pengawal yang pulang dari Panaraga. Kedengarannya mereka tidak berpacu dengan tergesa-gesa. Bahkan terdengar mereka seperti sedang bertamasya” Suaminya tersenyum sambil menarik nafas dalam-dalam. Entah mengapa tiba-tiba saja dalam benaknya tadi telah terlintas kawan-kawannya yang sedang melawat ke Panaraga bergabung dengan pasukan Mataram. “Sudahlah,” katanya kemudian kepada istrinya, “Tidurlah kembali. Aku akan ke gardu sebentar. Selaraklah pintu dari dalam. Mungkin aku nanti pulang menjelang ayam berkokok terakhir kalinya.” Istrinya tidak menjawab hanya menganggukkan kepalanya. Diikuti langkah suaminya menuju ke pintu depan. Setelah bayangan suaminya hilang di balik pintu regol halaman, barulah dia menyelarak pintu rumahnya dan kembali berbaring di sisi anaknya yang tetap tidur dengan pulasnya. Dalam pada itu, Ki Tumenggung Purbarana yang memimpin rombongan berkuda itu telah melihat sesuatu yang mencurigakan beberapa ratus tombak di depan. “Mungkin hanya seorang petani yang sedang menengok sawahnya,” berkata Ki Tumenggung dalam hati. Beberapa orang dalam rombongan itu pun telah melihat seseorang yang tampak sedang menyusuri tanggul di sebelah kiri bulak. Dalam keremangan malam, tampak sebuah caping bambu yang butut bertengger di atas kepalanya dan sebuah cangkul di pundaknya. “Hanya seorang petani,” demikian hampir setiap orang yang berada dalam rombongan itu mengambil kesimpulan. Untuk beberapa saat orang tua itu kembali termenung. Sejenak ingatannya kembali ke beberapa bulan yang lalu ketika dia bertemu dengan Senapati Agul-Agulnya Mataram, Ki Rangga Agung Sedayu, di lereng Gunung Bayangkaki sebelah barat. “Sebelum pecah perang antara Mataram dan Panaraga, aku sudah berjanji kepada Ki Rangga Agung Sedayu untuk tidak terlibat dalam pertikaian itu,” berkata orang tua itu kemudian, “Demikian juga Ki Rangga juga telah berjanji tidak akan melibatkan diri. Dan janji kami berdua itu telah kami pegang sepenuh hati sampai sekarang ini.” “Tapi sekarang perang Panaraga telah berakhir, Guru,” potong Teja Wulung dengan serta merta, “Tidak ada kewajiban lagi bagi Guru untuk memegang janji itu.” “Engkau memang benar bahwa perang Panaraga telah selesai. Tetapi apa yang akan engkau lakukan ini masih ada hubungannya,” orang tua itu berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Tidak Teja Wulung. Aku tetap pada pendirianku. Aku hadir di sini atas permintaan ibundamu untuk mengajakmu kembali ke Kademangan Cepaga.” Begitu nama ibundanya disebut, terasa sesuatu telah menghujam jantungnya. Namun dengan cepat perasaan itu segera dibuangnya jauh-jauh. “Guru, aku tidak akan pulang ke Kademangan Cepaga kecuali hanya untuk memboyong ibunda ke istana Mataram, selain itu tidak. Bagiku hanya ada dua pilihan, mukti atau mati.” “Bagaimana kalau engkau tidak mukti tetapi juga tidak mati? Seperti keadaanmu sekarang ini misalnya?” “Aku akan terus berjuang sampai cita-citaku berhasil, atau sekalian aku tidak akan pernah melihat lagi terbitnya matahari di ufuk timur.” Orang tua itu hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya menghadapi kekerasan hati Teja Wulung. “Nah, jika Guru tidak ingin terlibat, silahkan duduk saja dan menonton apa yang akan terjadi nanti,” berkata Teja Wulung kemudian, “Kami akan mencegat rombongan yang membawa Pangeran Jayaraga itu di Lemah Cengkar, di padang rumput yang luas dan terdapat pohon beringin raksasa yang dipercaya banyak orang ada siluman harimau putihnya.” Orang tua itu tidak menjawab. Hanya sepasang matanya yang hitam kelam itu tampak sedikit berkaca-kaca. Bagaimana pun juga Teja Wulung itu sudah dianggap seperti cucunya sendiri. Rara Ambarasari atau ketika masih gadis lebih dikenal dengan nama Endang Mintarsih, satu-satunya endang yang ada di Padepokan Selagilang, telah diakui sebagai anaknya sendiri, jauh sebelum padepokan mereka kedatangan seorang pemuda yang mengaku bernama Jaka Suta dan Pamannya. Sejenak kemudian Teja Wulung segera memanggil para pemimpin kelompok untuk mendekat. “Apakah kalian menempatkan telik sandi di tikungan yang menuju ke arah Kaliasat?” bertanya Teja Wulung kemudian. “Hamba, Pangeran,” jawab orang yang rambutnya sudah ubanan, “Kami menempatkan telik sandi di tikungan arah Kaliasat, agar kita dapat mengetahui arah yang mereka tuju setelah lepas dari Kademangan Sangkal Putung.” “Kemungkinan mereka melalui Kaliasat memang kecil,” berkata pemimpin kelompok yang lain menimpali, “Mereka tentu memilih jalur yang lurus melalui Lemah Cengkar yang langsung menuju Jati Anom, dari pada belok kiri lewat Kaliasat. Jika mereka memilih Kaliasat, mereka harus melalui bulak dowo sebelum mencapai Dukuh Pakuwon. Kemudian mereka masih harus menyusur lewat pinggir Hutan Macanan ini. Aku yakin mereka tentu mempunyai perhitungan bahwa kita akan mencegat mereka di hutan ini sehingga jalur ini harus dihindari.” “Kalian benar,” Teja Wulung atau yang lebih dikenal di kalangan pengikutnya itu sebagai Pangeran Ranapati memotong, “Aku yakin mereka memilih jalur Lemah Cengkar. Kita akan bersembunyi di antara lebatnya ilalang yang tumbuh setinggi pinggang orang dewasa itu. Mereka pasti tidak menyangka bahwa kita akan mencegat justru di tempat terbuka, padang rumput Lemah Cengkar.” “Hamba Pangeran,” hampir serempak para pemimpin kelompok itu menjawab. “Nah sekarang atur lah orang-orangmu. Bawa mereka ke padang rumput Lemah Cengkar. Kita masih punya cukup waktu untuk mencapai Lemah Cengkar sebelum tengah malam. Usahakan kalian bersembunyi agak jauh dari pohon beringin raksasa itu?” Para pemimpin kelompok itu saling pandang. Mereka tidak mengerti maksud Pangeran Ranapati. Namun agaknya Pangeran Ranapati mengerti jalan pikiran mereka. Maka katanya kemudian, “Bukan berarti aku percaya adanya macan putih siluman penghuni pohon beringin raksasa itu. Namun menurut perhitunganku, pasukan berkuda itu tidak akan lewat tepat di bawah pohon, mereka akan memilih tempat yang lebih lapang untuk pasukan mereka.” Para pemimpin kelompok itu sekarang mengangguk-anggukkan kepala, pertanda bahwa mereka telah mengerti perhitungan pangeran Ranapati. Sekembalinya para pemimpin kelompok itu ke tempat anak buah mereka, pangeran Ranapati pun segera berkemas. Ketika dia kemudian berpaling ke arah Gurunya yang duduk di bawah pohon, tampak orang tua itu telah berdiri dan berjalan ke arahnya. “Teja Wulung,” berkata orang tua itu kemudian sesampainya dia di hadapan muridnya, “Apakah ada gunanya engkau mencoba merebut Pangeran Jayaraga dari tangan pasukan Mataram yang mengawalnya? Jayaraga sudah menyerah dan Kadipaten Panaraga telah jatuh. Untuk apa engkau melakukan semua ini?” “Guru,” jawab Pangeran Ranapati sambil menegakkan tubuhnya, “Aku memerlukan Adimas Jayaraga untuk memperkuat kedudukanku. Orang-orang masih meragukan kedudukanku sebagai seorang Pangeran. Aku memerlukan Adimas Jayaraga untuk merebut simpati para kawula Mataram. Adimas Jayaraga akan aku bujuk untuk kembali memberontak kepada Mataram. Dengan landasan beberapa kadipaten di Bang Wetan yang belum tunduk kepada Mataram, kami akan menghancurkan Mataram.” Orang tua itu mengerutkan keningnya sejenak. Tanyanya kemudian dengan sedikit ragu-ragu, “Kadipaten Surabaya maksudmu?” Pangeran Ranapati mengangguk. Jawabnya kemudian, “Selain Surabaya, aku juga telah membuat hubungan dengan Pasuruan dan Gresik.” Tiba-tiba wajah orang itu menegang sejenak. Namun dengan cepat kesan itu segera terhapus dari wajahnya. Tanyanya kemudian sambil lalu, seolah olah bukan sebuah pertanyaan yang penting, “Apakah engkau juga telah membuat hubungan dengan orang-orang asing yang berada di Gresik?” Sejenak Pangeran Ranapati terdiam. Namun jawabnya kemudian, “Aku belum mempunyai kepentingan dengan mereka, Guru. Keberadaan orang-orang asing itu di tanah kita ini hanya sekedar berdagang, sehingga aku tidak dapat berharap lebih dari mereka.” Orang tua itu pun kemudian tidak berkata-kata lagi. Diikutinya saja langkah muridnya berjalan bersama para pengikutnya keluar dari hutan Macanan menuju ke Lemah Cengkar. Dalam pada itu, di kediaman Ki Gede Menoreh, di bilik belakang dekat dapur, tampak Anjani sedang duduk di sebuah dingklik kayu dekat sebuah amben besar. Beberapa perempuan tampak mengerumuninya, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Rara Wulan serta tak ketinggalan Damarpati. “Mengapa engkau pergi begitu saja Anjani?” bertanya Sekar Mirah yang duduk di bibir pembaringan sambil menggenggam kedua tangan Anjani, “Kami semua di sini sangat mengkawatirkan kesehatanmu. Bukan kah engkau masih belum sembuh benar dari luka dalammu?” Sejenak Anjani menarik nafas dalam-dalam. Berbagai penyesalan menyelusup ke dalam dadanya. Betapa perhatian yang sangat ditunjukkan oleh Sekar Mirah, istri dari laki-laki yang selama ini secara diam-diam selalu dirindukan dan didambakannya. “Maafkan aku mbokayu,” hanya kata-kata itu yang terdengar lirih dan tersendat dari bibir mungil Anjani. Ditundukkan kepalanya dalam-dalam tanpa berani menentang pandang mata Sekar Mirah. Namun justru karena itulah tanpa disadarinya, setetes demi setetes air mata telah jatuh di pangkuannya. “Sudahlah Anjani,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil menggenggam kedua tangan Anjani lebih erat lagi, “Kami semua bisa memaklumi suasana hatimu saat itu. Mungkin engkau merasa malu menjadi beban keluarga Menoreh,” Sekar Mirah berhenti sejenak. Sambil tersenyum dan mengusap air mata di pipi Anjani dengan tangan kanannya, dia melanjutkan, “Kami sama sekali tidak keberatan engkau tinggal di sini. Engkau telah kami anggap sebagai keluarga sendiri.” “Keluarga sendiri?” desah Anjani dalam hati sambil mencoba dengan perlahan melepaskan tangannya dari genggaman Sekar Mirah, “Haruskah aku menerima kenyataan ini tanpa berusaha mendapatkan yang lebih baik?” kembali hati kecilnya menjerit. Dengan susah payah dicobanya untuk mengusap air mata yang semakin deras mengalir di kedua pipinya yang ranum kemerah-merahan. Berbagai tanggapan bergejolak di dalam hatinya. Haruskah perjuangannya selama ini dalam meraih kebahagiaan dan masa depan yang lebih cerah harus berakhir dalam kehampaan? Jika dia hanya hidup di lingkungan keluarga Ki Rangga tanpa kejelasan akan nasibnya, apakah hatinya yang sangat rapuh itu akan dapat bertahan? Alangkah dahsyatnya segala benturan dan hentakan yang akan mendera hatinya nanti. Dia akan melihat orang yang sangat dicintainya itu selalu berada di dekatnya, namun sesungguhnya sangat jauh dalam jangkauan dan rengkuhan cintanya. “Sudahlah,” berkata Pandan Wangi yang juga duduk di bibir pembaringan di sebelah kiri Sekar Mirah membuyarkan lamunan Anjani, “Malam sudah mendekati sepi uwong. Sebaiknya kita segera beristirahat.” Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam sambil berpaling ke arah Pandan Wangi. Katanya kemudian, “Mbokayu benar. Sebaiknya kita segera beristirahat. Besuk masih banyak yang harus kita kerjakan.” Tanpa sadar Anjani mengangkat wajahnya. Namun begitu pandangan matanya tertumbuk pada seraut wajah yang cantik tapi tampak selalu murung, dengan segera ditundukkan kembali wajahnya. “Anjani,” tiba-tiba terdengar suara Pandan Wangi yang bagaikan guruh meledak di dekat teinganya, “Engkau dapat beristirahat di bilikku. Biarlah Damarpati mengawanimu jika engkau tidak berkeberatan sekedar sebagai teman berbincang.” “Mbokayu sendiri akan tidur di mana?” kata-kata itu tiba-tiba saja terlontar begitu saja dari bibir Sekar Mirah. “Aku akan tidur di bilik ini menemanimu, Sekar Mirah. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan,” jawab Pandan Wangi sambil menatap tajam ke arah Anjani. Namun Anjani ternyata sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya. Sejenak suasana menjadi sepi. Masing-masing sedang terhanyut dalam buaian lamunan yang mengasyikkan. Sementara Anjani justru menjadi sangat gelisah mendengar ucapan Pandan Wangi. “Apakah Nyi Pandan Wangi akan mengungkapkan hubunganku dengan kakang Agung Sedayu,” desah Anjani dalam hati, “Sebaiknya, aku sendiri saja yang berterus terang kepada mbokayu Sekar Mirah agar jangan terjadi salah paham. Jika Nyi Pandan Wangi yang bercerita, mungkin mbokayu Sekar Mirah akan mempunyai tanggapan yang berbeda. Mungkin mbokayu akan menyangka ternyata selama ini Kakang Agung Sedayu tidak jujur terhadap dirinya. Bahkan mungkin mbokayu Sekar Mirah menyangka kakang Agung Sedayu telah menanggapi sikapku dan benar-benar menyangka telah terjalin hubungan diantara kami berdua.” Berpikir sampai disitu, dengan memberanikan diri akhirnya Anjani membuka suara, “Maafkan aku Nyi Pandan Wangi,” Anjani berhenti sebentar untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja menjadi sangat kering, “Bukan maksudku menolak kemurahan hati Nyi Pandan Wangi, namun sesungguhnya aku ingin menemani mbokayu Sekar Mirah di bilik ini. Banyak yang ingin aku ceritakan tentang kisah hidupku kepada mbokayu Sekar Mirah. Namun semua itu terserah mbokayu Sekar Mirah, apakah mbokayu bersedia menerima aku sekedar sebagai kawan berbincang yang mungkin akan sangat membosankan.” “Tidak, Anjani. Aku tidak berkeberatan,” justru Sekar Mirahlah yang dengan serta merta menjawab, “Kawani aku. Engkau dapat bercerita tentang kisah hidupmu yang tentu akan sangat menarik, dan aku siap untuk menjadi pendengar yang baik.” Orang-orang yang berada di dalam bilik itu tampak mengangguk-angguk. Hanya Pandan Wangi yang tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam. Namun setelah menarik nafas dalam-dalam, akhirnya dia pun berkata, “Terserah engkau Anjani. Kalau memang engkau lebih senang tidur bersama Sekar Mirah di bilik ini, tentu saja aku tidak bisa memaksa.” Terasa himpitan yang selama ini menekan dada Anjani perlahan mengendor. Dengan menyungging sebuah senyum kecil di sudut bibirnya, Anjani pun kemudian mengangkat wajahnya sambil berkata, “Sekali lagi aku mohon maaf, Nyi. Rasanya begitu deksura jika aku menggunakan bilik Nyi Pandan Wangi. Rasa-rasanya aku lebih nyaman berada di bilik ini sambil membantu mbokayu Sekar Mirah jika sewaktu-waktu bayinya terbangun dan rewel.” “Ah,” desah Sekar Mirah dengan serta merta, “Kalau bayiku rewel karena haus dan ingin minum? Apakah engkau juga mau membantuku, Anjani?” “Ah,” hampir bersamaan perempuan-perempuan yang berada di dalam bilik itu tertawa. Sedangkan Anjani hanya dapat menundukkan kepalanya dengan wajah yang sedikit bersemu merah. “Baiklah, aku mohon diri,” berkata Pandan Wangi kemudian sambil bangkit berdiri. Serentak mereka yang berada di dalam bilik itu pun ikut berdiri. “Selamat beristirahat, mbokayu,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil mengikuti langkah Pandan Wangi menuju pintu bilik diikuti oleh Anjani. Sedangkan Rara Wulan dan Damarpati yang selama ini hanya berdiam diri, dengan tergesa-gesa segera ikut mengantar putri satu-satunya penguasa Tanah Perdikan Menoreh itu ke pintu bilik. Sepeninggal Pandan Wangi, Rara Wulan segera minta diri untuk kembali ke biliknya. Sedangkan Damarpati yang biasanya menemani Sekar Mirah, telah memilih untuk tidur di bilik kakeknya, Kiai Sabda Dadi. Dalam pada itu di gandhok kiri, di bilik yang paling ujung, Ki Jayaraga tampak sedang duduk di atas sebuah lincak bambu yang terletak di teritisan. Di sebelahnya duduk dengan kepala tunduk cantrik Gatra Bumi. Sedangkan Glagah Putih tampak berdiri bersandaran pada salah satu tiang yang banyak berjajar-jajar di sepanjang teritisan. “Kemana saja engkau selama ini Sukra,” Ki Jayaraga membuka percakapan dengan nada yang dalam, “Semua orang mencemaskanmu. Engkau pergi begitu saja tanpa pamit kepada penghuni rumah Ki Rangga. Apakah memang engkau sudah tidak kerasan lagi tinggal bersama kami?” “Tidak, Ki. Bukan maksudku untuk membuat keluarga Ki Agung Sedayu resah,” dengan suara pelan cantrik Gatara Bumi atau yang lebih dikenal dengan nama Sukra itu menjawab, “Aku memang bersalah telah pergi tanpa pamit.” Glagah Putih mengerutkan keningnya mendengar jawaban Sukra. Tanpa disadarinya degup jantungnya berpacu menjadi sedikit lebih cepat. Rasa-rasanya yang duduk di sebelah Ki Jayaraga itu bukan Sukra yang dulu lagi. Sukra yang berada di hadapannya kini tampak sangat dewasa dan matang. Kalau dugaannya benar bahwa Sukra telah menjadi salah satu cantrik dari Kanjeng Sunan, tentu telah banyak mendapat bimbingan baik dalam olah kanuragan maupun olah batin. “Mungkin dia sekarang ini sudah menguasai sebuah ilmu yang ngedab-edabi,” berkata Glagah Putih dalam hati, “Menilik sikapnya yang tenang dan sedikit acuh dengan keadaan sekelilingnya, tentu dia telah mempunyai bekal yang lebih dari cukup sehingga tidak ada yang dapat menggetarkan jantungnya.” Berpikir sampai disini, tiba-tiba muncul sebuah keinginan untuk menjajagi sampai di mana tingkat kemampuan anak yang dulunya hampir setiap malam turun ke sungai untuk memasang rumpon itu. “Sukra,” berkata Glagah Putih kemudian setelah sejenak mereka terdiam, “Apakah engkau masih mengingat latihan-latihan olah kanuragan yang sering kita lakukan bersama dahulu? Jika ada waktu dan engkau tidak berkeberatan, ada baiknya kita berlatih bersama kembali sekedar untuk melemaskan otot dan mengingat pelajaran yang pernah diberikan oleh Ki Jayaraga.” Namun jawaban Sukra sungguh diluar dugaan. Dengan menggeleng lemah sambil tersenyum, dia menjawab, “Maaf kakang Glagah Putih. Aku sudah melupakan segala macam ilmu olah kanuragan dan guna kasantikan yang dapat membuat orang menjadi pilih tanding dan sakti mandraguna. Kanjeng Sunan telah mengajarkan kepadaku akan pentingnya memahami kehidupan ini. Memahami kewajiban kita sebagai hamba Yang Maha Agung yang telah menciptakan kita untuk menjadi penguasa di atas bumi ini. Yang Maha Agung telah menurunkan sebuah ilmu tentang kasampurnaning ngaurip melalui utusanNya. Ilmu yang lebih berharga dari segala macam ilmu kanuragan dan guna kasantikan sebagai bekal hidup kita kelak di alam kelanggengan.” Bagaikan disiram bayu sewindu, guru dan murid itu untuk beberapa saat telah membeku di tempat masing-masing. Mereka berdua sama sekali tidak menduga bahwa Sukra telah mempunyai pengetahuan dan keyakinan yang sedemikian kuatnya dalam menentukan jalan hidupnya, menilik umurnya yang masih tergolong sangat muda. Sejenak suasana menjadi sunyi. Masing-masing tenggelam dalam lamunan yang tak berujung pangkal. Sementara para pengawal di gardu perondan yang berada di ujung kelokan jalan dekat kediaman Ki Gede Menoreh telah memukul kentongan dengan nada dara muluk. “Tengah malam,” desis Ki Jayaraga tanpa sadar. Sementara Glagah Putih dan Sukra tidak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya kepala mereka yang terlihat terangguk-angguk. “Marilah,” berkata Ki Jayaraga kemudian, “Sudah waktunya kita beristirahat. Besuk aku dan Glagah Putih akan menempuh perjalanan yang cukup panjang,” Ki Jayaraga berhenti sejenak. Kemudian sambil berpaling ke arah Sukra yang duduk di sebelahnya, dia bertanya, “Sukra, apakah engkau akan tinggal di Menoreh lagi, ataukah akan mengikuti Kanjeng Sunan kembali ke gunung Muria?” “Kedua-duanya tidak, Ki” sahut Sukra dengan serta merta sambil menggelengkan kepalanya, “Beberapa hari yang lalu aku diperintahkan oleh Kanjeng Sunan untuk menemani Ki Ajar Mintaraga di hutan sebelah timur pebukitan Menoreh. Namun karena sesuatu hal, kami berpisah. Ki Ajar kembali ke pertapaan Mintaraga dan aku disuruh mengikuti Kanjeng Sunan Ke Menoreh,” Sukra berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Aku sudah memohon ijin kepada Kanjeng Sunan untuk tinggal barang sehari dua hari di sini. Setelah itu aku akan kembali ke pertapaan Mintaraga di pebukitan Menoreh.” Hampir bersamaan Ki Jayaraga dan Glagah Putih mengerutkan kening. Nama Ki Ajar Mintaraga itu terasa masih asing di telinga mereka berdua. “Siapakah Ki Ajar Mintaraga itu?” bertanya Glagah Putih kemudian. Untuk sejenak Sukra tidak segera menjawab pertanyaan Glagah Putih. Setelah menarik nafas panjang terlebih dahulu, barulah Sukra menjawab, “Ki Ajar Mintaraga adalah salah seorang santri dari Kanjeng Sunan. Menurut cerita yang pernah aku dengar dari para santri di gunung Muria, Ki Ajar Mintaraga menjadi santri Kanjeng Sunan di usia yang sudah sangat sepuh. Walaupun demikian, hubungan keduanya bagaikan hubungan antara sahabat, bukan antara guru dan murid.” Ki Jayaraga dan Glagah Putih mengangguk-anggukkan kepala mereka walaupun keterangan Sukra itu masih belum menjelaskan jati diri Ki Ajar Mintaraga yang sebenarnya. Namun sedikit banyak mereka berdua telah mendapat gambaran tentang diri orang tua itu. “Apakah engkau mempunyai kepentingan yang mendesak di Menoreh ini, Sukra?” bertanya Ki Jayaraga kemudian. “Ya, Ki,” jawab Sukra, “Aku ingin menemui Ki Agung Sedayu untuk suatu keperluan.” “Apakah keperluanmu itu?” hampir saja pertanyaan itu terloncat dari mulut Glagah Putih. Namun Glagah Putih segera menyadari bahwa tidak sepantasnya lah bagi dirinya untuk menanyakan hal itu. Sukra yang sekarang berada di hadapannya itu, bukanlah Sukra beberapa waktu yang lalu. “Sudahlah, malam sudah cukup larut. Sebaiknya kita segera beristirahat,” berkata Ki Jayaraga kemudian sambil bangkit dari tempat duduknya. “Engkau akan tidur di mana Sukra?” bertanya Glagah Putih begitu melihat Sukra ikut beranjak dari tempat duduknya. “Jika diijinkan, aku akan bermalam di rumah Ki Agung Sedayu.” Sejenak Ki Jayaraga dan Glagah Putih saling berpandangan. Ki Jayaraga lah yang kemudian menyahut, “Rumah Ki Rangga Agung Sedayu sudah lama dikosongkan. Sekali-kali saja aku menengok keadaannya. Namun jika engkau mau bermalam di sana, silahkan saja. Seperti biasa engkau dapat masuk melalui pintu dapur. Pengait selarak pintu dapur aku selipkan di atas teritisan depan pintu dapur.” “Terima kasih, Ki,” jawab Sukra kemudian sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Demikianlah, sejenak kemudian mereka segera berpisah. Ki Jayaraga segera masuk ke dalam biliknya, sedangkan Glagah Putih menuju ke bilik istrinya. Sementara Sukra telah turun ke halaman rumah Ki Gede yang luas untuk kemudian keluar melalui regol depan dan berjalan menyusuri lorong-lorong yang gelap dan sunyi menuju ke rumah Ki Rangga Agung Sedayu. Dalam pada itu, di bilik Sekar Mirah, Anjani terlihat sangat gelisah. Dicobanya untuk menghilangkan kegelisahan itu dengan membetulkan letak selimut Bagus Sadewa yang sedikit tersingkap. Sambil membungkukkan badan, diciumnya pipi bayi Sekar Mirah yang terlihat sangat menggemaskan itu. “Sudahlah Anjani,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil tersenyum, “Malam sudah cukup larut, bagaimana jika ceritamu itu ditunda sampai besuk saja?” Anjani menarik nafas panjang sambil berpaling ke arah Sekar Mirah yang duduk di ujung pembaringan. Ada sedikit keraguan yang terselip di sudut hatinya. Namun kesempatan untuk berdua saja dengan istri Ki Rangga Agung Sedayu itu belum tentu datang untuk kedua kalinya. Maka dengan memberanikan diri, dia pun akhirnya menjawab, “Aku belum mengantuk, mbokayu. Namun jika mbokayu yang sudah mengantuk, aku tidak akan memaksa mbokayu untuk mendengarkan ceritaku yang tentu akan sangat membosankan.” “Ah! Ada-ada saja engkau ini, Anjani,” sahut Sekar Mirah sambil menarik lengan Anjani yang masih berdiri di dekat pembaringan dan membawanya duduk di sebelahnya, “Bercerita lah! Aku akan menjadi pendengar yang baik.” Untuk beberapa saat lidah Anjani justru menjadi kelu. Bibir yang mungil kemerahan itu terkatup rapat. Sementara degup jantungnya semakin lama menjadi semakin cepat seiring dengan nafasnya yang ikut memburu. Sekar Mirah yang melihat perubahan itu mengerutkan keningnya. Dengan perlahan diguncangkannya pundak Anjani sambil tertawa kecil, “He! Apa yang sedang terjadi padamu, Anjani? Sepertinya engkau sedang melihat hantu.” Anjani mencoba tersenyum menanggapi gurauan Sekar Mirah, betapapun pahitnya. Dicobanya untuk menarik nafas dalam-dalam, namun tetap saja jantungnya berpacu semakin cepat. bersambung ke bagian 2 Pages 1 2 3
SerialApi Di Bukit Menoreh, Buku I Jilid 2 pada tanggal April 02, 2022
Bagian 3 Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil menundukkan wajahnya. Berbagai pertimbangan telah tumpang tindih dan wor suh menjadi satu dalam benaknya. Sejenak suasana menjadi sunyi. Ketika terdengar lamat-lamat para peronda di gardu-gardu telah menabuh kentongan dengan nada dara muluk, Kanjeng Sunan dengan perlahan berdesis, “Sudahlah Ki Rangga. Engkau dapat mengesampingkan dahulu pertanyaanku tadi. Sekarang sudah ada tugas yang menunggu.” Terkejut Ki Rangga mendengar kata-kata Kanjeng Sunan sehingga tanpa sadar dia mengangkat wajahnya. Namun begitu menyadari Kanjeng Sunan sedang memandang ke arahnya, dengan cepat Ki Rangga segera menundukkan wajahnya. “Ampun Kanjeng Sunan,” berkata Ki Rangga kemudian sambil menyembah, “Tugas apakah yang harus hamba laksanakan?” Untuk beberapa saat Kanjeng Sunan tidak menjawab. Hanya terdengar helaan nafasnya yang panjang. Seolah-olah Wali yang waskita itu sedang gundah dengan segala polah tingkah manusia di atas bumi ini. “Ki Rangga,” akhirnya Kanjeng Sunan berkata perlahan, “Segala sesuatu yang terjadi di atas bumi ini sudah menjadi ketentuan Yang Maha Kuasa. Namun sebagai hambaNYA kita diijinkan untuk berdoa dan berusaha,” Kanjeng Sunan berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Pergilah ke Lemah Cengkar. Engkau pasti sudah tahu dimana tempat itu. Bantulah pasukan Mataram yang sedang mengalami kesulitan.” Bergetar dada Ki Rangga mendengar perintah Kanjeng Sunan. Dengan memberanikan diri, Ki Rangga pun segera mengajukan sebuah pertanyaan, “Ampun Kanjeng Sunan, Lemah Cengkar terletak di dekat Kademangan Jati Anom. Jarak Jati Anom dengan Tanah Perdikan Menoreh ini tidak lah dekat. Hamba mohon petunjuk Kanjeng Sunan.” Kanjeng Sunan tersenyum tipis mendengar pertanyaan Ki Rangga. Jawabnya kemudian, “Bukankah aku tadi sudah mengajarkan sebuah doa dari Kanjeng Nabi junjungan kita agar dalam menempuh sebuah perjalanan, kita diberi kemudahan oleh Yang Maha Agung?” “Hamba Kanjeng Sunan,” jawab Ki Rangga dengan serta merta, “Namun Kanjeng Sunan belum menjelaskan laku apakah yang harus hamba tempuh sebagai asok tukon dalam menguasai ilmu itu?” Senyum Kanjeng Sunan pun semakin lebar mendengar pertanyaan Ki Rangga. Jawab Kanjeng Sunan kemudian, “Apa yang diajarkan oleh Junjungan kita, sangatlah berbeda dengan apa yang selama ini Ki Rangga pelajari. Dalam mengamalkan sebuah doa, tidak dituntut untuk mengerjakan sebuah laku khusus. Justru laku yang harus kita tempuh adalah sepanjang hayat masih dikandung badan. Tingkah laku sepanjang hidup kita lah yang akan menentukan terkabul tidaknya sebuah permohonan.” Ki Rangga Agung Sedayu mengerutkan keningnya dalam-dalam. Sambil tetap menundukkan wajahnya, Ki Rangga kembali menyembah sambil berkata, “Mohon ampun Kanjeng Sunan, apakah syarat terkabulnya sebuah doa tergantung dari baik buruknya tingkah laku kita?” Kali ini Kanjeng Sunan tertawa kecil. Jawabnya kemudian, “Yang Maha Agung telah memberikan pilihan kepada hambaNYA. Dari arah manakah kita akan memohon pertolonganNYA? Jika kita menghendaki dapat merengkuh kebaikan di dunia ini maupun di alam kelanggengan nanti, tentu saja kita akan selalu berusaha menempuh jalan yang diridhoiNYA.” Sejenak Ki Rangga termangu-mangu. Nasehat Kanjeng Sunan sedikit banyak telah menambah wawasan dalam kawruh olah kebatinan di dalam dirinya. “Nah, Ki Rangga,” berkata Kanjeng Sunan kemudian, “Berangkatlah. Panjatkan lah doa dengan sepenuh niat hanya berpasrah diri kepadaNYa. Semoga Yang Maha Agung senantiasa memberi kita petunjuk dan bimbinganNYA.” “Hamba, Kanjeng Sunan,” jawab Ki Rangga sambil menyembah. Dengan perlahan Ki Rangga segera memutar tubuhnya menghadap Kiblat. Diangkatnya kedua tangan untuk memohon pertolongan dari penguasa jagad raya dan seisinya ini. Ketika Ki Rangga telah selesai memanjatkan doa, dengan perlahan dia menggeser duduknya menjauhi tempat duduk Kanjeng Sunan sebelum akhirnya Ki Rangga bangkit berdiri. Perlahan Ki Rangga menghadap ke arah pintu sanggar yang tertutup rapat. Ketika Ki Rangga kemudian melangkah mendekati pintu sanggar dengan langkah yang tampak sedikit ragu-ragu, terdengar Kanjeng Sunan berkata perlahan namun cukup menggetarkan jantung suami Sekar Mirah itu. “Jangan pernah ragu-ragu dalam mengerjakan suatu pekerjaan atas dasar niat yang ikhlas dan semata-mata mencari ridhloNYA. Sesungguhnya Tuhanmu tidak akan menolong hambaNYA yang hatinya selalu diliputi oleh keraguan.” Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas panjang mendengar nasehat Kanjeng Sunan. Hatinya yang sedikit ragu-ragu kembali menjadi tenang. Betapapun, Ki Rangga sudah terbiasa menjalani sebuah laku terlebih dahulu sebelum meraih keberhasilan dalam mempelajari sebuah ilmu. Namun yang terjadi sekarang ini adalah bagaikan dalam sebuah mimpi. Dirinya akan mengetrapkan sebuah doa yang aka dapat dijadikan sebagai sarana memohon pertolongan kepada Yang Maha Agung tanpa menjalani sebuah laku pun sebelumnya. “Aku harus yakin,” berkata Ki Rangga dalam hati, “Sekuat keyakinanku bahwa Yang Maha Agung itu benar adaNYA dan hanya melalui pertolonganNYa lah, seorang hamba mampu melaksanakan kewajiban yang dibebankan kepadanya.” Dengan tangan sedikit gemetar, Ki Rangga membuka selarak pintu sanggar. Begitu pintu sanggar itu mulai terbuka, angin malam yang dingin segera menampar wajahnya. Sementara pandang mata Ki Rangga hanya menangkap kegelapan yang pekat di luar sanggar. Sejenak hati Ki Rangga Agung Sedayu kembali diliputi sepercik keragu-raguan. Namun ketika tanpa sadar dia berpaling ke belakang, alangkah terkejutnya suami Sekar Mirah itu ketika pandangan matanya tidak melihat lagi Wali yang waskita itu duduk di tempatnya. “Hem,” desah Ki Rangga perlahan sambil kembali memandang ke luar sanggar. Kegelapan yang pekat benar-benar membuat Ki Rangga sedikit bimbang. Sudah dicobanya untuk menembus kegelapan itu dengan Aji Sapta Pandulu, namun seolah-olah sebuah tabir yang hitam pekat telah dibentangkan di depan matanya. Angin malam yang dingin terasa menusuk tulang dan membekukan darah. Namun Ki Rangga tidak akan mundur setapak pun. Dengan hati yang pasrah dan sepenuh keyakinan akan kekuasaan Yang Maha Agung, dia kembali membaca doa yang telah diajarkan oleh Kanjeng Sunan. Selangkah Ki Rangga maju. Ketika kegelapan ternyata masih saja menghadang di hadapannya, dia segera membulatkan tekadnya dan memutuskan untuk membuang jauh-jauh semua keragu-raguan itu. Dengan menyebut Asma Yang Maha Agung, Ki Rangga pun kemudian segera mempercepat langkahnya. Untuk beberapa saat Ki Rangga berjalan dalam kepekatan. Bagaikan di alam mimpi, Ki Rangga merasa seolah-olah berada di sebuah ruang tanpa batas. Hanya kegelapan yang tampak di sekelilingnya. Namun semua itu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba saja pendengaran Ki Rangga yang tajam lamat-lamat telah menangkap suara teriakan dan bentakan ditingkah oleh suara denting beradunya senjata. Semakin lama suara itu terdengar semakin riuh, dan akhirnya seiring dengan berkurangnya kegelapan yang mengurungnya, samar-samar dalam pandangan matanya tampak bayangan sebuah pohon raksasa yang menjulang di tengah padang. “Pohon beringin lemah cengkar,” tanpa sadar Ki Rangga Agung Sedayu berdesis. Tiba-tiba saja sebuah senyum kecil tersungging di bibirnya. Betapa tidak, pada masa mudanya Ki Rangga Agung Sedayu sama sekali tidak pernah berani melewati daerah itu. Bahkan ketika kakaknya Untara terluka dan dirawat oleh dukun tua di dukuh Pakuwon, dan dia harus menggantikan tugas kakaknya untuk pergi ke Sangkal Putung menemui Pamannya, Widura, dia lebih memilih lewat Kaliasat walaupun untuk mencapai Kaliasat dia harus melewai Hutan Macanan serta Bulak Dowo yang terkenal dengan genderuwo mata satunya. “Sebuah kenangan yang tak mungkin terlupakan seumur hidupku,” desis Ki Rangga dalam hati sambil terus melangkah. Dengan mengetrapkan kemampuannya dalam menyerap segala bunyi yang dapat ditimbulkan akibat sentuhan kehadirannya dengan alam sekitarnya, perlahan Ki Rangga Agung Sedayu melangkah semakin mendekati pohon beringin raksasa itu. ***** Dalam pada itu malam telah melewati puncaknya. Sekar Mirah yang telah selesai berbenah terkejut ketika pendengarannya yang tajam mendengar langkah-langkah mendekat. Sesaat kemudian terdengar sebuah ketukan perlahan di pintu bilik. “Siapa?” bertanya Sekar Mirah dengan suara perlahan namun cukup terdengar oleh orang yang berdiri di balik pintu bilik. “Aku mbok Gumbrek, Nyi,” terdengar sahutan perlahan dari balik pintu. “O, masuklah mbok,” jawab Sekar Mirah kemudian, “Ada apa malam-malam begini?” Mbok Gumbrek salah satu pembantu perempuan Ki Gede segera mendorong pintu bilik. Namun alangkah terkejutnya dia begitu pintu terbuka lebar, tampak Sekar Mirah telah berdiri tegak di dekat pembaringan Bagus Sadewa dengan pakaian khusus serta senjata yang mengerikan tergenggam di tangan kanannya. “Nyi..?” terdengar suara sendat dari mbok Gumbrek. Dengan langkah tertegun-tegun dia berjalan memasuki bilik. Sekar Mirah yang menyadari keadaannya segera mencoba mencairkan suasana dengan tersenyum lebar. Katanya kemudian, “Tidak ada masalah yang penting, mbok. Aku hanya sekedar ingin berlatih selangkah dua langkah dengan mbokayu Pandan Wangi di sanggar.” Mbok Gumbrek mengerutkan kening. Dengan nada sedikit ragu-ragu dia memberanikan diri bertanya, “Malam-malam begini?” Masih tetap dengan menyunggingkan sebuah senyuman, Sekar Mirah menjawab, “Ya mbok, apa salahnya? Aku mempunyai sedikit waktu luang hanya di saat tengah malam seperti ini. Di siang hari, aku tidak sempat meluangkan waktu sedikit pun untuk berlatih.” Sejenak mbok Gumbrek merenung. Pandangan matanya tiba-tiba saja tertuju pada Bagus Sadewa yang sedang tidur terlelap. “Aku tadi dibangunkan oleh Nyi Pandan Wangi,” berkata mbok Gumbrek kemudian, “Aku dimintai tolong untuk menjaga putra Nyi Sekar Mirah.” “Nah, bukankah benar kataku,” sahut Sekar Mirah, “Tolong jagalah Bagus Sadewa. Tentu mbokayu Pandan Wangi sudah menungguku di sanggar.” “Baik, Nyi,” jawab mbok Gumbrek kemudian sambil mengangguk dalam-dalam. Tanpa membuang waktu lagi, dengan langkah tergesa-gesa Sekar Mirah pun kemudian segera meninggalkan bilik. Ketika bayangan anak perempuan Ki Demang Sangkal Putung itu sudah hilang menuju ke pintu butulan, barulah dengan langkah satu-satu mbok Gumbrek mendekati pembaringan Bagus Sadewa. Untuk beberapa saat, perempuan tua itu merenungi anak Ki Rangga Agung Sedayu yang sedang tertidur lelap berselimutkan kain panjang. “Apakah sebenarnya yang sedang terjadi?” gumam mbok Gumbrek ditujukan dirinya sendiri. Sambil duduk di bibir pembaringan, dicobanya untuk merunut peristiwa demi peristiwa yang akhir-akhir ini melanda tanah Perdikan Menoreh. “Tadi sore menjelang Matahari terbenam Ki Gede mendapat kunjungan beberapa tamu,” berkata mbok Gumbrek dalam hati, “Kata orang-orang, salah satu tamu Ki Gede adalah priyagung yang sangat dihormati. Kawan-kawan di dapur mengatakan yang datang berkunjung adalah Kanjeng Sunan,” mbok Gumbrek berhenti sejenak. Sambil mencoba mengingat-ingat, dia meneruskan lamunannya, “Perempuan yang sangat cantik yang datang bersama Kanjeng Sunan itu seingatku pernah tinggal di sini beberapa saat yang lalu. Namun sekarang dia telah kembali lagi. Sedangkan anak muda yang satunya aku tidak begitu mengenalnya.” Untuk beberapa saat mbok Gumbrek hanya diam membeku sambil merenungi wajah Bagus Sadewa yang terlihat begitu tenang, setenang air belumbang di tengah hutan yang tak tersentuh oleh tangan manusia. Dalam pada itu Sekar Mirah yang telah keluar lewat pintu butulan segera menyusuri longkangan menuju ke halaman samping. Di belakang gandhok kiri itu lah terletak sebuah sanggar yang cukup luas untuk berlatih olah kanuragan. Ketika Sekar Mirah telah keluar dari pintu seketeng samping, beberapa puluh tombak di hadapannya berdiri sebuah bangunan yang sudah tidak asing lagi baginya, sanggar olah kanuragan. “Mengapa mbokayu Pandan Wangi membiarkan saja pintu sanggar itu terbuka lebar-lebar?” gumam Sekar Mirah sambil berjalan mendekati Sanggar, “Ataukah dengan sengaja mbokayu Pandan Wangi membiarkan pintu itu terbuka lebar agar aku tidak bercuriga jika ada sesuatu yang bersembunyi di balik pintu itu?” “Ah!” angan-angan itu ditepisnya sendiri, “Mbokayu Pandan Wangi bukan seorang yang curang dan berhati culas. Tidak mungkin jika dia bermaksud jahat kepadaku. Bukankah tadi dia sudah mengatakan bahwa semua yang telah terjadi itu baginya hanyalah sebuah kejadian masa lalu? Sungguh tidak sepantasnya aku berprasangka buruk kepadanya.” Tak terasa langkah Sekar Mirah hampir mencapai pintu sanggar. Sinar lampu dlupak yang kemerah-merahan segera saja menyambar seraut wajah paro baya namun terlihat masih cukup cantik itu. Pandangan mata Sekar Mirah pun dengan jelas segera melihat dua orang perempuan dalam pakaian khusus sedang berdiri berdampingan di tengah-tengah ruang sanggar. Sebuah desir tajam segera saja menggores jantungnya. Ayunan langkahnya pun menjadi terhenti dengan sendirinya. Berbagai dugaan dan kemungkinan telah bergejolak di dalam dadanya. “Mengapa mereka berdua justru telah berdiri berdampingan? Tidak berhadap-hadapan?” bertanya Sekar Mirah dalam hati disertai detak jantung yang berdentangan, “Apakah mereka berdua justru sedang menungguku? Menuntaskan dendam yang selama ini telah terpendam?” “Gila!” tiba-tiba saja tanpa sadar sebuah umpatan meluncur dari bibirnya dan membuat dirinya sendiri justru menjadi terkejut, “Permainan apakah sebenarnya yang sedang mereka berdua rencanakan?” Namun pada dasarnya puteri Demang Sangkal Putung itu adalah seorang perempuan yang keras hati dan sedikit tinggi hati. Dengan menghentakkan senjata yang tergenggam di tangan kanannya pada sebuah batu yang tergeletak selangkah di samping kanannya, dia pun melanjutkan langkahnya. “Persetan dengan semua itu!” geramnya. Dengan sebuah hentakan kecil saja, batu hitam sebesar induk ayam itu ternyata telah hancur berhamburan menjadi debu. “Rawe-rawe rantas, malang-malang putung! Sak dumuk bathuk sak nyari bumi, dak belani taker pati!” dengan langkah pasti Sekar Mirah pun kemudian segera menaiki tlundak Sanggar. ***** Dalam pada itu di tengah padang rumput Lemah Cengkar, pertempuran antara pasukan Mataram dengan para pengikut Pangeran Ranapati semakin lama menjadi semakin sengit. Ki Tumenggung Purbarana yang telah berhasil berhadap-hadapan langsung dengan orang yang menyebut dirinya sebagai Pangeran Ranapati telah mengalami tekanan yang diluar perhitungannya. “Gila!” geram Ki Tumenggung dalam hati, “Ternyata kesaktian orang yang mengaku trah Panembahan Senapati ini bukan sekedar omong kosong. Kemampuan orang ini diluar jangkauan ilmuku.” Namun sebagai seorang prajurit, tidak ada kata menyerah bagi Ki Tumenggung. Dihentakkan segenap kemampuannya dan dipasrahkan seluruh hidup matinya kepada Sang Maha Pencipta. Selangkah demi selangkah Ki Tumenggung mulai mundur dan hanya dapat mundur terus. Kekuatan pangeran Ranapati itu benar-benar tidak mampu dibendungnya. Beberapa kali sentuhan dari putra satu-satunya Rara Ambarasari itu telah membuat beberapa bagian tubuhnya memar dan lebam. Mereka berdua memang bertempur dengan tangan kosong. Namun kedua belah tangan mereka tak ubahnya senjata-senjata yang akan dapat membahayakan bagi lawannya. Sekilas pandangan mata Ki Tumenggung sempat melihat Pangeran Jayaraga yang hanya diam membeku di pinggir medan pertempuran. Pangeran adik Prabu Hanyakrawati itu tampak menundukkan wajahnya dalam-dalam tanpa menghiraukan hiruk pikuknya pertempuran. Beberapa saat tadi sebelum kedua pasukan itu berbenturan, Ki Tumenggung telah menugaskan dua orang prajurit untuk mengawalnya. Namun ternyata Pangeran Jayaraga justru telah menolaknya. “Lawan jumlahnya lebih banyak dari jumlah pasukanmu, Ki Tumenggung,” berkata Pangeran Jayaraga beberapa saat tadi, “Percayalah, aku tidak akan kemana-mana. Biarlah dua prajurit ini ikut bertempur. Engkau harus benar-benar memperhitungkan kekuatan lawanmu.” “Sendika Pangeran,” jawab Ki Tumenggung, “Kami mohon maaf tidak dapat melakukan pengawalan sebagaimana mestinya.” Pangeran Jayaraga tertawa pendek. Katanya kemudian, “Aku bukan lagi seorang Pangeran yang berhak mendapat pengawalan. Namun sekarang justru sebaliknya, aku adalah Pangeran pesakitan yang harus dikawal agar tidak melarikan diri atau pun membuat keonaran.” “Ah!” desah Ki Tumenggung sambil tersenyum masam. Katanya kemudian, “Kami mohon diri Pangeran. Agaknya lawan akan segera mulai melakukan penyerangan.” “Silahkan, Ki Tumenggung,” jawab pangeran Jayaraga kemudian singkat. Demikian lah, pertempuran di padang rumput lemah Cengkar itu pun kemudian berkobar semakin lama semakin dahsyat. Jumlah pengikut Pangeran Ranapati yang lebih banyak ternyata telah mempengaruhi keseimbangan pertempuran. Beberapa prajurit bahkan harus berhadapan dengan dua atau tiga lawan sekaligus. Semakin lama tekanan yang dialami para prajurit Mataram semakin berat. Namun dengan cerdik beberapa Lurah prajurit telah memimpin anak buahnya bertempur dalam kelompok-kelompok sehingga untuk sementara tekanan yang dialami prajurit Mataram agak berkurang. Di garis depan, Ki Lurah Adiwaswa harus bertempur menghadapi tiga orang lawan sekaligus. Pedang di tangan kanannya berputaran bagaikan sayap anai-anai yang bertebangan di udara. Sementara sebuah tameng kecil di tangan kirinya tak henti-hentinya menangkis senjata-senjata lawan yang datang beruntun bagaikan air hujan yang tercurah dari langit. Seorang laki-laki yang rambutnya sudah putih semua tampak sedang memperhatikan pertempuran itu. Dengan langkah perlahan dia mendekati arena pertempuran Ki Lurah Adiwaswa. “Tikus-tikus clurut, minggirlah!” tiba-tiba terdengar bentakan keras dari laki-laki yang rambutnya sudah putih semua itu, “Biar aku yang meladeni tingkah polah orang yang sombong ini!” Mendengar bentakan itu, tiga orang pengikut Pangeran Ranapati yang sedang bertempur dengan Ki Lurah Adiwaswa segera berloncatan mundur. “Bantulah kawan-kawanmu agar pertempuran ini segera berakhir,” berkata laki-laki itu sambil berjalan mendekati tempat Ki Adiwaswa berdiri. “Baik Kyai,” hampir serempak mereka menjawab sambil mengangguk. Sejenak kemudian ketiganya segera menyusup dan hilang ditelan riuhnya pertempuran. Berdesir jantung Ki Lurah Adiwaswa sambil pandangan matanya mengawasi ketiga orang itu bergeser surut. Dengan bergabungnya ketiga pengikut Pangeran Ranapati itu dengan kawan-kawannya yang lain, tekanan yang dialami pasukan Mataram akan semakin berat. Namun Ki Lurah Adiwaswa tidak sempat meneruskan angan-angannya karena lawan barunya kini sedang berjalan kearahnya. “Nah,” berkata laki-laki itu kemudian setelah dia berhadap-hadapan dengan Ki Lurah Adiwaswa, “Sebelum aku memenggal kepalamu, tidak ada jeleknya aku memperkenalkan diri terlebih dahulu. Orang menyebutku Kyai Dadap Ireng, karena memang aku adalah pemimpin perguruan Dadap Ireng.” Ki Lurah Adiwaswa mengerutkan keningnya. Nama perguruan Dadap Ireng terdengar masih asing di telinganya. Namun Ki Lurah Adiwaswa tidak ingin mengecewakan lawannya. Maka katanya kemudian, “Terima kasih Kyai Dadap Ireng. Aku Lurah Adiwaswa, salah satu Lurah prajurit yang bertugas di kesatuan pasukan berkuda Mataram.” “Persetan dengan pasukan berkuda Mataram!” geram Kyai Dadap Ireng, “Aku tidak menyuruhmu untuk menyebut namamu. Siapa yang peduli dengan namamu, he!” Ki Lurah Adiwaswa manarik nafas dalam-dalam. Kesan pertama yang didapatkan dari lawannya cukup mendebarkan. Agaknya orang yang menyebut dirinya Kyai Dadap Ireng ini tidak perduli dengan segala unggah-ungguh dan suba sita. “Baiklah Kyai Dadap Ireng,” akhirnya Ki Lurah Adiwaswa berkata, “Aku juga tidak peduli apakah aku berhadapan dengan Dadap Ireng atau Dadap Merah atau bahkan mungkin yang sekarang aku hadapi ini adalah Dadap Ayam, sejenis pohon Dadap yang dapat tumbuh menjulang tinggi namun batangnya bengkok dan kayunya sangat lunak.” “Tutup mulutmu!” teriak Kyai Dadap Ireng sambil meloncat menyambar mulut lawannya. Namun Ki Lurah Adiwaswa sudah waspada terhadap segala gerak gerik lawannya. Dengan mudah dihindari serangan lawan yang mengarah ke wajahnya itu. Sejenak kemudian keduanya pun segera terlibat dalam sebuah pertempuran yang sengit. Silih ungkih singa lena. Terlena sedikit saja nyawa yang menjadi taruhannya. Dalam pada itu, kuda-kuda pasukan Mataram yang lepas dari jebakan di lemah Cengkar telah berlari-larian tanpa arah. Beberapa ekor kuda justru tidak berpacu lurus mengikuti kuda-kuda yang lain menuju Kademangan Jati Anom. Dua ekor kuda justru telah mengambil jalan ke arah kiri menuju Padepokan orang bercambuk. Dua orang cantrik yang sedang berjaga terkejut ketika pendengaran mereka lamat-lamat mendengar derap beberapa ekor kuda menuju ke arah gerbang Padepokan. “Kuda?” desis salah seorang cantrik sambil mengangkat kepalanya, “Malam-malam begini?” “Marilah,” desis kawannya sambil beringsut turun dari pendapa, “Mungkin ada tamu penting yang sengaja berkunjung di waktu yang tidak sewajarnya ini.” Cantrik itu tidak menyahut. Diraihnya pedang pendek yang tergeletak di lantai pendapa. Setelah menyelipkan pendang pendek itu di ikat pinggangnya, dengan tergesa-gesa dia segera berlari mengejar kawannya yang telah terlebih dahulu mencapai pintu gerbang.. Ketika cantrik itu telah sampai di depan gerbang padepokan, kawannya tampak sedang mengintip keluar melalui celah-celah daun pintu yang sedikit renggang. “Dua ekor kuda,” bisik kawannya pada cantrik yang baru datang. “He?” seru cantrik itu terkejut, “Dua orang berkuda, katamu?” “Bukan, bukan dua orang berkuda,” jawab kawannya sambil tetap mengintip, “Dua ekor kuda lengkap dengan pelana namun tanpa seorang penunggang pun.” “He?” kembali cantrik itu berseru heran. Dengan tergesa-gesa dia segera ikut mengintip keluar melalui celah-celah daun pintu gerbang padepokan. Tampak dalam keremangan malam dua ekor kuda lengkap dengan pelana serta perkakas lainnya sedang berderap perlahan di jalan yang menuju ke padepokan dan akhirnya berhenti beberapa tombak di depan gerbang padepokan. Setelah termangu-mangu beberapa saat. Dua ekor kuda itu pun kemudian berjalan menepi dan kemudian merumput dengan tenang di pinggir jalan. “Aneh,” desis cantrik itu, “Dua ekor kuda tanpa penunggang. Pasti sesuatu telah terjadi pada kedua penunggangnya. Aku akan melaporkan ini kepada Ki Widura.” Kawannya mengerutkan keningnya sambil menjauhkan kepalanya dari pintu gerbang. Katanya kemudian, “Apakah cukup beralasan jika kita membangunkan Ki Widura di saat seperti ini?” Sejenak cantrik itu merenung. Namun jawabnya kemudian sambil menggelengkan kepalanya, “Aku tidak tahu. Namun keberadaan dua ekor kuda tanpa penunggang ini dapat menimbulkan berbagai dugaan. Mungkin saja ada orang-orang yang sedang memerlukan pertolongan.” “Atau bisa jadi hanya dua ekor kuda yang lepas dari kandangnya karena pemiliknya lupa menutup pintu kandang,” sahut temannya dengan serta merta. “Tapi pemiliknya tentu tidak akan memasangkan pelana jika memang kedua ekor kuda itu hanya terlepas dari kandang,” bantah cantrik itu kemudian. Kawannya tidak menjawab lagi. Hanya kepalanya saja yang terlihat terangguk-angguk. “Ah, sudahlah,” berkata cantrik itu kemudian, “Tunggulah di sini. Awasi kuda-kuda itu. Aku akan melaporkan kepada Ki Widura.” “Apakah aku harus membuka pintu gerbang?” bertanya kawannya kemudian. “Tidak perlu,” jawab cantrik itu sambil melangkah pergi, “Awasi saja dari celah-celah pintu gerbang. Jika keadaan berkembang diluar kewajaran, engkau dapat memukul kentongan untuk memberikan isyarat.” “Baik,” jawab kawannya. Tanpa sadar matanya memandang kearah sebuah kentongan kecil yang tersangkut di pojok pintu gerbang sebelah atas. Dalam pada itu, pertempuran di lemah Cengkar semakin lama menjadi semakin sulit bagi pasukan Mataram. Walaupun demikian, sebagai prajurit mereka tetap bertahan sampai titik darah penghabisan. Ki Tumenggung Purbarana yang merasa semakin terdesak ternyata telah mengambil sebuah keputusan untuk sekedar mengulur waktu. Ketika sebuah serangan datang membadai dari lawannya, dengan cepat dia segera meloncat mundur tiga kali. Begitu kakinya menginjak tanah kembali, di tangan kanan Tumenggung Purbarana telah tergenggam sebilah pedang panjang. Pangeran Ranapati tertawa melihat Ki Tumenggung menggenggam senjatanya. Katanya kemudian, “O, agaknya Ki Tumenggung ingin menunjukkan kepadaku sebuah ilmu pedang yang nggegirisi. Baiklah, aku juga akan menggunakan kerisku ini. Hati-hatilah Ki Tumenggung. Goresan sekecil apapun dari kerisku, sudah cukup mengantarkan nyawamu ke alam kelanggengan.” Selesai berkata demikian, Pangeran Ranapati segera menghunus sebilah keris yang terselip di pinggangnya. Sebuah keris yang berwarna kehitam-hitam dan berluk sembilan. Berdesir jantung Ki Tumenggung begitu melihat ujud keris lawannya. Keris itu pasti mengandung warangan yang sangat kuat. Dengan sebuah goresan kecil sekali saja, nyawanya tidak akan tertolong lagi. Sejenak kemudian keduanya segera terlibat dalam pertempuran yang dahsyat. Ilmu pedang Ki Tumenggung ternyata tidak dapat dipandang sebelah mata. Bilah pedang itu bagaikan menjadi berpuluh-puluh dan mengurung lawannya dari segala penjuru. Namun lawannya adalah orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati. Untuk beberapa saat memang dia terlihat terdesak beberapa langkah mundur. Namun itu hanya berlangsung beberapa saat. Ketika Pangeran Ranapati telah menemukan titik kelemahan permainan pedang lawannya, keris di tangannya segera berputaran dan mengeluarkan asap tipis berwarna kehitam-hitaman. Ki Tumenggung benar-benar telah kehilangan akal. Ilmu pedangnya tidak mampu menembus pertahanan lawan, bahkan kini kembali dirinya yang terdesak mundur. Tidak ada jalan lain baginya selain mengetrapkan puncak ilmunya, apapun yang terjadi. “Jika ilmu pamungkasku kali ini membentur kekuatan yang tak tertahankan, setidak-tidaknya aku telah melakukan sebuah usaha,” berkata Ki Tumenggung dalam hati. Demikianlah akhirnya. Setelah melihat tidak ada jalan lain, selain membenturkan puncak ilmunya, Ki Tumenggung pun segera bersiap. Ketika kesempatan itu akhirnya datang, dengan cepat Ki Tumenggung segera meloncat beberapa langkah ke belakang. Begitu kedua kakinya menginjak tanah, disilangkan pedang panjang itu di depan dadanya. Kemudian dengan perlahan ujung pedang itu terjulur ke depan mengarah dada lawan. Sementara tangan kirinya terkepal sejajar lambung. Pangeran Ranapati yang melihat lawannya meloncat mundur tidak berusaha mengejar. Dengan tenang ditunggunya serangan pamungkas lawannya. Yang terjadi kemudian adalah benar-benar dahsyat. Dengan sebuah teriakan menggelegar ki Tumenggung Purbarana meloncat tinggi. Pedang panjangnya terayun deras mengarah kepala lawannya. Sebuah senyum tipis terlihat di bibir pangeran yang keras hati itu. Setelah sekejap merangkapkan tangan kiri beserta tangan kanan yang menggenggam keris di depan dada, dengan tenang Pangeran Ranapati segera mengangkat senjatanya ke atas kepalanya untuk menangkis serangan lawan. Bersambung ke Jilid 416 > Pages 1 2 3
SHMINTARDJA. API DI BUKIT MENOREH 4. Seperti yang terdahulu, saya ketengahkan ceritera ini dengan harapan yang sama. Ceritera yang dicari dibumi sendiri bertolak pada sifat manusia, dengki, iri, nafsu, cita2 namun juga cinta Yang melahirkan segala macam peristiwa, pertentangan, pertengkaran, perang, tetapi juga tuntutan keadilan dan kebenaran.
Kn7R3K.
  • 69fjm8uj5z.pages.dev/128
  • 69fjm8uj5z.pages.dev/472
  • 69fjm8uj5z.pages.dev/417
  • 69fjm8uj5z.pages.dev/504
  • 69fjm8uj5z.pages.dev/70
  • 69fjm8uj5z.pages.dev/285
  • 69fjm8uj5z.pages.dev/181
  • 69fjm8uj5z.pages.dev/22
  • 69fjm8uj5z.pages.dev/710
  • api di bukit menoreh 415